Langsung ke konten utama

PETAKA KUASA DUSTA

”Jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu-bapak dan kaum kerabatmu...Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.”
(TQS An Nisaa: 135).

Ini kisah menurut La Fontaine dalam Fables et Epitres. Dunia margasatwa diserang wabah penyakit. Diduga wabah itu merupakan azab Tuhan karena kejahatan penghuni dunia itu. Baginda Singa, tokoh nomor satu di kerajaan rimba, dengan memelas mengakui, ”Akulah penyebab segala bencana ini. Pekerjaanku memakan warga yang lemah seperti domba dan kambing.” Serigala membantah. ”Bukan demikian, Baginda tidak salah.” Yang dilakukan singa adalah implikasi dari kekuasaan. Memakan warga adalah bagian resiko yang harus diambil dari kebijakan yang dibuat pemimpin.
Seorang demi seorang dari pembesar margasatwa bergilir mengakui kesalahannya. Pengadilan selalu memutuskan mereka tak bersalah. Sampai kemudian giliran Si Keledai berbicara. “Mungkin akulah yang bersalah. Aku pernah makan rumput yang tumbuh di kebun orang lain, karena kelaparan.” Maka, gemuruh juri di pengadilan margasatwa menuding keledai dan berteriak,”Manger l’herbe d’autrui! Quel crime abominable—Makan rumput orang! Alangkah buruknya kejahatan itu.” Keledai itupun dikorbankan untuk menyelamatkan kerajaan rimba dari bencana. La Fontaine mengakhiri ceritanya dengan sebuah kuplet: ‘Bagaimana keadaan Anda, kuat atau lemah, itulah yang menentukan hitam putih Anda dalam mahkamah.’
Sejarah umat manusia, kecuali beberapa periode yang singkat, telah membuktikan pernyataan La Fontaine. Kebenaran dan keadilan hanyalah apa yang menjadi kepentingan golongan yang kuat. Might is right. Kekuasaan itu kebenaran. Kita bisa berdebat tentang siapa pihak yang paling banyak memberi kontribusi salah. Tetapi siapa yang paling punya kuasa—dan berperan besar berbuat salah—belum tentu mau disalahkan.
Setiap orang bisa memberi makna berlainan pada apa yang terjadi di sekitarnya, mulai dari soal harga sembako yang sering memusingkan para ibu rumah tangga, sampai apa yang menjadi penyebab berbagai krisis dan bencana. Tetapi siapa yang kemudian paling layak dituntut memberi pertanggungjawaban, itu perkara lain. Bisa jadi muncul pengakuan jujur tentang kesalahan yang dilakukan si penguasa, tetapi kuasa yang dimiliki malah menghalanginya untuk menghadirkan penyelesaian. Seperti kisah La Fontaine, ada pihak lain yang dikorbankan untuk menanggung kesalahan. Atau, lebih miris lagi, keengganan untuk menghadirkan solusi ditutupi dengan retorika menyalahkan korban (blamming the victim). Dalam cerita Asopheles, si Rubah ingin mengambil buah anggur. Karena tinggi, anggur tidak bisa diraih. Seraya pergi, Rubah mendengus kesal, ”Ah, anggur ini masam!” Ketika bencana alam terjadi di suatu tempat, untuk menutupi kesalahan karena tidak memberi bantuan, sebagian orang memberi alasan ”Masyarakat setempat banyak melakukan maksiat. Salah mereka sendiri kalau bencana ini terjadi!” Ketika para penguasa datang menjenguk, hanya komentar serupa yang keluar, ”Masyarakat telah mengabaikan tata ruang yang benar dalam mendirikan permukiman.” Para ahli menyebut hal ini sebagai rasionalisasi anggur masam (sour grapes).

