Langsung ke konten utama

Poligami Aa’ Gym vs Logika Masyarakat Sakit

“Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia neletakkan neraca (keadilan). Supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu.”
(QS Ar Rahman: 7-9).

Kabar itu memang terasa mengejutkan. Abdullah Gymmnastiar (Aa’ Gym), dai kondang itu, mempersunting isteri kedua (poligami). Tanggapan minor serta berbagai ungkapan kekecewaan pun mengalir deras. Ada anggapan di masyarakat bahwa poligami akan (selalu) memposisikan wanita sebagai korban. Karenanya, Aa’ Gym dinilai tidak layak melakukan hal itu. Pro-kontra pun bermunculan.
Pekan-pekan ini, isu poligami memang menjadi bahasan paling hangat. Apalagi ini menyangkut sosok Aa’ Gym yang telah menjadi idola. Tak urung, tanggapan pun mengalir sampai ke istana.
Mempertanyakan poligami tentu tidak ada salahnya. Apalagi di tengah anggapan atau beberapa kenyataan di lapangan, praktek poligami membuat wanita menjadi korban. Tetapi bila kemudian hal itu mengarahkan seseorang untuk mengingkari hukum agama, maka kita patut waspada. Ya. Apalagi bila kemudian hal tersebut mengarahkan kita untuk “menerima” praktek selingkuh (baca: zina) sebagai cela yang “lebih kecil dosanya” dibanding poligami.
Islam memang membolehkan poligami sesuai firman Allah dalam QS An Nisa: 3 dengan syarat adil sebagai bentuk pertanggungjawaban suami atas langkah yang ia ambil.
Syarat adil untuk dapat menafkahi keluarga inilah yang membuat tidak semua orang mampu/boleh berpoligami. Maka, karena syarat pertanggungjawaban itu, kita akan mendapati kenyataan bahwa pelaku poligami lebih sedikit daripada pelaku monogami. Artinya, bukan berarti kebolehan berpoligami dalam Islam itu lantas menyuburkan praktek poligami. Poligami adalah pilihan bebas-bertanggungjawab bagi setiap Muslim. Inilah yang selayaknya kita pahami secara natural (alamiah) dan proporsional. Islam membolehkan poligami, tetapi tidak semua orang (Muslim) mau/berselera melakukan poligami. Karenanya mengatur poligami dalam sebuah peraturan kenegaraan (yang potensial bertentangan dengan syariah Islam itu) nampak sebagai sikap berlebihan dan tidak lagi proporsional. Bagaimana dengan RUU APP (Anti ografi dan oaksi) yang tidak jelas kabarnya sampai sekarang?

Berdasar Ilmu
Sebuah kejadian yang kemudian menjadi perbincangan, lalu darinya kita dapat mengambil hikmah/pelajaran, adalah proses alamiah yang amat baik. Begitulah proses yang kita dapati saat Allah menurunkan wahyu. Nabi Muhammad saw saat berinteraksi dengan para sahabatnya menemukan masalah. Ayat Al Qur’an kemudian turun memberi jawaban. Karena itulah, saat ini kita akan mendapati ayat-ayat Al Qur’an banyak mempunyai kesesuaian dengan apa yang kita alami dalam keseharian kita, walau dengan ruang dan waktu yang berbeda. Al Qur’an dapat menjadi rujukan jawaban atas masalah yang kita hadapi.
Salah satu kekhawatiran kita seputar kontroversi poligami terkait dengan dasar rujukan penyelesaian. Ya. Kontroversi tentang hal ini seperti telah menjelma menjadi suara gaduh tanpa ilmu. Simpulan seperti apa yang dapat kita ambil ketika tayangan infotainment itu kita jadikan sebagai rujukan? Apa yang bisa dipertanggungjawabkan dari alasan ketidaksetujuan terhadap poligami dari seseorang yang sehari-harinya kita kenal sebagai badut/pelawak di teve? Apakah fakta empirik (pengalaman) dari buruknya keharmonisan keluarga seorang artis yang melakukan poligami—yang jelas tidak didasari motif agama itu—dapat dijadikan alasan menolak poligami?
Rasulullah telah memberi peringatan kepada kita tentang bahaya mendasari sebuah keputusan agama yang tidak didasari oleh pendapat ulama (ahli ilmu). “Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut (menghilangkan) ilmu dan manusia sekaligus, melainkan Allah akan mencabutnya dengan mematikan para ulama. Sehingga apabila seorang alimpun telah tiada, manusia bertanya kepada para pemimpin yang jahil, dimana apabila mereka ditanya, mereka memberi fatwa tanpa ilmu. Akhirnya mereka sesat menyesatkan.” (HR Muslim, Ibnu Majjah, Nasai, dan Tirmidzi).

