Langsung ke konten utama

Zakat itu Menyelamatkan

Katakanlah: “Bahwasanya aku hanyalah seorang manusia seperti kamu, diwahyukan kepadaku bahwasanya Tuhan kamu adalah Tuhan yang Maha Esa, maka tetaplah pada jalan yang lurus menuju kepada-Nya dan mohonlah ampun kepada-Nya. Dan kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang mempersekutukan-Nya, yaitu) orang-orang yang tidak menunaikan zakat dan mereka mengingkari akan adanya (kehidupan) akhirat.”
(TQS Fushshilat: 6-7).

Madinah guncang. Meninggalnya Rasulullah menimbulkan duka mendalam di kalangan sahabat. Bukan itu saja, banyak kabilah mengingkari keberadaan Khalifah Abu Bakar. Mereka menolak membayar zakat. Kabilah yang melakukan pembelotan itu meliputi dua pertiga wilayah Islam kala itu. Tak urung itu membuat ciut nyali Umar bin Khattab. Ia mengusulkan kepada Abu Bakar untuk melakukan kompromi dengan para kabilah itu. ”Demi Allah, tak akan aku biarkan sepeninggal Muhammad, mereka yang membedakan zakat dengan kewajiban Islam yang lain,” ujar Abu Bakar.
Setelah itu, Abu Bakar membentuk 11 regu untuk menaklukkan kabilah-kabilah yang menolak membayar zakat. Yakni dari Tihama di Laut Merah, Hadramaut di ujung Lautan Hindia, sampai ke Oman, Bahrain, Yamama hingga Kuwait di Teluk Persia.
Abu Bakar, sahabat Nabi yang terkenal kelembutan hatinya itu, ternyata begitu keras terhadap kabilah yang menolak zakat. Dialah pemimpin pertama dalam sejarah yang mengobarkan perang dengan motif membela dhuafa. Ya, betapa banyak raja yang berperang hanya menuruti ambisi, menjajah, dan memperluas kekuasaan.
Abu Bakar berhasil menyatukan kembali umat Islam yang pecah setelah Rasulullah wafat. Di masanya pula, Islam mulai menyebar ke luar jazirah Arab. Namun, ia tetap dikenal sebagai seorang yang sederhana. Ia hidup sebagaimana rakyat. Tetap pergi sendiri ke pasar untuk berbelanja, serta menjadi imam salat di masjid Nabawi. Selama dua tahun tiga bulan memimpin, ia hanya mengeluarkan 8.000 dirham uang negara untuk kepentingan keluarganya. Jumlah yang sangat sedikit untuk ukuran waktu itu sekalipun.