Kejujuran
Presiden dikabarkan menangis ketika melihat bencana lumpur di Sidoarjo. Kita perlu memberi apresiasi positif atas hal itu. Ini menjadi berita baik bagi mereka yang telah setahun menderita karena bencana tersebut. Ada harapan bahwa ganti rugi yang dijanjikan akan terbayarkan tuntas. Begitulah, ”pengakuan” dan ”janji” itu telah terlontar. Namun, kita tidak ingin kisah La Fontaine menjadi cerita yang berulang di Sidoharjo. Ini akan terjadi bila komitmen memberi solusi itu hanya sekadar menagih janji dari Lapindo. Bila itu terjadi, maka tangisan itu hanya akan dikenang sebagai retorika mencari simpati.
Hari ini, kita telah lelah dengan beragam janji. Kita ingin janji itu bukan retorika palsu dari tradisi berkuasa. Janji yang terus berulang dalam lingkaran kekuasaan. Pada awal dan berikutnya. Ketika awal kita pilih saat pemilu (atau pilkada) sampai ketika kekuasaan itu telah ada dalam genggaman. Pada gilirannya, ini menjadi rangkaian dusta yang berkelindan.
Dunia pernah diguncangkan dengan retorika dusta yang sangat perkasa. Dibimbing Goebbels, Hitler menggunakan kefasihan bicara untuk menanamkan fanatisme rasial. Ia berhasil mencetak ”robot-robot” yang siap mati untuk meneriakkan ”Heil Hitler—Hidup Hitler!.” Ia menyihir jutaan manusia untuk menegakkan kemulian bangsa Aria, jutaan orang Jerman berubah menjadi buldoser yang meluluhlantakkan kemanusiaan dan peradaban. Dalam kepulan asap mesiu Perang Dunia II, disela-sela tembakan meriam, kita mendengar ”zikir” yang mengerikan. ”Hitler befehl, wir folgen—Hitler memerintah, kita mematuhinya.”
Ketika Hitler ditanya apa yang menyebabkan suksesnya, ia berkata, ’Ich konnte reden—Aku memang bisa bicara.” Kelak, para peneliti ilmiah menganalisis pembicaraan Hitler. Mereka menemukan beberapa teknik bicara yang dia gunakan. Pertama, Hitler tidak ragu-ragu menggunakan kebohongan. Kebenaran, kata Hitler, adalah kebohongan yang dikalikan seribu kali. Jika Anda berdusta, ulangi dusta itu ribuan kali. Orang banyak akan memercayainya. Kedua, kebencian.Untuk menumbuhkan kesetiaan kelompok, kembangkan kebencian kepada lawan. Dunia harus dibagi dua. Bagian pertama adalah golongan kita dengan segala kebaikannya; bagian kedua adalah golongan lain dengan segala kehinaan dan kejahatan. Semua yang tidak setuju dengan kita adalah penjahat. Seperti film, kejadian dunia harus dijelaskan dari pertempuran ”yang punya lakon” yakni kita dan ”penjahat,” yaitu kelompok yang lain. Ketiga, berkaitan dengan upaya menumbuh-kembangkan kebencian adalah penistaan (rufmordes). Jatuhkan kehormatan lawan dengan memberikan gelar-gelar yang buruk. Nazi kemudian mengembangkan bahasa Jerman yang memberikan sebutan-sebutan indah kepada pendukungnya dan nama-nama buruk pada lawan-lawannya.
Para propagandis komunis mengikuti resep Hitler ini dengan setia. Mereka menyebarkan fitnah tentang lawan-lawan mereka. Dusta dijadikan bahan pembicaraan yang utama. Mereka mengajarkan kebencian sebagai senjata untuk meningkatkan semangat perjuangan. Para orang tua kita mungkin masih ingat bagaimana dahulu PKI menyebut lawan-lawannya di desa sebagai tujuh setan desa. Kata-kata cecunguk, lintah darat, antek imperialis, dikenakan pada musuh-musuh PKI. Lutnasarky, pemikir komunis terkenal, berkata, ”Singkirkan cinta jauh-jauh. Apa yang kita perlukan adalah kebencian. Kita harus belajar membenci. Hanya dengan ini kita akan menguasai dunia.”
Apapun sebab kebohongan, tak ada pembenaran moral untuk menguasai orang secara zalim. Kebohongan menjauhkan diri dari petunjuk Allah. ”...Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang melampaui batas lagi pendusta.” (TQS Al Mukmin: 28)
Kebohongan boleh jadi dapat mendatangkan sukses sementara. Tetapi sejarah hampir selalu menunjukkan akhir yang menyedihkan. Dengan cara-cara kebohongan itu, baik Nazi maupun komunis tidak dapat menguasai dunia. Keduanya hancur. Nazisme dikubur segera setelah Perang Dunia II. Komunisme disimpan di museum setelah Uni Soviet bubar. Hitler mati memalukan dengan cara bunuh diri. Joseph Goebbels, Menteri Propaganda Nazi sekaligus guru Hitler, juga tak kalah mengenaskan. Ia membunuh enam anaknya yang sedang tidur dengan suntikan, isterinya dengan racun, dan dirinya sendiri dengan tembakan. Tubuhnya dibakar untuk menghilangkan jejak—ia berbohong bahkan ketika sudah menjadi mayat. Dunia mengenangnya sebagai pelajaran bahwa pembohong tak pernah beruntung.***

