Langsung ke konten utama

Istiqamah dan Muslim yang Dinamis

“Tetap teguhlah kamu pada jalan yang benar sebagaiana yang telah diperintahkan kepada kamu”
(QS Hud: 112)

”Ayat tersebut membuat rambutku memutih (beruban),” kata Rasulullah, saat menceritakan tentang turunnya Surah Hud: 112 yang menyuruh istiqamah. Kisah yang dinukilkan dalam buku-buku tafsir tersebut menyiratkan tentang begitu besarnya kedudukan istiqamah bagi kaum Muslimin.
Istiqamah artinya teguh hati, taat asas, atau konsisten. Hal itu adalah sifat unggul seorang Muslimyang akan menjamin kejayaan di dunia dan akhirat. Istiqamah adalah disiplin agama yang menganjurkan umatnya supaya dalam apa juga pekerjaan dan amalan, hendaklah dilakukan secara berterusan dan konsisten. Orang yang istiqamah ialah seorang yang comitted, tekun dan gigih melakukan sesuatu pekerjaan, tugas, dan tanggungjawab.
Seruan agar umat Islam beristiqamah dalam beribadah jelas diterangkan dalam beberapa ayat al-Quran dan hadits. Dalam sebuah hadits, Sufyan bin Abdullah Ats Tsaqafi bertanya kepada Rasulullah saw., “Wahai Rasulullah, jelaskan kepada saya satu ungkapan mengenai Islam, supaya saya tidak perlu lagi bertanya kepada orang lain, kecuali kepadamu.” Rasulullah menjawab, `(Islam itu adalah) kamu berkata `Aku beriman kepada Allah dan beristiqamahlah'.” (HR Muslim).
Allah menjanjikan kemuliaan dan keberkahan kepada orang yang istiqamah. "Dan seandainya mereka itu bersikap istiqamah di atas jalan kebenaran, maka pastilah Kami siramkan kepada mereka air yang melimpah (rejeki yang banyak)." (QS Al Jinn:16).
Air adalah lambang kehidupan dan lambang kemakmuran. Maka Allah menjanjikan mereka yang konsisten mengikuti jalan yang benar akan mendapatkan hidup yang mulia di dunia. Janji keistimewaan kepada orang yang istiqamah juga diberikan nanti di akherat yang membuatnya sellau merasa tenang menhadapi cobaan. ”Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan Tuhan kami adalah Allah kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka maka malaikat akan turun kepada mereka (untuk mengatakan ) : Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih dan bergembiralah kamu dengan memperoleh surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu “. Kami (Allah) adalah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia maupun akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh pula apa yang kamu minta. Sebagai hidangan bagimu dan Tuhan yang maha pengampun lagi maha penyayang (QS Fushilat :30-32).