Instrumen Sosial
Dari Abu Bakar, kita belajar tentang makna kesatuan amal dalam Islam. Tak boleh ada pembedaan atas berbagai kewajiban ibadah. Semua harus terlaksana menyeluruh, integral, kaffah. Ini sebagaimana perkataan Rasulullah kepada Ibnu Umar r.a. ”Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka mau mengucapkan laa ilaaha illallah (Tiada sesembahan kecuali Allah), menegakkan salat, dan membayar zakat. Apabila mereka telah melakukan semua itu, berarti mereka telah memelihara harta dan jiwanya dariku kecuali ada alasan yang hak menurut Islam (bagiku untuk memerangi mereka) dan kelak perhitungannya terserah kepada Allah swt.” (HR Bukhari dan Muslim)
Dari Abu Bakar kita juga belajar tentang zakat sebagai salah satu instrumen/pilar penting dalam hubungan sosial (muamalah) dan sistem pemerintahan.
Dalam kehidupan bermasyarakat, pasti akan ada yang kaya dan miskin. Dewasa ini makin disadari besarnya bahaya dalam masyarakat apabila orang-orang miskin dan lemah tidak dapat memenuhi kebutuhan pokok mereka dan mereka terancam kelaparan. Sebagai misal, perut yang lapar akan mendorong pemiliknya melakukan dosa, melanggar segala larangan, serta menganggap yang demikian sebagai perbuatan yang sah. Bila sudah demikian, maka orang-orang kaya sendiri yang akan menjadi korban kejahatan mereka itu.
Ini seperti dinyatakan Sayid Sabiq, ulama asal Mesir. ''Suatu jamaah (komunitas) yang di dalamnya kemiskinan tersebar luas dan taring-taringnya menggigit, maka akan berkobarlah di sana permusuhan dan kebencian, sehingga akan terguncanglah eksistensi umat karena gangguan yang merajalela dan ramailah aliran-aliran ekstrim.''
Zakat dapat mengurangi kesenjangan kaya-miskin (narrowing-the-gap). Ia juga menjaga stabilitas psikologis masyarakat. Jika yang yang tak berpunya melihat bahwa golongan mampu telah mengulurkan tangannya lewat zakat sehingga membantu meringankan beban dan penderitaan masyarakat, maka kebencian sosial yang kerap muncul dalam masyarakat akan pudar.
Kebencian sosial karena kesenjangan kaya-miskin ini sering menjadi malapetaka dalam sejarah. Bahkan ada ideologi kenegaraan yang didasari atas perbedaan tersebut. Yaitu Marxisme, ajaran yang disampaikan oleh Karl Marx, yang kemudian berwujud dalam bentuk negara Komunis. Dunia ini, dalam pandangan Marxisme, didominasi atas penindasan antar kelas. Kaum proletar, kalangan miskin, para buruh, kaum tani, golongan melarat harus bersatu untuk menggulingkan kelas penindas, yaitu kaum borjuis, orang-orang kaya, tuan tanah, yang punya hak milik. Cara pandang penuh kebencian itu kemudian menghalalkan segala cara.
Rakyat di kawasan Rusia pernah merasakan begitu lama kungkungan sistem komunis—sebelum kemudian Uni Soviet bubar pada 1987. Rakyat banyak mati sia-sia. Di China, dahulu komunis juga membuat 1 milyar lebih rakyatnya menderita. Yang dekat dengan kita, seperti Kamboja dan Vietnam juga mengalami masa-masa buruk. Separuh penduduk Kamboja mati dalam perang saudara, sisanya hidup terlunta-lunta, menderita kelaparan. Vietnam juga pernah menjadi ajang perang saudara tak berkesudahan. Tentara Khmer Merah yang berhaluan komunis, amat terkenal dengan kekejamannya.
Tahun 1965, bangsa kita juga mengalami malapetaka yang paling getir dalam sejarah. Gerakan 30 September (Gestapu) yang didalangi PKI mencoba merebut kekuasaan dengan jalan kekerasan. Tubuh enam jenderal Angkatan Darat dirobek-robek secara keji. Banyak tokoh ulama kala itu dipenjara dan merasakan kekejaman PKI. Pendukung PKI, yang kala itu banyak di dukung rakyat miskin di perdesaan, meneriakkan yel-yel khas komunis. Mereka menyebut lawannya sebagai setan desa atau setan kota.
”Kefakiran dekat dengan kekufuran,” begitu kata Rasulullah. Sejarah telah membuktikan bahwa kemiskinan yang berkelindan dengan kecemburuan terhadap orang kaya akan mengundang malapetaka. Di sini, zakat dapat hadir sebagai instrumen penyelamat, menghilangkan kecemburuan tersebut.
Tak akan merugi dengan berbagi. Perilaku kikir amat dicela Islam karena akan menimbulkan kerugian yang lebih besar. ”Jauhilah kekikiran, sesungguhnya kekikiran telah membinasakan (umat-umat) sebelum kamu, mereka saling membunuh dan menghalalkan apa-apa yang diharamkan. (HR Bukhari)
Kalau mau ditelaah secara ekonomi, perintah zakat itu pada akhirnya justru akan membantu mereka yang berpunya, karena akan dapat mendorong terciptanya daya beli baru dan produksi dari para penerima zakat. Bagi mereka yang mengeluarkan zakat, secara psikologis hati dan jiwanya akan lebih bersih dan tentram, dengan adanya saling kasih sesama umat. Sedang orang-orang yang tidak berpunya akan menaruh respek dan hormat kepada orang yang mempedulikan nasib mereka.
Berkah Hidup
Zakat itu menyelamatkan. Bukan saja dalam konteks hubungan sosial seperti di muka. Ini juga menyangkut dimensi transenden, pertolongan Allah sebagai Sang Pemberi Rejeki.
Rejeki itu Allah karuniakan kepada kita karena adanya orang-orang dhuafa tersebut. Sabda Rasulullah, ”Sesungguhnya kalian diberi pertolongan karena orang-orang lemah di antara kalian.” Doa orang-orang dhuafa, orang lemah tak berdaya, karena kemiskinan dan ketertindasan, di-ijabah oleh Allah. Kita memberi kebaikan kepada mereka walaupun sedikit, tapi itu sangat berarti bagi mereka. Lalu mereka berdoa dengan tulus yang mengundang datangnya pertolongan Allah untuk kita.
Datangnya rejeki dan pertolongan Allah, adalah proses take and give. Sejauh kita memberi, sejauh itu pula kita akan didapat. Begitupun terkabulnya doa. Permohonan kita akan dijawab Allah jika kita membantu kesulitan orang di sekitar kita. ”Barangsiapa ingin doanya terkabul dan dibebaskan dari kesulitannya hendaklah dia mengatasi (menyelesaikan) kesulitan orang lain.” (HR Ahmad)
Zakat itu menyelamatkan. Ini menyangkut keselamatan kita secara kolektif. Seperti turunnya air hujan, sebagai kebutuhan semua orang. Ilmu pengetahuan paling mutakhir sekalipun belum mampu merekayasa hujan secara alamiah. Kalaupun ada “hujan buatan,” harus ada syarat yang mutlak dipenuhi: adanya gumpalan awan yang memadai. Lalu siapa yang bisa menciptakan awan? Semua kembali ke causa prima, Allah Ta’ala. “Jika suatu kaum menolak mengeluarkan zakat maka Allah akan menghentikan turunnya hujan. Kalau bukan karena binatang-binatang ternak, tentu hujan tidak akan diturunkan sama sekali.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Saat Bencana Tak Menyadarkan Kita

