Langsung ke konten utama

Sayangilah, Anak-anak itu…

“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar."
(QS Luqman: 13).

Saat melaksanakan salat Isya, Rasulullah tampak begitu lama memanjangkan sujudnya. Para sahabat waktu itu menyangka, Nabi memperpanjang salatnya karena wahyu. Maka, usai salat merekapun bertanya. Nabi saw menjawab, ”Tidak, bukan karena itu. Anakku menunggangi punggungku. Aku tidak ingin menyegerakan sujudku sebelum dia memenuhi hajatnya.”(Hayat Al Shahabah). Rupanya, Hasan dan Husain (cucu Rasulullah yang karena ungkapan sayangnya disebut sebagai anak-nya) sedang bermain-main lalu menjadikan Nabi saw sebagai tunggangan mereka.
Mari, kita simak penggalan kisah tersebut. Betapa Rasulullah begitu sayang kepada anak-anak. Mereka diajak Rasulullah untuk turut serta ke masjid. Bahkan, sampai mereka ”mengganggu” jalannya salat. Tapi, ungkapan sayang dan pujian malah meluncur dari mulut beliau. ”Alangkah indahnya kendaraan mereka dan alangkah indahnya para penunggangnya.”
Coba bandingkan dengan diri kita. Seringkali kita tidak senang bahkan sampai melarang anak-anak datang ke masjid. Kebiasaan mereka ribut adalah alasan yang sering kita ungkapkan untuk tidak menghendaki mereka ikut salat bersama. Tapi begitulah, Rasulullah ternyata begitu memanjakan anak-anak di masjid. Ketika Rasulullah berkhutbah, ia melihat Hasan dan Husain berlari dengan memakai pakaian merah. Nabi saw. turun dari mimbarnya, lalu memangku keduanya dan meletakkan di hadapannya. (Fadhail Al-Khamsah). Rasulullah juga pernah memimpin salat dengan menggendong puterinya. Kala berdiri ia dekap, ketika sujud ia letakkan puterinya di sisinya.
Kisah di atas, sesungguhnya menyiratkan pesan-pesan mendalam tentang selayaknya kita memperlakukan seorang anak. Ada banyak peristiwa kecil di sekitar kita, yang kita abaikan, namun mempunyai hubungan sebab-akibat yang berdampak besar di kemudian hari. Seperti menyediakan tempat bermain yang layak bagi anak-anak kita. Alasan mereka sering ribut, membuat anak-anak kita larang ke masjid. (Padahal, masjid adalah tempat beribadah, tempat berkumpulnya orang-orang baik). Si anak kemudian terbiasa dengan aktivitas lain, menonton TV misalnya. Saat beranjak besar, si anak sudah susah di ajak ke masjid karena tidak terbiasa, atau karena sudah mendapatkan tempat bermain yang lebih menyenangkannya. Jadilah ia sosok yang asing dengan masjid. Enggan ke masjid bisa sama artinya dengan akhlak yang bermasalah. Seperti ketika anak banyak menonton TV lalu menjadikan artis –yang perilakunya sering bertentangan dengan Islam—sebagai panutan. Maka, berawal dari sekadar larangan bermain di masjid, hal itu kemudian berubah menjadi hilangnya generasi Islam. Karena masjid sudah tidak lagi terpaut di hatinya.
Maka, bila kita cermati lebih jauh, kejadian yang menimpa anak-anak sesungguhnya banyak disebabkan oleh hubungan kausalitas (sebab-akibat) seperti di atas. Tegasnya, karena tidak adanya kasih sayang yang sepenuhnya kita berikan kepada anak-anak kita. Hari Anak Nasional, yang kita peringati pekan ini, selayaknya mendapat perhatian khusus dari kita umat Islam, dalam ”perkara-perkara kecil” seperti di atas. Betapa Islam sesungguhnya begitu memuliakan anak, dalam sebuah contoh yang detail.
Ini jauh dari sekadar menyelenggarakannya dalam upacara-upacara peringatan atau menggelar perbincangan tentang anak. Maka semestinya, kita tak perlu menyaksikan tragedi yang bertubi-tubi, tentang anak yang menjadi korban kekerasan, eksploitasi seks, atau gantung diri sekadar tidak lulus ujian/bayar SPP.
Rasulullah mencela orang yang tidak mau menyayangi anak-anak. Seperti saat seorang pemuka kabilah, Al Aqra’ bin Habis, melihat Nabi mencium anaknya. Dia keheranan dan bertanya, ”Engkau mencium anakmu? Padahal aku mempunyai sepuluh orang anak. Tidak seorangpun aku cium.” ”Aku tidaklah seperti kamu,” jawab Nabi. ”Karena Allah telah mencabut cinta dari jantungmu.” Lalu Nabi saw bersabda: ”Allah tidak menyayangi orang yang tidak menyayangi sesama manusia.”

