Langsung ke konten utama

Perbaikan yang Bergegas

“Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan kesalahan orang-orang lain. Dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan.”
(QS Al Imraan: 133-134).

Biar lambat asal selamat. Tidak selalu. Tidak juga untuk semua hal. Terlebih bila keterlambatan itu sendiri menimbulkan masalah yang lebih serius dan akhirnya mengkhawatirkan keselamatan. Sebab tidak semua hal bisa selamat kalau dilakukan hanya dengan berlambat-lambat. Diam juga tidak selalu berartti emas. Terutama untuk tindakan-tindakan yang tidak bisa terjadi tanpa diawali dari bicara, pernyataan, keputusan, maka diam bukan lagi emas. Di sini diam adalah stagnasi bahkan kematian.
Pemaknaan di atas penting kita renungkan, saat kita mengamati jalannya perbaikan di negeri ini. Hari demi hari telah berganti kita lalui. Ternyata, sudah 8 tahun berlalu kita bergelimang dalam krisis. Sejak 1997 kita tak pernah sepi dari berita-berita sedih akibat krisis. Selalu saja kita dihadapkan dengan masalah bertumpuk yang tak tampak berkurang. Kita seolah dipaksa berpacu dengan berbagai problema dengan sikap dan kemampuan kita yang sangat terbatas dalam setiap hal. Bahkan termasuk kemampuan untuk sekadar memutuskan perubahan dan perbaikan itu sendiri dalam waktu sesegera mungkin.
Banyak permasalahan yang (dibuat) terkatung-katung, sehingga membuat masalah yang sebenarnya sepele menjadi sulit dan malah mengorbankan banyak hal. Cerita tentang konflik kepala daerah di provinsi ini, adalah sekadar contoh dari kelambanan dari sebuah keputusan yang kemudian berbuah pahit. Sekadar memutuskan siapa yang paling layak jadi kepala daerah ternyata memakan waktu yang lama. Ini belum lagi, berbicara tentang perbaikan yang selayaknya dilakukan sebagai kepala daerah nantinya. Masalah seperti ini terjadi dalam banyak hal lain di negeri ini.
Ya. Banyak hal yang berhubungan dengan perbaikan kita selalu punya prestasi yang tidak menggembirakan. Satu tahun sudah bencana alam di Aceh terjadi. Namun bukan perbaikan yang terdengar nyaring pascabencana itu. Tetapi malah pemberitaan miring tentang gaji pimpinan badan bentukan pemerintah itu yang jumlahnya teramat besar.
Meski berfikir ulang, mengkaji lebih dalam adalah langkah-langkah yang baik, tetap saja ada keputusan yang harus segera diambil. Palu harus diketok, yang dengan itu perubahan secara resmi benar-benar terjadi. Yang pasti, hari-hari ini adalah kerja dharury (emergency) sebelum kerja recovery. Banyak keputusan yang harus diambil secara cepat. Agar perbaikan itu punya keberlangsungan, tidak lantas berakhir riwayatnya karena ketidakjelasan dan kelambanan.
Biar lambat asal selamat. Tidak selamanya begitu. Mengamati perkembangan di negeri ini, kita bisa melihat begitu banyak hal yang harus diselesaikan secara segera. Kita memerlukan perbaikan bergegas, di hulu atau di hilirnya. Ini bukan sekadar seperti kemauan memberantas korupsi atau penggerebekan sarang judi. Tapi juga soal keberanian dan kecepatan. Ini tidak hanya berlaku bagi pemerintah yang berkuasa, tetapi juga bagi setiap kita sebagai warga negara, secara keseluruhan.
Dalam QS Al Imraan: 133-134, yang dikutip di awal tulisan ini mengajarkan kepada kita bahwa bersegera, bergegas dalam melakukan perbaikan, adalah bagian penting dalam Islam. Bahkan ini bukan lagi pada aspek kecepatan dalam mengambil keputusan, tetapi langsung pada nilai manfaat atas keputusan tersebut. Itulah yang dapat dengan mudah kita maknai dari kata “(yaitu) orang-orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit” dalam ayat tersebut.
Keputusan untuk melakukan perbaikan adakalanya mengabaikan manfaat yang selayaknya kita kedepankan, karena keterbatasan kemampuan yang kita punyai atau faktor lain yang membuat kita enggan berkurban. Tapi begitulah, Al Qur’an secara jelas menyatakan bahwa kita harus berinfak (sebagai bentuk konkret memberikan manfaat perbaikan), di waktu lapang ataupun sempit.
Kerangka keimanan, melakukan perbaikan dalam bingkai “mencari ampunan kepada Allah” (sebagaimana termaktub dalam QS Al Imraan: 133-134), merupakan hal sangat penting kita maknai dengan benar. Ya, karena pada sisi yang lain, perubahan tidak selalu berarti perbaikan, tetapi malah keburukan yang lebih parah dari sebelumnya.
Maka keimanan selanjutnya berfungsi agar kita mempunyai sandaran-sandaran yang kuat. Kuat dalam pengertian perspektifnya (tinjauannya), maupun kesesuaiannya. Maka dalam keimanan dan kemusliman kita, kita bisa mendapati aturan, hukum dan tata tertib yang benar-benar kokoh. Perspektif hukum dalam Islam menganut keseimbangan antara hubungan manusia secara vertikal dengan Allah, dan hubungan secara horizontal dengan manusia. Ada masalah yang bersumber kesalahan pola interaksi kita dengan sesama manusia. Lewat tuntunan akal (dan bimbingan wahyu) kita akan mengetahui pangkal masalah dan solusinya. Namun, tidak semua masalah bersumber dari kesalahan pola interaksi kita sesama manusia, tetapi bisa jadi karena keingkaran/kesalahan kita kepada Allah Yang Maha Kuasa—seperti berbagai bencana alam yang melanda kita saat ini. Maka lewat tuntunan wahyu (Al Qur’an dan Sunnah Nabi), sebagai seorang Muslim, kita akan dapat mengetahui solusinya. Kita tidak perlu salah mengira bahwa kerusakan yang kita perbuat sebagai perbaikan.(Simak QS Al Baqarah 11-12).
Begitulah, bersegera, bergegas melakukan perbaikan itu juga semakna dengan pemaknaan bahwa hidup ini harus bergerak dinamis. Tidak boleh diam dan berhenti pada satu titik saja. Kita harus terus bergerak. Dari satu kegiatan ke kegiatan yang lainnya. Dari satu karya ke karya lainnya. Dari satu kondisi ke kondisi lainnya. Begitulah seterusnya, dengan interval-interval dan ukuran yang berimbang. Karena hidup perlu dinamika. Karena di dalam gerak ada kehidupan, dalam makna sesungguhnya. Bahkan Allah memerintahkan hamba-Nya untuk terus bergerak, ketika Ia menyuruh kita menyambung satu pekerjaan ke pekerjaan yang lain. “Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.” (QS Alam Nasyrah: 7-8) ***


