Langsung ke konten utama

Dicari: Penguasa Salih

“Jikalau sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.”
(TQS Al A’raaf: 96).


Raja Anusyirwan sedang melakukan perburuan. Ia sangat asyik berburu sehingga terlepas dari pasukannya. Dalam keadaan haus, ia sampai di sebuah kebun. Di kebun itu ia melihat banyak sekali pohon delima. Kepada anak penunggu kebun, raja berkata, “Berikan kepadaku sebutir delima.” Delima itu ternyata sangat manis dan airnya lezat keluar melimpah. Raja sangat terkesan dengan delima kebun itu sehingga ia terpikir untuk mengambil kebun itu dari pemiliknya.
Pada kali yang kedua, raja meminta satu butir delima lagi. Aneh, sekarang delima itu sedikit sekali airnya dan kecut rasanya. Ia bertanya, “Hai anak, mengapa delima ini jadi begini?” Si Anak menjawab, “Mungkin raja di negeri ini ada yang bermaksud berbuat zalim. Karena niat jeleknya, maka delima ini menjadi begini.” Pada saat itu juga Anusyirwan bertobat dalam hatinya. Raja berkata lagi kepada anak itu, “Berikan aku satu delima lagi.” Sekarang delima itu terasa lebih enak dari delima sebelumnya. Ia bertanya, “Hai anak, mengapa delima ini berubah seperti ini?” Anak penjaga kebun itu berkata, ”Barangkali raja negeri ini bertobat dari kezalimananya.” Ketika mendengar ucapan anak itu, yang sesuai dengan keadaan hatinya, Anusyirwan betul-betul bertobat dan berniat tak akan melakukan penindasan apa pun.
Dalam sejarah, Anusyirwan dicatat sebagai raja yang adil. Dalam masa pemerintahannya, lahirlah Rasulullah Muhammad saw.. Beliau berkata, “Aku lahir dalam zaman kekuasaan raja yang adil.” Al Fakhr ar-Razi meriwayatkan kisah ini ketika menjelaskan tafsir ayat : maliki yauwmiddiin ‘yang menguasai di Hari Pembalasan’, dari surah Al Fatihah. Ayat ini menunjukkan kesempurnaan keadilan Allah. Raja pada hari pembalasan adalah Raja yang adil. Tanpa adanya hari kiamat, keadilan tidak dapat ditegakkan. Dari sini disimpulkan, penguasa sejati adalah penguasa yang adil. “Bila penguasa itu adil karena keberkahan keadilannya, timbullah kebaikan dan ketentraman di alam semesta. Bila penguasa itu zalim, hilanglah kebaikan dari alam semesta,” kata Al Fakhr ar-Razi.
Jangankan berbuat zalim, jika terbersit saja niat untuk berbuat zalim, penguasa akan menimbulkan kerusakan di dunia. Buah-buahan yang manis akan segera berubah menjadi kecut. Tanah yang subur berganti menjadi kering kerontang. Mendung tak selalu mengantarkan hujan yang memberi berkah. Siklus iklim menjadi susah diperkirakan. Bencana alam seolah menjadi rutinitas harian, beragam, bahkan muncul dari hal yang tidak diperkirakan sebelumnya. Niat berbuat zalim penguasa itu menginspirasi orang berbuat jahat. Aneka bentuk kejahatan itu muncul. Perilaku kriminal menjadi bencana sosial yang tak kalah mengerikan dampaknya dibanding bencana alam.


Mari kita simak fenomena belakangan ini. Lampung semakin tidak aman. Begitu headline berita di koran. Berbagai kisah yang awalnya hanya kita tonton di film, ternyata menjadi kenyataan. Di Lampung Tengah, pasar yang ramai dengan orang berbelanja dirampok. Seluruh toko emas dijarah, 7 kilogram emas di bawa kabur. Pom bensin tak luput dari perampokan. Brankas uang berisi puluhan juta rupiah sebuah perusahaan dibawa lari melalui perampokan dramatis. Berita ini mengiringi ramainya berita tentang pilkada yang akan digelar tahun ini. Kita menjadi khawatir, jangan-jangan ada hubungan kausalitas antara hiruk-pikuk berita pilkada dengan bencana sosial yang terjadi, sebagaimana kisah Anusyirwan. Ada niatan zalim untuk berkuasa, yang menimbulkan kerusakan.

