Langsung ke konten utama

Menyerahkan kepada Ahlinya

“Sesungguhnya orang yang paling baik kamu ambil untuk bekerja kepada kita adalah orang yang kuat lagi terpercaya.”
(QS Al Qashash: 26)


Semakin luasnya wilayah Islam mengharuskan Rasulullah mendelegasikan wewenang. Diangkat dan diutuslah beberapa sahabat terkemuka (assabiqunal-awwalun) menjadi gubernur di berbagai daerah. Nyaris semua sahabat punya kedudukan “istimewa” itu. Sampai kemudian Abu Dzar, sahabat yang termasuk kelompok awal masuk Islam, merasa janggal mengapa dirinya tidak mendapatkan posisi itu. .
Abu Dzar pun berkata kepada Rasulullah saw. ”Wahai Nabi Allah, apakah engkau tidak mengangkatku sebagai pegawai?” Sebuah pertanyaan yang manusiawi, sewajarnya, karena penasaran yang dirasa.
Lalu, Rasulullah menepuk bahu Abu Dzar seraya berkata,”Wahai Abu Dzar, sesungguhnya kamu lemah dan ia (jabatan itu) adalah amanah. Di hari kiamat (amanah itu) akan menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali orang yang memenuhi haknya dan menunaikan kewajibannya.”
Tidak ada yang menyangsikan keutamaan Abu Dzar Al Ghifari sebagai generasi awal sahabat Rasulullah. Dia juga termasuk salah satu sahabat yang dijamin masuk surga. Tetapi, dalam urusan memberi amanah mengelola negara, Rasulullah ternyata punya perlakuan berbeda untuk Abu Dzar.Sepertinya Rasulullah mempunyai pertimbangan yang matang, bahwa amanah tersebut dapat menggelincirkan sahabatnya itu pada keburukan. Ada kelemahan pada diri Abu Dzar, hingga Rasulullah urung memberikan jabatan.
Kisah tersebut mengajarkan kepada kita tentang prinsip/cara Rasulullah dalam memberikan amanah. Tidak semua amanah itu dapat dengan mudah diberikan. Keutamaan seseorang secara moral belum menjadi jaminan. Hal itu masih mensyaratkan kemampuan dan sisi-sisi lain yang memungkinkan amanah terlaksana dengan baik. Barangkali, inilah yang saat ini kita sebut sebagai kompetensi, kemampuan yang dimiliki seseorang untuk menjalankan amanah secara memadai.

Kompetensi Ilmu
Apa yang dilakukan Rasulullah terhadap Abu Dzar menjadi penting kita hubungkan dengan kondisi kita saat ini. Jangan-jangan berbagai masalah yang tak kunjung menunjukkan tanda-tanda penyelesaian di negeri ini, disebabkan oleh banyaknya amanah (kepemimpinan atau tugas fungsional yang lain) yang tidak didasari kompetensi. Ya. Tidak terlalu sulit untuk mencari contohnya. Betapa banyak pertimbangan yang kurang memadai, bahkan hanya didasari oleh persaudaraan/pertemanan atau besaran uang “sumbangan” (risywah), menjadikan seseorang memangku jabatan. Seringkali kita merasa sangsi, apakah pertimbangan objektif, yang didasari keilmuan dan keahlian itu benar-benar dipakai dalam menentukan jabatan seseorang.
Tentu, kita tidak ingin mengedepankan prasangka dalam hal ini. Tetapi banyaknya fakta tentang kebijakan yang bertentangan dengan prinsip dasar pembangunan di negeri ini menguatkan anggapan tersebut. Pemangku jabatan itu tidak melaksanakan fungsi semestinya, tidak didasari atas ilmu pengetahuan yang memadai, atau tidak diserahkan kepada ahlinya. Seperti itulah yang tampak kita dapati dalam kontroversi di Cepu atau penentuan pengelolaan tambang emas Freeport, juga pada pro-kontra seputar RUU Anti Pornografi.
Jika perkara ilmu pengetahuan dan keahlian ini diabaikan, benarlah apa yang pernah diucapkan oleh khalifah Umar bin Abdul Aziz, “Barangsiapa melakukan pekerjaan tanpa ilmu pengetahuan tentang itu, maka apa yang dia rusak lebih banyak daripada yang dia perbaiki.”
Dalam sejarah kita dapat menemukan fakta.ini. Sebagian kelompok kaum Muslimin, yang tidak kurang kadar ketakwaannya, keikhlasan dan semangatnya; tetapi mereka tidak mempunyai ilmu pengetahuan dan pemahaman terhadap tujuan ajaran agama; hanya menimbulkan kerusakan dan rentetan kisah memilukan.
Seperti itulah yang kita dapati dari sifat kaum Khawarij yang memerangi Ali bin Abi Thalib r.a. yang banyak memiliki keutamaan dan sumbangan kepada Islam, serta memiliki kedudukan yang amat dekat dengan Rasulullah dari segi nasab, sekaligus menantu beliau yang sangat dicintai. Kaum Khawarij itu menghalalkan darah Ali r.a. dan darah kaum Muslimin yang mengikutinya.
Mereka kaum Khawarij ini, merupakan kelanjutan dari orang-orang yang pernah menentang pembagian harta yang pernah dilakukan Rasulullah, yang berkata kepada beliau dengan kasar dan kebodohan: “Berbuat adillah engkau ini!” Maka beliau bersabda, “Celakalah engkau! Siapa lagi yang adil, apabila aku idak bertindak adil. Kalau aku tidak adil maka engkau akan sia-sia dan merugi.” Orang yang mengucapkan perkataan kasar ini tampak tidak memahami siasat Rasulullah untuk menundukkan hati orang-orang yang baru masuk Islam.
Berkenaan dengan kaum tersebut, Rasululah memperingatkan kemunculan kelompok ini dengan sabdanya, “Kalian akan meremehkan (kuantitas) salat kalian dibandingkan dengan salat yang mereka lakukan, meremehkan (kuantitas) puasa kalian dibandingkan dengan puasa yang mereka lakukan. Kalian akan meremehkan (kuantitas) amal kalian dibandingkan dengan amal mereka. Mereka membaca Al Qur’an tetapi tidak lebih dari kerongkongan mereka. Mereka menyimpang dari agama (ad Din) bagaikan anak panah yang terlepas dari busurnya.”
Makna ungkapan, “tidak lebih dari kerongkongan mereka “ ialah bahwa hati mereka tidak memahami apa yang mereka baca, dan akal mereka tidak diterangi dengan bacaan ayat-ayat itu. Mereka sama sekali tidak memanfaatkan apa yang mereka baca itu , walaupun mereka banyak mendirikan salat ataupun puasa.