Istiqamah di Zaman Modern
Keperluan kepada sikap istiqamah itu ada pada setiap masa. Lebih-lebih lagi diperlukan di zaman modern ini. Karena kemodernan (modernitas, modernity) bercirikan perubahan. Bahkan para ahli menyebutkan bahwa kemodernan ditandai oleh "perubahan yang terlembagakan" (institutionalized change). Artinya, jika pada zaman-zaman sebelumnya perubahan adalah sesuatu yang "luar biasa" dan hanya terjadi di dalam kurun waktu yang amat panjang, di zaman modern perubahan itu merupakan gejala harian, dan sudah menjadi keharusan.
Lihat saja, misalnya, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama teknologi microchip (harfiah: kerupuk kecil) dalam teknologi elektronika. Siapa saja yang mencoba bertahan pada suatu bentuk produk, baik dia itu produsen atau konsumen, pasti akan tergilas dan merugi sendiri. Karena itulah maka "Lembah Silikon" atau Silicon Valley di California selalu diliputi oleh ketegangan akibat kompetisi yang amat keras.
Adanya kesan bahwa "perubahan yang terlembagakan" itu tidak memberi tempat istiqamah adalah salah. Kesalahan itu timbul antara lain akibat persepsi bahwa istiqamah mengandung makna yang statis. Memang istiqamah mengandung arti kemantapan, tetapi tidak berarti kemandekan. Melainkan lebih dekat kepada arti stabilitas yang dinamis. Dapat dikiaskan dengan kendaraan bermotor: semakin tinggi teknologi suatu mobil, semakin mampu dia melaju dengan cepat tanpa guncangan. Maka disebut mobil itu memiliki stabilitas atau istiqamah.
Istiqamah yang dipahami dalam maknanya yang dinamis ini sejalan dengan pelajaran yang disampaikan Ibnu Umar. Ibnu Umar berkata: Suatu saat Rasulullah saw. memegang pundakku sembari bersabda,”Jadilah engkau di dunia ini seakan-akan orang asing atau penyeberang jalan (musafir). Selanjutnya, Ibnu Umar berkata, Jika engkau di waktu sore janganlah menunggu pagi, jika engkau di waktu pagi janganlah menunggu hingga sore, pergunakanlah waktu sehatmu sebelum engkau sakit, dan pergunakanlah waktu hidupmu sebelum engkau mati.” (HR Imam Bukhari).
Pelajaran tentang gerak yang dinamis dari keIslaman seseorang begitu terang dalam hadits Rasulullah di atas. Tidak ada tempat ”berhenti.” Keimanan harus terus melaju, melintasi batas-batas perbedaan waktu dalam hidup kita. Ada makna ketergesaan, tidak menunggu, untuk terus mengisinya dengan kebaikan.
Semakin sering seorang Muslim tidak menunda-menunda kebaikan yang ia jalankan, di situlah jaminan langgengnya kebaikan yang ada pada dirinya. Seperti pada contoh mobil di atas. Mobil disebut dengan stabil bukanlah pada waktu ia berhenti, tapi justru ketika dia melaju dengan cepat. Maka begitu pula dengan hidup di zaman modern ini. Kita harus bergerak, melaju, namun tetap stabil, tanpa goyah. Ini bisa saja terwujud kalau kita menyadari dan meyakini apa tujuan hidup kita, dan kita dengan setia mengarahkan diri kepadanya, sama dengan mobil yang stabil terus melaju ke depan, tanpa terseot ke kanan-kiri.
Yang harus kita pahami, yang sebenarnya mengalami "perubahan yang terlembagakan" dalam zaman modern ini hanyalah bidang-bidang yang bersangkutan dengan "cara" hidup saja, bukan esensi hidup itu sendiri dan tujuannya. Ibarat perjalanan Jakarta-Surabaya, yang mengalami perubahan hanyalah alat transportasinya, mulai dari jalan kaki, sampai naik pesawat terbang. Tujuannya sendiri tidak terpengaruh oleh "cara" menempuh perjalanan itu sendiri. Maka ibarat mobil yang stabil yang mampu melaju dengan cepat, begitu pula orang yang mencapai istiqamah tidak akan goyah, apalagi takut, oleh lajunya perubahan. Dia hidup dinamis, berjalan di atas kebenaran demi kebenaran, untuk sampai akhirnya kembali kepada Allah, Sang Kebenaran Mutlak dan Abadi.

Setelah Ramadhan

Beramal secara istiqamah nampak penting kita pada hari-hari setelah berlalunya Ramadhan. Ya, betapa kebaikan, kedermawanan, dan beragam amal shalih itu selalu menghiasi hari-hari puasa kita. Adakah hal itu masih berlanjut, berjalan dinamis dalam keseharian kita berikutnya?
Allah menjanjikan derajat istimewa bagi orang-orang yang tetap melanjutkan kebaikan yang telah dilakukannya saat Ramadhan. Maka, selesai menunaikan ibadah shaum Ramadan yang diakhiri Idulfitri, telah menunggu ibadah shaum lain yang bernilai tinggi. Shaum enam hari di bulan Syawal. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Nabi Muhammad saw bersabda,"Barang siapa bershaum pada bulan Ramadan, kemudian diikuti dengan shaum enam hari pada bulan Syawal, seolah-olah berpuasa sepanjang masa."
Istimewanya puasa 6 hari di bulan Syawal, (salah satunya) adalah pada aspek kelanjutan ibadah. Allah mengharapkan amal shalih yang kita lakukan itu tidak berhenti ketika Ramadhan usai, tetapi tetap ajek, terus menerus, langgeng, konsisten, pada bulan-bulan berikutnya. ***

