Langsung ke konten utama

Bertahan dalam Kesadaran

Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.”
(QS Al Hadiid: 16).

Untuk kesekian kali, bencana itu kembali menghampiri. Dengan bentuknya yang beragam. Rasanya, belum usai kisah pencarian korban hilangnya pesawat terbang dan kapal laut itu kita dengar. Tapi begitulah, Jakarta dilanda banjir, merendam lebih dari 50% wilayah ibukota negara RI itu. Halaman pertama (headline) koran serasa tak pernah sepi mengabarkan kisah ”horor.” Dari satu bencana ke bencana yang lain, dari kisah pilu ke kisah pilu yang lain. Bencana itu seolah telah menjadi rutinitas, dalam keseharian kita.
Seringnya bencana itu terjadi akan mempunyai dampak psikologis yang berbeda. Dalam bentuknya yang positif dan negatif. Bencana bisa menjadi shock therapy untuk mengingatkan seseorang—atau masyarakat secara kolektif, akan kekuasaan Allah. Bencana dapat menjadi cermin, betapa manusia diliputi keterbatasan. Berikutnya bencana dapat menjadi sarana ”menemukan” Tuhan. Bencana kemudian menjadi awal introspeksi, memperbaiki perilaku, untuk menyongsong hari depan yang lebih baik.
Namun, berbagai bencana (alam) itu juga potensial menimbulkan ”bencana kemanusiaan” lain yang tak kalah mengkhawatirkan. Yaitu ketika banyak orang menjadi imun (kebal) dengan peristiwa semacam itu. Maka, bencana seperti hanya menjadi deretan angka korban dan jumlah kerugian di koran dan televisi. Kalaupun menjadi bahan diskusi, maka yang ada adalah perbincangan tentang siapa yang harus disalahkan. Tidak banyak lagi yang tergerak memberikan pertolongan. Bencana disikapi biasa saja. Seolah masalah selesai dengan menyatakan (salah satunya) bahwa bencana alam banjir adalah siklus lima tahunan.

Kepekaan
Berlalunya masa yang panjang memang potensial menghilangkan kepekaan. QS Al Hadiid: 16 yang dinukilkan di muka memberi pelajaran kepada kita tentang masalah ini. Hati menjadi keras seiring dengan kondisi keimanan yang lemah. Ibadah menjadi rutinitas yang kehilangan makna. Dalam pergaulan, hal ini bisa menjadi sikap antisosial, tidak peduli dengan orang sekitarnya.
Proses perenungan, menundukkan hati seraya mengingati Allah dengan khusyu,’ (seperti termaktub dalam ayat QS Al Hadiid: 16 di muka) adalah kebiasaan yang selayaknya kita lakukan.”Duduklah bersama kami, biar kita beriman sejenak,” ujar Ibnu Mas’ud. Dalam nasehatnya, Ibnu Mas’ud mengajak kita untuk melakukan penghentian untuk memperbaharui keimanan. Seperti kebiasaan para pelaku bisnis itu. Orang-orang yang mengurus dunia itu memerlukan penghentian untuk menata ulang bisnis mereka.
Berhenti untuk melakukan perenungan itu kita perlukan agar kita tidak salah orientasi. Kita perlu memantau keseimbangan terhadap perubahan yang terjadi di sekeliling kita, untuk menentukan pilihan sikap yang selalu berada di atas koridor kebenaran. Kita perlu terus mengasah kepekaan, untuk menyikapi semua peristiwa dalam konteks keimanan.
Berhenti untuk melakukan perenungan itu harus menjadi tradisi. Inilah yang kita pahami dari sunnah melakukan i’tikaf di masjid, seperti yang secara khusus disunahkan pada sepuluh hari terakhir Ramadhan. Bahkan, Allah juga telah menanamkan kegemaran berkhalwat pada diri Muhammad sebelum menjadi Rasul. Umar bin Khattab pun mempunyai kebiasaan i’tikaf di Masjidil Haram sekali sepekan di masa jahiliyah.
Hari-hari panjang dengan ragam bencana ini pasti menguras energi jiwa yang kita miliki. Tradisi perenungan semacam itu kita perlukan sehingga diam kita tidak berubah menjadi imajinasi yang liar, ucapan kita kehilangan arah dan makna, dan ragam peristiwa itu membuahkan perilaku tercela. Kita perlu mengisi hati dengan energi yang tercipta dari kesadaran baru, semangat baru, harapan baru, dan keberanian baru.
Energi yang tercipta dari kesadaran semacam itulah yang kemudian akan terus berbuah manis. Seperti energi kesadaran untuk terus menolong, memberi, dan berbagi, yang dicontohkan Rasulullah. Utusan Allah itu bahkan disebut sebagai ”orang yang tak takut miskin karena memberi.” Dialah yang menanamkan prinsip menolong orang lain untuk menolong diri sendiri. Ia bersabda, ”Allah swt. selalu menolong seorang hamba, selama hamba itu selalu menolong saudaranya.” Sabdanya yang lain, ”Barangsiapa memberi kemudahan kepada saudaranya, maka Allah akan memberi kemudahan baginya di akherat.”
Buah manis dari kesadaran itu juga akan muncul saat menyikapi bencana yang dialami. Seperti kisah para isteri yang kehilangan suaminya pada peristiwa karamnya KM Senopati Nusantara, awal tahun ini. Bersama-sama, kala menunggu proses pencarian, mereka saling menguatkan hati dengan saling menasehati, saling membantu, salat berjamaah, dan salat tahajud bersama. Hal itu kemudian membuahkan persaudaraan yang tulus. Itulah anugerah Allah yang mampu meringankan beban yang mereka derita.
Kita berharap bencana yang terjadi tidak lagi melahirkan tragedi. Kita tidak ingin ada ”bencana di atas bencana.” Sesuatu yang muncul karena penyikapan yang salah. Seperti perilaku imun (kebal) untuk tidak lagi peduli dengan bencana itu. Atau ekspresi putus asa karena bertubi-tubinya bencana. Putus asa untuk terus mau memberi; putus asa untuk terus berharap rahmat dari Allah.
Allah mencela orang yang berputus asa. Bahkan putus asa itu Allah golongkan sebagai perilaku orang kafir. Orang yang mati karena sikap putus asa tidak akan diterima pahalanya. Rasulullah tidak mau menyalatkan orang yang mati bunuh diri (=karena putus asa). Mereka dihukumi kekal di neraka karena keputus-asaannya itu. Na’udzubillah.
”Dan orang-orang yang mengingkari (kafir) terhadap ayat-ayat Allah dan pertemuan dengan Dia, mereka putus asa dari rahmat-Ku, dan mereka itu mendapat azab yang pedih.” (QS Al Ankaabut: 23). ***
[Tulisan ini merupakan arsip dari tulisan yang telah dipublikasikan di Buletin Sajada, Lembaga Amil Zakat Lampung Peduli, sejak 2005]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Saat Bencana Tak Menyadarkan Kita