Kekuasaan Minim Ilmu
Almarhum Kuntowijoyo, pernah mengungkapkan keprihatinannya tentang (ancaman) kemungkinan politik akan mengecoh umat Islam Indonesia Ini didasari pada fakta bahwa demokrasi politik yang bertumpu kepada jumlah suara tidak memedulikan kualitas. Demokrasi politik lebih memerlukan pemimpin dengan kecerdasan rata-rata. Dengan kata lain, demokrasi politik adalah lebih cenderung pada mediokrasi (medicre artinya rata-rata) bukan pada meritokrasi (merit artinya berharga).
Sistem demokrasi memang dapat berkembang mewujudkan kesamaan derajat (egaliter). Tetapi oleh mediokrasi dapat disusutkan oleh semata-mata fanatisme massa yang irasional, kepercayaan pada mitos (takhayul), dan dukungan membabi buta pada tokoh kharismatik. Selanjutnya orang tidak perlu belajar banyak untuk menjadi pemimpin. Orang hanya harus belajar retorika untuk membujuk, agitasi untuk memanas-manasi hati, dan sedikit pengetahuan sehingga orang lain akan terkesan dengan kecerdasannya.
Demokrasi politik memang tidak memerlukan masyarakat yang dapat menghargai orang yang punya otoritas/keahlian di bidangnya. Yang diperlukan adalah suara. Sama saja harganya seorang buta huruf dengan profesor. Kala itu Prof. Kuntowijoyo, membayangkan kalau pemimpin umat ini adalah hanya kaum mediokrat, pasti umat akan mundur.
Saat ini, apa yang disampaikan oleh Kuntowijoyo pada masa awal reformasi itu, nyaris sempurna menjadi fakta di negeri ini. Banyak pemangku jabatan yang hanya mempunyai kecerdasan rata-rata, bahkan minim. Apalagi bila hal itu diukur berdasarkan standar moral/akhlak.
Rasulullah mengingatkan tentang masalah ini lewat sabdanya, “Apabila suatu urusan itu tidak diserahkan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancurannya.”
Abu Dzar Al Ghifari, yang punya keluhuran budi itu, tidak diangkat Rasulullah menjadi pegawai karena kelemahan manajerialnya. Bagaimana dengan para pemangku jabatan saat ini, yang miskin ilmu sekaligus miskin budi pekerti? ***