“Belumkah datang kepada mereka berita penting tentang orang-orang yang sebelum mereka, (yaitu) kaum Nuh, 'Aad, Tsamud, kaum Ibrahim, penduduk Madyan dan negeri-negeri yang telah musnah? Telah datang kepada mereka rasul-rasul dengan membawa keterangan yang nyata, maka Allah tidaklah sekali-kali menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (QS At Taubah: 70) Selayaknya, hari itu adalah waktu libur yang menyenangkan. Pesisir pantai Aceh punya pesona menarik sebagaimana pantai lainnya di pesisir Samudera Indonesia. Pagi yang cerah. Menawarkan selera untuk bercengkerama dengan keluarga, sembari menikmati indahnya panorama pantai. Namun, malang tak dapat ditolak untung tak dapat diraih. Semuanya berubah menjadi peristiwa yang memilukan. Tiba-tiba bumi berguncang dahsyat, gempa mengundang panik semuanya. Belum sirna rasa terkejut itu, riuh rendah orang berteriak, “Air, air..., air datang!“ Kita selanjutnya menyaksikan ribuan mayat bergelimpangan, berbagai

PETAKA KUASA DUSTA

”Jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu-bapak dan kaum kerabatmu...Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” (TQS An Nisaa: 135). Ini kisah menurut La Fontaine dalam Fables et Epitres. Dunia margasatwa diserang wabah penyakit. Diduga wabah itu merupakan azab Tuhan karena kejahatan penghuni dunia itu. Baginda Singa, tokoh nomor satu di kerajaan rimba, dengan memelas mengakui, ”Akulah penyebab segala bencana ini. Pekerjaanku memakan warga yang lemah seperti domba dan kambing.” Serigala membantah. ”Bukan demikian, Baginda tidak salah.” Yang dilakukan singa adalah implikasi dari kekuasaan. Memakan warga adalah bagian resiko yang harus diambil dari kebijakan yang dibuat pemimpin. Seorang demi seorang dari pembesar margasatwa bergilir mengakui kesalahannya. Pengadilan selalu memutuskan mereka tak bersalah

“Robohnya Masjid Kami” [Kritik Memakmurkan Masjid]

“Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allah dalam masjid-masjid-Nya, dan berusaha untuk merobohkannya? Mereka itu tidak sepatutnya masuk ke dalamnya (masjid Allah), kecuali dengan rasa takut (kepada Allah). Mereka di dunia mendapat kehinaan dan di akhirat mendapat siksa yang berat.” (TQS Al Baqarah: 114) Masjid itu dindingnya dari tanah liat. Tiangnya batang kurma, lantainya pasir, dan atapnya pelepah kurma. Maka, di suatu hari kaum Anshar mengumpulkan harta dan mendatangi Rasulullah saw.. "Wahai Rasulullah, bangunlah masjid dan hiasilah seindah-indahnya dengan harta yang kami bawa ini. Sampai kapan kita harus salat di bawah pelepah kurma?" Rasulullah menjawab, "Aku ingin seperti saudaraku Nabi Musa, masjidku cukup seperti arisy (gubuk tempat berteduh) Nabi Musa a.s.” Dijelaskan oleh Hasan r.a. menjelaskan bahwa ukuran arisy Nabi Musa a.s. adalah bila Rasulullah saw. mengangkat tangannya maka atapnya akan tersentuh Hadits ya