Kepekaan
Abdullah bin Mas’ud ra meriwayatkan sebuah hadits dari Rasulullah saw. Beliau bersabda, “Ada tiga golongan yang Allah haramkan surga atas mereka: peminum arak, pelaku maksiat, dan dayyuts, yaitu orang rela melihat kemesuman (khabbats) terjadi pada keluarganya.(HR Ahmad).
Mari kita perhatikan peringatan Rasulullah saw. tersebut, khususnya pada golongan yang terakhir yang beliau sebut dengan dayyuts. Peringatan yang disampaikan lima belas abad lalu selayaknya menyentak kesadaran kita. Bagaimana tidak, ternyata sebagian dari kita sudah jauh kehilangan rasa cemburu terhadap orang-orang yang melakukan kemaksiatan.Bahkan, terhadap anggota keluarga sendiri. Padahal kita tentu tidak ingin diharamkan surga oleh Allah swt.
Secara kebetulan, perbincangan seputar poligami beriringan dengan peristiwa video o zina dilakukan oleh seorang anggota DPR. Ini penting menjadi cermin kepekaan kita. Agaknya, kita perlu bertanya masing-masing diri kita. Sejauhmana kita melihat hal itu sebagai kemaksiatan? Sebuah kemaksiatan besar, atau biasa-biasa sajakah? Ada kekhawatiran, pujian yang diberikan oleh seorang pejabat tinggi negara atas pengunduran diri pelaku zina tersebut, mewakili anggapan masyarakat secara mayoritas. Permasalahan tersebut dianggap selesai dengan ”sekadar” permintaan maaf tanpa konsekuensi hukum yang lain. Masyarakat tidak terlalu peka dan peduli dengan masalah tersebut.
Sepertinya, fakta ketidakpekaan itu telah begitu banyak terjadi. Seorang orang tua tidak begitu peduli dengan pergaulan isterinya. Kita menjadi tega dan terbiasa membiarkan anak perempuan kita sendiri, atau saudara kita, berjalan sambil bergandengan tangan dengan lelaki yang bukan muhrim-nya. Bahkan, umum saja berlaku di banyak rumah, para orangtua justeru meninggalkan teman laki-laki dari anak perempuannya yang datang, untuk berbicara leluasa di teras rumah. Atau di lain hal, kita terbiasa membiarkan anak-anak kita berbaju seronok dan memamerkan aurat. Padahal, ini salah satu sikap yang dimaksud sebagai dayyuts oleh Rasulullah, yaitu hilangnya rasa cemburu (kepada keluarga) dan membiarkan mereka terperangkap dalam jerat-jerat syaitan.
Ada segudang cerita tentang selingkuh (zina), kehamilan di luar nikah, atau anak yang lahir dengan ketidak jelasan status orangtuanya. Berita harian di media massa tidak pernah jeda memberitakan perilaku kriminal semacam ini. Banyaknya berita semacam ini mungkin telah begitu biasa kita terima. Sampai kemudian, kita kehilangan kepekaan. Kita tidak lagi melihat hal itu sebagai sebuah kejahatan yang besar. Perkara tersebut adalah hal yang biasa saja. Bahkan, ada yang telah ”menyerah.” Hubungan seksual di luar nikah dianggap bukan lagi sebuah kejahatan. Ya. Ini adalah ironi yang muncul di masyarakat, bahkan hukum negara. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHP) negeri ini tidak mengenakan delik hukum terhadap hubungan seksual lawan jenis bagi yang lelaki-perempuan yang belum menikah bila didasari suka-sama suka.
Inilah kenyataan yang sulit kita pungkiri. Maka perlu kembali ditegaskan, kita tidak sedang berbicara tentang kemaksiatan yang kita lakukan. Inilah perkara dosa bersama yang Allah dapat menurunkan siksa. Ya. Kita patut waspada. Ketidakpekaan kita itu bisa menjadi awal bencana itu. Sesungguhnya banyak bencana terjadi yang tidak hanya khusus menimpa orang-orang zalim. Ada orang baik di situ, tetapi bukan berarti menghalangi siksaan itu datang. Allah secara khusus telah memperingatkan dalam firman-Nya, ”Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.”(QS Al Anfal : 24 - 25).
Selayaknya, introspeksi itu terus kita lakukan. Jangan-jangan, pro kontra-opini yang kita seputar poligami itu muncul dari hilangnya kepekaan tersebut. Kita menjadi tidak tahu mana yang paling prioritas untuk dikedepankan. Membatasi poligami atau memberantas praktek perzinaan? Padahal Al Qur’an telah memberi batasan hukum yang jelas. Poligami legal dilakukan dengan segala prasyaratnya. Dan, zina juga telah jelas batasnya. Hukuman dera (cambuk) seratus kali dan diusir dari kampung halamannya bagi pezina yang belum menikah. Yang telah menikah, mereka dirajam sampai mati. Bahkan, di jaman Rasulullah, taubat tidak cukup untuk menebus dosa zina bagi yang mereka telah menikah kecuali dengan pelaksanaan hukum rajam tersebut. ***
[Tulisan ini merupakan arsip dari tulisan yang telah dipublikasikan di Buletin Sajada, Lembaga Amil Zakat Lampung Peduli, sejak 2005]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Saat Bencana Tak Menyadarkan Kita