Menghargai Spesialisasi Keahlian

Al Qur’an dan Sunnah telah mengajari kita untuk mengembalikan persoalan yang tidak kita ketahui kepada para ulama (orang yang berilmu), seperti pada firman-Nya,
“”..maka bertanyalah kepada orang yang berilmu, jika kamu tidak mengetahui.” (QS Al Anbiya: 7; simak juga QS An Nisa: 83; QS Al Furqan: 59; QS Fathir: 14).
Rasulullah marah besar tatkala seorang yang kepalanya sedang terluka, kemudian ada sebagian orang memberi fatwa kepadanya bahwa dia wajib mandi (lantaran mimpi), sekalipun luka parah, lantas ia mandi dan akhirnya meninggal dunia. Beliau bersabda, “Mereka telah membunuhnya, semoga Allah melaknat mereka. Mengapa mereka tidak bertanya jika tidak mengetahui? Sesungguhnya obat kebodohan itu adalah bertanya.”
Yusuf Qardawi, seorang ulama yang masyhur saat ini, merasa terkejut menemukan seseorang yang lancang berfatwa mengenai persoalan yang sangat berbahaya dan menetapkan hukum dalam perkara-perkara yang sangat penting. Padahal ia tidak mempunyai keahlian berfatwa, sedangkan fatwanya itu bertentangan dengan mayoritas ulama masa lalu maupun masa sekarang. Bisa jadi ia akan semakin nekat, menyalahkan, dan membodohkan orang lain dengan mengklaim bahwa ia bukanlah orang yang bertaklid, ia berhak melakukan ijtihad, bahwa pintu ijtihad itu terbuka bagi semua orang. Hal ini memang benar, tetapi menurut Yusuf Qardhawi, ijtihad itu memiliki persyaratan yang tidak semua orang memilikinya.
Ilmu syariat tidak boleh menjadi padang rumput yang boleh dijadikan tempat menggembala oleh semua orang dengan dalih Islam itu bukan monopoli sekelompok manusia dan Islam tidak mengenal kelas “tokoh-tokoh agama“ (kerahiban) seperti yang dikenal dalam agama lain.
Kenyataannya, Islam memang tidak mengenal tokoh agama yang punya otoritas kebenaran mutlak, tetapi Islam mengenal ulama spesialis yang diisyaratkan dalam ayat,
“…mengapa tidak pergi dari tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tantang agama dan supaya mereka memberi peringatan kepada kaumnya apabila telah kembali kepada mereka.” (QS At Taubah: 122)
Tidak ada gading yang tak retak. Setiap manusia punya kelemahan, tidak mungkin ia dapat menguasai berbagai disiplin ilmu sekaligus. Kalaupun ada sosok serba bisa (universalis) itu amat langka. Tidak selalu ada dalam setiap zaman. Yang paling mungkin dia menguasai satu disiplin ilmu, kemudian yang lain ia “ikut” dengan yang menguasainya. Ada saat dia menjadi programmer (pembuat program, memberi fatwa, menjadi rujukan, ahli), dan saat bersamaan juga menjadi user (pelaksana, pemakai, mengikuti fatwa, awam).
Kita tidak perlu ahli dalam berbagai hal. Kita cukup tahu ilmu-ilmu dasar dasar agama, seraya menguasai satu disiplin ilmu secara optimal. Sisi yang lain kita dapat menyandarkan kepada ahlinya. Rasulullah saw. diutus menjadi penyampai wahyu, sementara itu para sahabat telah memiliki berbagai profesi dan pekerjaan yang berbeda-beda. Beliau membiarkan setiap orang tetap pada profesinya, tidak memerintah mereka meninggalkannya dan berkonsentrasi untuk mencari ilmu dan dakwah, kecuali sseorang itu diminta untuk menjalankan suatu misi, hendaklah ia melaksanakannya dengan penuh ketekunan.
Setiap ilmu ada ahlinya. Setiap disiplin ilmu pasti ada tokohnya. Misalnya, seorang insinyur tidak boleh berbicara tentang persoalan kedokteran, demikian pula seorang dokter juga tidak boleh berfatwa tentang persoalan perundang-undangan. Bahkan seorang dokter spesialis tertentu tidak boleh masuk ke wilayah terlarang spesialisasi dokter lain.
Penghargaan terhadap spesialisasi ini penting dimaknai dalam lingkupnya yang luas. Seperti dalam pengelolaan zakat. Al Qur’an secara khusus menyebut profesi amil dalam mengelola harta zakat sebagi salah satu rukun yang wajib dijalankan umat Islam itu.
Para amil zakat mempunyai berbagai macam tugas dan pekerjaan yang berhubungan dengan pengaturan dan pengelolaan zakat. Bagaimana dana zakat itu dapat terhimpun; siapa saja yang layak mendapatkan zakat; bagaimana pendistribusian zakat itu dapat berfungsi sebagai pengentas kemiskinan; semua itu adalah urusan yang perlu ditangani secara sempurna. Karenanya hal itu memerlukan keseriusan dan spesialisasi keahlian. Tidak mungkin fungsi pemberdayaan itu akan terlaksana optimal bila kita hanya menunaikan kewajiban agama itu secara bersendiri.Bila harta zakat atau memberi makan fakir miskin itu hanya disampaikan waktu Ramadhan (satu bulan), lantas bagaimana dengan 11 bulan berikutnya? Tentu, hal itu perlu spesialisasi dalam pegelolaannya.
Begitulah dalam maknanya yang luas, menghargai spesialisasi itu penting. Setiap kita punya kelemahan. Kelemahan itu akan ditutupi oleh kelebihan orang lain. Itulah makna sejati dari anjuran berjemaah dan persaudaraan dalam Islam. Kelebihan dan kekurangan bila saling mengisi akan menciptakan harmoni, laksana pelangi: beragam warna, menebarkan banyak pesona. ***
[Tulisan ini merupakan arsip dari tulisan yang telah dipublikasikan di Buletin Sajada, Lembaga Amil Zakat Lampung Peduli, sejak 2005]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Saat Bencana Tak Menyadarkan Kita