Kriteria Salih

Begitu besarnya peran penguasa, Islam menempatkan masalah kepemimpinan ini dalam posisi yang amat penting. Begitu pentingnya, ulama memaknai Islam atas dua hal, dien (agama) dan daulah (negara). Ada seperangkat aturan moral dan hukum bagaimana berkuasa itu harus dijalankan berdasarkan ajaran Islam. Memimpin harus dilandasi kesalihan.
Pemimpin yang salih sama artinya memaknai orientasi akhirat dalam kepemimpinannya. Keimanan seorang pemimpin akan membuatnya berhitung, apakah perbuatannya akan berujung pada dosa dan murka Allah atau bisa mendekatkan diri padanya. Kalkulasi untung rugi di akhirat yang menjadi timbangannya. Tidak banyak yang dapat kita awasi dari diri seorang pemimpin saat berkuasa, saat ia bisa jadi nanti akan banyak berlindung atas nama hukum, tata aturan, dan kewenangannya berkuasa. Kesalihannyalah yang akan membuatnya merasa diawasi oleh Allah.
Keimanan akan membuatnya takut untuk berbuat aniaya kepada rakyatnya. Seperti saat ia mengingat pesan Rasulullah tentang kekuasaan. “Siapa saja yang diberi kekuasaan oleh Allah mengurusi umat Islam, sedang ia tidak memperhatikan kedukaan dan kemiskinan mereka, maka Allah tidak akan memperhatikan kepentingan, kedukaan, dan kemiskinannya pada hari kiamat.” (HR Muslim). Atau ketika ia mengingat hadits dari Abul Ya’la, “Seorang hamba yang diberi kepercayaan memimpin rakyatnya, dan ia mati dalam keadaan menipu rakyat, pasti Allah mengharamkan surga baginya.” (Mutafaqun Alaih).
Buah kesalihan itu keadilan. Seorang Mukmin tidak mungkin membeda-bedakan perlakuan sesuai dengan seleranya. Ia pasti memperhatikan aturan Islam tentang keadilan, seperti disampaikan oleh Iyadh bin Himar, bahwa Rasulullah mengatakan penghuni surga itu terdiri dari tiga kelompok, yaitu: penguasa yang adil lagi disenangi, orang yang mengasihi lagi lembut hati kepada sanak keluarga dan setiap muslim, serta orang miskin yang menjaga kehormatan dirinya sedang ia mempunyai keluarga.” (HR Muslim). Juga firman Allah, ”Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.” (TQS Al Maidah: 8).
Kesalihan seseorang pemimpin akan melahirkan kententraman dan rasa aman. Ini adalah berkah yang diturunkan Allah, yang mungkin tidak kita sangka darimana datangnya. Bukan hanya pada rakyat yang dipimpinnya, tapi juga pada makhluk Allah yang lain. Seperti kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz, khalifah kelima yang terkenal kesalihannya.
Malik bin Dinar mengisahkan, ketika Umar bin Abdul Aziz diangkat menjadi khalifah, para penggembala kambing di puncak perbukitan berkata, ”Siapakah khalifah yang salih yang sedang memerintah manusia saat ini?” Padahal para penggembala itu tidak tahu menahu apa yang terjadi di kota, termasuk diangkatnya Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Ketika hal itu ditanyakan kepada mereka, para penggembala itu menjelaskan, ”Bila pemerintahan dipegang oleh seorang pemimpin yang salih, serigala dan singa tidak mengganggu kambing-kambing kami.” (Tarikh Khulafa’)
Riwayat lain yang menguatkan kisah tersebut adalah apa yang dituturkan oleh Hassan Al Qashar. ”Aku bekerja sebagai pemerah susu kambing pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Pada suatu ketika, aku melewati para penggembala, sedang ditengah-tengah gerombolan kambingnya terdapat sekitar tiga puluh serigala. Karena sebelumnya aku belum pernah melihat serigala, aku mengira serigala itu adalah anjing. Akupun bertanya kepada para penggembala itu, ’Wahai para penggembala, untuk apakah anjing sebanyak itu?’ Mereka menjawab, ’Wahai anak muda, ini bukan kawanan anjing, tetapi kawanan serigala.’ Aku berkata heran, ’Subhanallah, apakah mereka tidak membahayakan kambing-kambing engkau?’ Penggembala itu menjawab, ’Wahai anak muda, apabila kepala sudah sehat, maka badan tidak akan rusak.’” Maksud dari kepala itu adalah kepala pemerintahan, yang waktu itu dipimpin oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz.
Kepemimpinan punya makna penting dalam Islam. Bila ’hanya’ menyingkirkan batu di jalan (yang punya manfaat kecil) disebut sebagai salah satu cabang keimanan, apalagi tentang penguasa yang banyak berhubungan dengan kebutuhan masyarakat.
Tentu, yang dimaksud penguasa itu tidak harus penguasa tertinggi. Bukankah setiap kita menggenggam kekuasaan, betapapun kecilnya? Bila acuan kesalihan itu kita serap dalam kekuasaan kita, kita akan menyebarkan berkah ke sekeliling kita. Mari, kita ubah delima yang kecut menjadi manis, dengan kesucian kita. ***