[Tulisan ini merupakan arsip dari tulisan yang telah dipublikasikan di Buletin Sajada, Lembaga Amil Zakat Lampung Peduli, sejak 2005]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Saat Bencana Tak Menyadarkan Kita

“Belumkah datang kepada mereka berita penting tentang orang-orang yang sebelum mereka, (yaitu) kaum Nuh, 'Aad, Tsamud, kaum Ibrahim, penduduk Madyan dan negeri-negeri yang telah musnah? Telah datang kepada mereka rasul-rasul dengan membawa keterangan yang nyata, maka Allah tidaklah sekali-kali menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (QS At Taubah: 70) Selayaknya, hari itu adalah waktu libur yang menyenangkan. Pesisir pantai Aceh punya pesona menarik sebagaimana pantai lainnya di pesisir Samudera Indonesia. Pagi yang cerah. Menawarkan selera untuk bercengkerama dengan keluarga, sembari menikmati indahnya panorama pantai. Namun, malang tak dapat ditolak untung tak dapat diraih. Semuanya berubah menjadi peristiwa yang memilukan. Tiba-tiba bumi berguncang dahsyat, gempa mengundang panik semuanya. Belum sirna rasa terkejut itu, riuh rendah orang berteriak, “Air, air..., air datang!“ Kita selanjutnya menyaksikan ribuan mayat bergelimpangan, berbagai

“Robohnya Masjid Kami” [Kritik Memakmurkan Masjid]

“Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allah dalam masjid-masjid-Nya, dan berusaha untuk merobohkannya? Mereka itu tidak sepatutnya masuk ke dalamnya (masjid Allah), kecuali dengan rasa takut (kepada Allah). Mereka di dunia mendapat kehinaan dan di akhirat mendapat siksa yang berat.” (TQS Al Baqarah: 114) Masjid itu dindingnya dari tanah liat. Tiangnya batang kurma, lantainya pasir, dan atapnya pelepah kurma. Maka, di suatu hari kaum Anshar mengumpulkan harta dan mendatangi Rasulullah saw.. "Wahai Rasulullah, bangunlah masjid dan hiasilah seindah-indahnya dengan harta yang kami bawa ini. Sampai kapan kita harus salat di bawah pelepah kurma?" Rasulullah menjawab, "Aku ingin seperti saudaraku Nabi Musa, masjidku cukup seperti arisy (gubuk tempat berteduh) Nabi Musa a.s.” Dijelaskan oleh Hasan r.a. menjelaskan bahwa ukuran arisy Nabi Musa a.s. adalah bila Rasulullah saw. mengangkat tangannya maka atapnya akan tersentuh Hadits ya