“Belumkah datang kepada mereka berita penting tentang orang-orang yang sebelum mereka, (yaitu) kaum Nuh, 'Aad, Tsamud, kaum Ibrahim, penduduk Madyan dan negeri-negeri yang telah musnah? Telah datang kepada mereka rasul-rasul dengan membawa keterangan yang nyata, maka Allah tidaklah sekali-kali menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (QS At Taubah: 70) Selayaknya, hari itu adalah waktu libur yang menyenangkan. Pesisir pantai Aceh punya pesona menarik sebagaimana pantai lainnya di pesisir Samudera Indonesia. Pagi yang cerah. Menawarkan selera untuk bercengkerama dengan keluarga, sembari menikmati indahnya panorama pantai. Namun, malang tak dapat ditolak untung tak dapat diraih. Semuanya berubah menjadi peristiwa yang memilukan. Tiba-tiba bumi berguncang dahsyat, gempa mengundang panik semuanya. Belum sirna rasa terkejut itu, riuh rendah orang berteriak, “Air, air..., air datang!“ Kita selanjutnya menyaksikan ribuan mayat bergelimpangan, berbagai

PETAKA KUASA DUSTA

”Jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu-bapak dan kaum kerabatmu...Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” (TQS An Nisaa: 135). Ini kisah menurut La Fontaine dalam Fables et Epitres. Dunia margasatwa diserang wabah penyakit. Diduga wabah itu merupakan azab Tuhan karena kejahatan penghuni dunia itu. Baginda Singa, tokoh nomor satu di kerajaan rimba, dengan memelas mengakui, ”Akulah penyebab segala bencana ini. Pekerjaanku memakan warga yang lemah seperti domba dan kambing.” Serigala membantah. ”Bukan demikian, Baginda tidak salah.” Yang dilakukan singa adalah implikasi dari kekuasaan. Memakan warga adalah bagian resiko yang harus diambil dari kebijakan yang dibuat pemimpin. Seorang demi seorang dari pembesar margasatwa bergilir mengakui kesalahannya. Pengadilan selalu memutuskan mereka tak bersalah

“Robohnya Masjid Kami” [Kritik Memakmurkan Masjid]

“Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allah dalam masjid-masjid-Nya, dan berusaha untuk merobohkannya? Mereka itu tidak sepatutnya masuk ke dalamnya (masjid Allah), kecuali dengan rasa takut (kepada Allah). Mereka di dunia mendapat kehinaan dan di akhirat mendapat siksa yang berat.” (TQS Al Baqarah: 114) Masjid itu dindingnya dari tanah liat. Tiangnya batang kurma, lantainya pasir, dan atapnya pelepah kurma. Maka, di suatu hari kaum Anshar mengumpulkan harta dan mendatangi Rasulullah saw.. "Wahai Rasulullah, bangunlah masjid dan hiasilah seindah-indahnya dengan harta yang kami bawa ini. Sampai kapan kita harus salat di bawah pelepah kurma?" Rasulullah menjawab, "Aku ingin seperti saudaraku Nabi Musa, masjidku cukup seperti arisy (gubuk tempat berteduh) Nabi Musa a.s.” Dijelaskan oleh Hasan r.a. menjelaskan bahwa ukuran arisy Nabi Musa a.s. adalah bila Rasulullah saw. mengangkat tangannya maka atapnya akan tersentuh Hadits ya