“Belumkah datang kepada mereka berita penting tentang orang-orang yang sebelum mereka, (yaitu) kaum Nuh, 'Aad, Tsamud, kaum Ibrahim, penduduk Madyan dan negeri-negeri yang telah musnah? Telah datang kepada mereka rasul-rasul dengan membawa keterangan yang nyata, maka Allah tidaklah sekali-kali menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (QS At Taubah: 70) Selayaknya, hari itu adalah waktu libur yang menyenangkan. Pesisir pantai Aceh punya pesona menarik sebagaimana pantai lainnya di pesisir Samudera Indonesia. Pagi yang cerah. Menawarkan selera untuk bercengkerama dengan keluarga, sembari menikmati indahnya panorama pantai. Namun, malang tak dapat ditolak untung tak dapat diraih. Semuanya berubah menjadi peristiwa yang memilukan. Tiba-tiba bumi berguncang dahsyat, gempa mengundang panik semuanya. Belum sirna rasa terkejut itu, riuh rendah orang berteriak, “Air, air..., air datang!“ Kita selanjutnya menyaksikan ribuan mayat bergelimpangan, berbagai

PETAKA KUASA DUSTA

”Jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu-bapak dan kaum kerabatmu...Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” (TQS An Nisaa: 135). Ini kisah menurut La Fontaine dalam Fables et Epitres. Dunia margasatwa diserang wabah penyakit. Diduga wabah itu merupakan azab Tuhan karena kejahatan penghuni dunia itu. Baginda Singa, tokoh nomor satu di kerajaan rimba, dengan memelas mengakui, ”Akulah penyebab segala bencana ini. Pekerjaanku memakan warga yang lemah seperti domba dan kambing.” Serigala membantah. ”Bukan demikian, Baginda tidak salah.” Yang dilakukan singa adalah implikasi dari kekuasaan. Memakan warga adalah bagian resiko yang harus diambil dari kebijakan yang dibuat pemimpin. Seorang demi seorang dari pembesar margasatwa bergilir mengakui kesalahannya. Pengadilan selalu memutuskan mereka tak bersalah

“Robohnya Masjid Kami” [Kritik Memakmurkan Masjid]

“Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allah dalam masjid-masjid-Nya, dan berusaha untuk merobohkannya? Mereka itu tidak sepatutnya masuk ke dalamnya (masjid Allah), kecuali dengan rasa takut (kepada Allah). Mereka di dunia mendapat kehinaan dan di akhirat mendapat siksa yang berat.” (TQS Al Baqarah: 114) Masjid itu dindingnya dari tanah liat. Tiangnya batang kurma, lantainya pasir, dan atapnya pelepah kurma. Maka, di suatu hari kaum Anshar mengumpulkan harta dan mendatangi Rasulullah saw.. "Wahai Rasulullah, bangunlah masjid dan hiasilah seindah-indahnya dengan harta yang kami bawa ini. Sampai kapan kita harus salat di bawah pelepah kurma?" Rasulullah menjawab, "Aku ingin seperti saudaraku Nabi Musa, masjidku cukup seperti arisy (gubuk tempat berteduh) Nabi Musa a.s.” Dijelaskan oleh Hasan r.a. menjelaskan bahwa ukuran arisy Nabi Musa a.s. adalah bila Rasulullah saw. mengangkat tangannya maka atapnya akan tersentuh Hadits ya