Agar Kebaikan Itu Senantiasa Ada (Upaya Pribadi Menggesa Perubahan)


Rasulullah memegang pundak Ibnu Umar, lantas beliau bersabda, “Jadilah engkau di dunia ini sekan-akan perantau atau pengembara (musafir).” Dan Ibnu Umar berkata, “Jika engkau di waktu sore, maka janganlah engkau menunggu pagi, dan jika engkau di waktu pagi, maka janganlah menunggu sore, dan pergunakanlah sehatmu sebelum kamu sakit dan pergunakanlah di waktu hidupmu sebelum mati. (HR Bukhari).
Hadits di atas menegaskan tentang proses perbaikan yang semestinya kita lakukan dengan bersegera, yang dimulai dari setiap pribadi kita. Kita harus membiasakan diri merenung, bermuhasabah, atau mengevaluasi amal setiap hari. Kebiasaan inilah yan dilakukan seorang sahabat yang disebut Rasulullah sebagai ahli surga. Bahkan, dalam hadits yang mengisahkan sahabat ahli surga tersebut Rasulullah sampai mengulangnya tiga kali. Ahli surga itu ternyata bukan ahli ibadah yang kuantitas ibadahnya melebihi sahabat yang lain. Ia hanya kerap melakukan evaluasi diri menjelang tidurnya setiap malam lalu ia hapus rasa gundahnya pada sesama muslim.
Dalam kitab Bukaul Mabrur yang mengulas tentang tangisan orang-orang salih, mengetengahkan perkataan salafussalih: “Para orang tua kami selalu menghitung diri dari apa yang mereka perbuat dan apa yang mereka ucapkan, kemudian mereka menulisnya dalam sebuah daftar. Setelah salat Isya’ mereka mengeluarkan daftar amal dan ucapannya kemudian mereka menimbangnya. Jika amal yang dibuat buruk yang perlu istighfar maka mereka bertaubat dan beristighfar. Namun jika amalannya baik dan perlu disyukuri, merekapun bersyukur kepada Allah hingga mereka tertidur. Maka kamipun mengikuti jejak mereka. Kami mencatat apa yang kami perbuat dan menimbangnya.”
Sebagaimana setiap orang akan menerima lembaran-lembaran amalnya selama di dunia pada pengadilan akhirat nanti, setiap Muslim sangat dianjurkan untuk menghitung-hitung sendiri amal-amalnya sejak di dunia. Tujuannya jelas, agar segala keburukan tidak berulang, dan segala kebaikan tetap terpelihara bahkan lebih baik lagi. Umar r.a. memberi nasihat, “Hasibuu anfusakum, qabla an tuhasabu,” Hisablah amal-amal kalian sendiri, sebelum amal-amal kalian dihisab (oleh Allah di hari kiamat).
Hasan al Bashri juga memberi penguatan tentang pentingnya menghisab diri ini. “Sesungguhnya penghisaban di hari kiamat akan ringan bagi kaum yang telah menghisab amalannya di dunia. Begitu pula sebaliknya, penghisaban di hari kiamat akan berat bagi orang yang tidak menghisab amalannya di dunia.”
Pelajaran tentang perbaikan dapat kita pelajari dari pengalaman hidup kita sebelumnya. Semakin banyak orang bercermin terhadap masa lalu, maka ia akan semakin bijaksana menentukan langkah. Ini juga terkait dengan sejarah orang-orang yang hidup di masa lalu. Dengan mengetahui masa lalu, berarti seseorang memiliki modal informasi berharga sebagai bekal perjalanan yang ia lakukan di masa mendatang. Kehidupan ini tak ubahnya cermin pengulangan masa lalu. Silih berganti antara keberhasilan yang berganti dengan kegagalan, kemenangan dan kekalahan, kebahagiaan dan kesedihan. Semuanya berputar dan berganti bagai pergantian siang dan malam. Inilah yang dapat kita maknani dari firman Allah swt., “Dan hari-hari itu kami pergilirkan di antara manusia..” (QS Ali Imraan: 140).
Itulah hikmah dari penjabaran sejarah perjuangan para Rasul dan Nabi yang tertuang dalam Al Qur’an. Jejak sejarah perjuangan itulah yang akan menjadi rambu bagi umat manusia sepanjang zaman. Kita dapat belajar dari kebaikan atau kesalahan mereka. Maka kemudian, menggesa perbaikan itu selayaknya tak perlu banyak mengulangi kesalahan (trial and error). Karena Islam telah paripurna memberi pedoman dasar. ***