[Tulisan ini merupakan arsip dari tulisan yang telah dipublikasikan di Buletin Sajada, Lembaga Amil Zakat Lampung Peduli, sejak 2005]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Saat Bencana Tak Menyadarkan Kita

“Belumkah datang kepada mereka berita penting tentang orang-orang yang sebelum mereka, (yaitu) kaum Nuh, 'Aad, Tsamud, kaum Ibrahim, penduduk Madyan dan negeri-negeri yang telah musnah? Telah datang kepada mereka rasul-rasul dengan membawa keterangan yang nyata, maka Allah tidaklah sekali-kali menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (QS At Taubah: 70) Selayaknya, hari itu adalah waktu libur yang menyenangkan. Pesisir pantai Aceh punya pesona menarik sebagaimana pantai lainnya di pesisir Samudera Indonesia. Pagi yang cerah. Menawarkan selera untuk bercengkerama dengan keluarga, sembari menikmati indahnya panorama pantai. Namun, malang tak dapat ditolak untung tak dapat diraih. Semuanya berubah menjadi peristiwa yang memilukan. Tiba-tiba bumi berguncang dahsyat, gempa mengundang panik semuanya. Belum sirna rasa terkejut itu, riuh rendah orang berteriak, “Air, air..., air datang!“ Kita selanjutnya menyaksikan ribuan mayat bergelimpangan, berbagai

PETAKA KUASA DUSTA

”Jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu-bapak dan kaum kerabatmu...Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” (TQS An Nisaa: 135). Ini kisah menurut La Fontaine dalam Fables et Epitres. Dunia margasatwa diserang wabah penyakit. Diduga wabah itu merupakan azab Tuhan karena kejahatan penghuni dunia itu. Baginda Singa, tokoh nomor satu di kerajaan rimba, dengan memelas mengakui, ”Akulah penyebab segala bencana ini. Pekerjaanku memakan warga yang lemah seperti domba dan kambing.” Serigala membantah. ”Bukan demikian, Baginda tidak salah.” Yang dilakukan singa adalah implikasi dari kekuasaan. Memakan warga adalah bagian resiko yang harus diambil dari kebijakan yang dibuat pemimpin. Seorang demi seorang dari pembesar margasatwa bergilir mengakui kesalahannya. Pengadilan selalu memutuskan mereka tak bersalah

“Robohnya Masjid Kami” [Kritik Memakmurkan Masjid]

“Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allah dalam masjid-masjid-Nya, dan berusaha untuk merobohkannya? Mereka itu tidak sepatutnya masuk ke dalamnya (masjid Allah), kecuali dengan rasa takut (kepada Allah). Mereka di dunia mendapat kehinaan dan di akhirat mendapat siksa yang berat.” (TQS Al Baqarah: 114) Masjid itu dindingnya dari tanah liat. Tiangnya batang kurma, lantainya pasir, dan atapnya pelepah kurma. Maka, di suatu hari kaum Anshar mengumpulkan harta dan mendatangi Rasulullah saw.. "Wahai Rasulullah, bangunlah masjid dan hiasilah seindah-indahnya dengan harta yang kami bawa ini. Sampai kapan kita harus salat di bawah pelepah kurma?" Rasulullah menjawab, "Aku ingin seperti saudaraku Nabi Musa, masjidku cukup seperti arisy (gubuk tempat berteduh) Nabi Musa a.s.” Dijelaskan oleh Hasan r.a. menjelaskan bahwa ukuran arisy Nabi Musa a.s. adalah bila Rasulullah saw. mengangkat tangannya maka atapnya akan tersentuh Hadits ya