“Belumkah datang kepada mereka berita penting tentang orang-orang yang sebelum mereka, (yaitu) kaum Nuh, 'Aad, Tsamud, kaum Ibrahim, penduduk Madyan dan negeri-negeri yang telah musnah? Telah datang kepada mereka rasul-rasul dengan membawa keterangan yang nyata, maka Allah tidaklah sekali-kali menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (QS At Taubah: 70) Selayaknya, hari itu adalah waktu libur yang menyenangkan. Pesisir pantai Aceh punya pesona menarik sebagaimana pantai lainnya di pesisir Samudera Indonesia. Pagi yang cerah. Menawarkan selera untuk bercengkerama dengan keluarga, sembari menikmati indahnya panorama pantai. Namun, malang tak dapat ditolak untung tak dapat diraih. Semuanya berubah menjadi peristiwa yang memilukan. Tiba-tiba bumi berguncang dahsyat, gempa mengundang panik semuanya. Belum sirna rasa terkejut itu, riuh rendah orang berteriak, “Air, air..., air datang!“ Kita selanjutnya menyaksikan ribuan mayat bergelimpangan, berbagai

PETAKA KUASA DUSTA

”Jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu-bapak dan kaum kerabatmu...Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” (TQS An Nisaa: 135). Ini kisah menurut La Fontaine dalam Fables et Epitres. Dunia margasatwa diserang wabah penyakit. Diduga wabah itu merupakan azab Tuhan karena kejahatan penghuni dunia itu. Baginda Singa, tokoh nomor satu di kerajaan rimba, dengan memelas mengakui, ”Akulah penyebab segala bencana ini. Pekerjaanku memakan warga yang lemah seperti domba dan kambing.” Serigala membantah. ”Bukan demikian, Baginda tidak salah.” Yang dilakukan singa adalah implikasi dari kekuasaan. Memakan warga adalah bagian resiko yang harus diambil dari kebijakan yang dibuat pemimpin. Seorang demi seorang dari pembesar margasatwa bergilir mengakui kesalahannya. Pengadilan selalu memutuskan mereka tak bersalah

“Robohnya Masjid Kami” [Kritik Memakmurkan Masjid]

“Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allah dalam masjid-masjid-Nya, dan berusaha untuk merobohkannya? Mereka itu tidak sepatutnya masuk ke dalamnya (masjid Allah), kecuali dengan rasa takut (kepada Allah). Mereka di dunia mendapat kehinaan dan di akhirat mendapat siksa yang berat.” (TQS Al Baqarah: 114) Masjid itu dindingnya dari tanah liat. Tiangnya batang kurma, lantainya pasir, dan atapnya pelepah kurma. Maka, di suatu hari kaum Anshar mengumpulkan harta dan mendatangi Rasulullah saw.. "Wahai Rasulullah, bangunlah masjid dan hiasilah seindah-indahnya dengan harta yang kami bawa ini. Sampai kapan kita harus salat di bawah pelepah kurma?" Rasulullah menjawab, "Aku ingin seperti saudaraku Nabi Musa, masjidku cukup seperti arisy (gubuk tempat berteduh) Nabi Musa a.s.” Dijelaskan oleh Hasan r.a. menjelaskan bahwa ukuran arisy Nabi Musa a.s. adalah bila Rasulullah saw. mengangkat tangannya maka atapnya akan tersentuh Hadits ya