[Tulisan ini merupakan arsip dari tulisan yang telah dipublikasikan di Buletin Sajada, Lembaga Amil Zakat Lampung Peduli, sejak 2005]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Saat Bencana Tak Menyadarkan Kita

“Belumkah datang kepada mereka berita penting tentang orang-orang yang sebelum mereka, (yaitu) kaum Nuh, 'Aad, Tsamud, kaum Ibrahim, penduduk Madyan dan negeri-negeri yang telah musnah? Telah datang kepada mereka rasul-rasul dengan membawa keterangan yang nyata, maka Allah tidaklah sekali-kali menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (QS At Taubah: 70) Selayaknya, hari itu adalah waktu libur yang menyenangkan. Pesisir pantai Aceh punya pesona menarik sebagaimana pantai lainnya di pesisir Samudera Indonesia. Pagi yang cerah. Menawarkan selera untuk bercengkerama dengan keluarga, sembari menikmati indahnya panorama pantai. Namun, malang tak dapat ditolak untung tak dapat diraih. Semuanya berubah menjadi peristiwa yang memilukan. Tiba-tiba bumi berguncang dahsyat, gempa mengundang panik semuanya. Belum sirna rasa terkejut itu, riuh rendah orang berteriak, “Air, air..., air datang!“ Kita selanjutnya menyaksikan ribuan mayat bergelimpangan, berbagai

PETAKA KUASA DUSTA

”Jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu-bapak dan kaum kerabatmu...Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” (TQS An Nisaa: 135). Ini kisah menurut La Fontaine dalam Fables et Epitres. Dunia margasatwa diserang wabah penyakit. Diduga wabah itu merupakan azab Tuhan karena kejahatan penghuni dunia itu. Baginda Singa, tokoh nomor satu di kerajaan rimba, dengan memelas mengakui, ”Akulah penyebab segala bencana ini. Pekerjaanku memakan warga yang lemah seperti domba dan kambing.” Serigala membantah. ”Bukan demikian, Baginda tidak salah.” Yang dilakukan singa adalah implikasi dari kekuasaan. Memakan warga adalah bagian resiko yang harus diambil dari kebijakan yang dibuat pemimpin. Seorang demi seorang dari pembesar margasatwa bergilir mengakui kesalahannya. Pengadilan selalu memutuskan mereka tak bersalah

“Robohnya Masjid Kami” [Kritik Memakmurkan Masjid]

“Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allah dalam masjid-masjid-Nya, dan berusaha untuk merobohkannya? Mereka itu tidak sepatutnya masuk ke dalamnya (masjid Allah), kecuali dengan rasa takut (kepada Allah). Mereka di dunia mendapat kehinaan dan di akhirat mendapat siksa yang berat.” (TQS Al Baqarah: 114) Masjid itu dindingnya dari tanah liat. Tiangnya batang kurma, lantainya pasir, dan atapnya pelepah kurma. Maka, di suatu hari kaum Anshar mengumpulkan harta dan mendatangi Rasulullah saw.. "Wahai Rasulullah, bangunlah masjid dan hiasilah seindah-indahnya dengan harta yang kami bawa ini. Sampai kapan kita harus salat di bawah pelepah kurma?" Rasulullah menjawab, "Aku ingin seperti saudaraku Nabi Musa, masjidku cukup seperti arisy (gubuk tempat berteduh) Nabi Musa a.s.” Dijelaskan oleh Hasan r.a. menjelaskan bahwa ukuran arisy Nabi Musa a.s. adalah bila Rasulullah saw. mengangkat tangannya maka atapnya akan tersentuh Hadits ya