[Tulisan ini merupakan arsip dari tulisan yang telah dipublikasikan di Buletin Sajada, Lembaga Amil Zakat Lampung Peduli, sejak 2005]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Saat Bencana Tak Menyadarkan Kita

“Belumkah datang kepada mereka berita penting tentang orang-orang yang sebelum mereka, (yaitu) kaum Nuh, 'Aad, Tsamud, kaum Ibrahim, penduduk Madyan dan negeri-negeri yang telah musnah? Telah datang kepada mereka rasul-rasul dengan membawa keterangan yang nyata, maka Allah tidaklah sekali-kali menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (QS At Taubah: 70) Selayaknya, hari itu adalah waktu libur yang menyenangkan. Pesisir pantai Aceh punya pesona menarik sebagaimana pantai lainnya di pesisir Samudera Indonesia. Pagi yang cerah. Menawarkan selera untuk bercengkerama dengan keluarga, sembari menikmati indahnya panorama pantai. Namun, malang tak dapat ditolak untung tak dapat diraih. Semuanya berubah menjadi peristiwa yang memilukan. Tiba-tiba bumi berguncang dahsyat, gempa mengundang panik semuanya. Belum sirna rasa terkejut itu, riuh rendah orang berteriak, “Air, air..., air datang!“ Kita selanjutnya menyaksikan ribuan mayat bergelimpangan, berbagai

PETAKA KUASA DUSTA

”Jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu-bapak dan kaum kerabatmu...Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” (TQS An Nisaa: 135). Ini kisah menurut La Fontaine dalam Fables et Epitres. Dunia margasatwa diserang wabah penyakit. Diduga wabah itu merupakan azab Tuhan karena kejahatan penghuni dunia itu. Baginda Singa, tokoh nomor satu di kerajaan rimba, dengan memelas mengakui, ”Akulah penyebab segala bencana ini. Pekerjaanku memakan warga yang lemah seperti domba dan kambing.” Serigala membantah. ”Bukan demikian, Baginda tidak salah.” Yang dilakukan singa adalah implikasi dari kekuasaan. Memakan warga adalah bagian resiko yang harus diambil dari kebijakan yang dibuat pemimpin. Seorang demi seorang dari pembesar margasatwa bergilir mengakui kesalahannya. Pengadilan selalu memutuskan mereka tak bersalah

“Robohnya Masjid Kami” [Kritik Memakmurkan Masjid]

“Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allah dalam masjid-masjid-Nya, dan berusaha untuk merobohkannya? Mereka itu tidak sepatutnya masuk ke dalamnya (masjid Allah), kecuali dengan rasa takut (kepada Allah). Mereka di dunia mendapat kehinaan dan di akhirat mendapat siksa yang berat.” (TQS Al Baqarah: 114) Masjid itu dindingnya dari tanah liat. Tiangnya batang kurma, lantainya pasir, dan atapnya pelepah kurma. Maka, di suatu hari kaum Anshar mengumpulkan harta dan mendatangi Rasulullah saw.. "Wahai Rasulullah, bangunlah masjid dan hiasilah seindah-indahnya dengan harta yang kami bawa ini. Sampai kapan kita harus salat di bawah pelepah kurma?" Rasulullah menjawab, "Aku ingin seperti saudaraku Nabi Musa, masjidku cukup seperti arisy (gubuk tempat berteduh) Nabi Musa a.s.” Dijelaskan oleh Hasan r.a. menjelaskan bahwa ukuran arisy Nabi Musa a.s. adalah bila Rasulullah saw. mengangkat tangannya maka atapnya akan tersentuh Hadits ya