Balasan Menyayangi Anak
Bila menyayangi anak itu dianjurkan Islam, tidak lain karena itu merupakan kebaikan yang mempunyai pahala besar. Seperti dalam riwayat Aisyah r.a. berikut ini. ”Seorang perempuan miskin datang menemuiku. Ia membawa anak perempuan. Aku memberikan tiga butir kurma kapadanya. Ia memberikan dua butir kurma kepada dua orang anaknya. Ia bermaksud memakan sisanya. Tapi kedua anaknya berusaha memintanya. Lantas, diberikan juga kurma tersebut. Perempuan itu tidak makan satu butirpun. Aku terpesona dengan perilaku perempuan itu. Aku ceritakan peristiwa tersebut kepada Rasulullah saw. Ia bersabda: ’Barangsiapa yang mendapat ujian atau menderita karena mengurus anak-anaknya, kemudian ia berbuat baik kepada mereka, maka anak-anaknya akan menjadi penghalang baginya dari siksa neraka. (HR Bukhari, Muslim, dan At Turmudzi).
”Barangsiapa memiliki tiga anak perempuan, lalu ia melindungi mereka, mengasihi mereka, memelihara mereka dengan baik, ia pasti masuk surga,” kata Nabi di waktu yang lain. (At Targhib wa Al Tarhib).
Mari perhatikan juga pada kata-kata perempuan pada hadits di atas. Nabi perlu menegaskan anak perempuan, karena pada zaman itu, anak-anak perempuan tidak punya hak sama sekali. Mereka dianggap beban ekonomi, sampai-sampai dibunuh beberapa saat setelah mereka lahir. Al Qur’an mengabadikan peristiwa pembunuhan anak perempuan itu, ketika Allah berfirman: ”Dan (ingatlah) ketika bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh.” (QS At Takwiir: 8-9)
Nabi memberikan contoh penghargaan kepada anak (khususnya anak perempuan) ketika memperlakukan Fatimah. Nabi memanggil puterinya ”Ummu Abiha” (ibu dari bapaknya), sebagai penghormatan atas baktinya. Bila Nabi berada dalam majelis dan melihat Fatimah datang, beliau segera bangkit. Tidak jarang ia cium tangan Fatimah di hadapan sahabat-sahabatnya—cium penghormatan dan kasih sayang sekaligus.
Pada saat anak perempuan dipandang rendah, Nabi mengangkat Fatimah. Ketika kehadiran anak wanita dianggap bencana, Nabi menyebut Fatimah ”al kautsar” (anugerah yang besar). Dalam masyarakat jahiliah yang bangga mengubur anaknya hidup-hidup, Nabi menegakkan hak-hak anak secara terbuka. Belum pernah pemimpin dunia memperlakukan anaknya seperti perlakuan Nabi kepada Fatimah. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, kita melihat seorang pemimpin agung menperjuangkan hak-hak seorang anak.

Hak-hak Anak dalam Islam

Salah satu hak anak yang harus dipenuhi oleh orangtuanya ialah memberikan nama baik. Abul Hasan meriwayatkan bahwa suatu hari seseorang bertanya kepada Nabi Muhammad saw.: ”Ya Rasulullah, apakah hak anakku terhadap diriku?”
Nabi menjawab, ”Engkau baguskan nama dan pendidikannya, kemudian engkau tempatkan (pelihara) ia di tempat yang baik.”
Bila Shakespeare mengatakan ”what is in a name?” (apa arti sebuah nama), Nabi menegaskan banyak sekali hal penting dalam nama seseorang. Ketika seorang sahabat menyebutkan namanya ”Hazn” (duka cita), Nabi menggantinya dengan ”Farh” (suka cita). ”Al Mudhtaji” (yang terbaring) diganti oleh Nabi menjadi ”Al Munba’its” (yang bangkit). Orang yang namanya ”Harb” (perang) diubah Nabi menjadi ”Silm” (damai), dan banyak lagi. (Al Targhib).
Anak berhak mendapat nama yang baik, karena seringkali nama yang diberikan oleh orangtuanya menentukan kehormatannya. Nama itu penting, karena nama dapat menujukkan identitas keluarga, bangsa, bahkan aqidah. Asep biasanya orang Sunda, Harahap aslinya dari Batak, Tukijo tentunya orang Jawa. Islam menganjurkan agar orangtua memberikan nama anak yang menampakkan identitas Islam—suatu identitas yang melampaui batas suku, bangsa, geografis, atau kekerabatan. Karena itu Muhammad Ali boleh jadi orang Pakistan, Iran, Indonesia, atau Amerika Serikat. Tetapi hampir pasti ia adalah orang Islam.
Para psikolog (ahli kejiwaan) menyatakan bahwa nama penting dalam pembentukan konsep diri. Secara tak sadar orang akan didorong untuk memenuhi citra (image, gambaran) yang terkandung di dalamnya. Ini disebut teori labelling (penamaan). Nama buruk akan membuat perilakunya buruk. Nama baik besar kemungkinan akan membuat perilakunya baik. ”Baguskanlah namamu, karena dengan nama itu kamu akan dipanggil pada hari kiamat nanti,” kata Rasulullah (HR Abu Dawud dan Ibnu Hibban).

Tidak Hanya dalam Hati
”Bukan termasuk umatku yang tidak menghormati orangtua dan tidak menyayangi anak kecil,” kata Nabi. Rasul juga berkata, ”Orang yang paling baik di antara kamu adalah orang yang paling penyayang kepada keluarganya, dan aku adalah orang yang paling sayang kepada keluargaku.”
Kasih sayang tidak boleh disimpan saja dalam hati. Karenanya Nabi mengungkapkan kasih sayang tidak saja secara verbal (dengan kata-kata) tapi juga dengan perbuatan. Pada suatu hari Umar menemukan Nabi merangkak di atas tanah, sementara dua anak kecil berada di atas punggungnya. Umar berkata, ” Hai anak, alangkah indahnya tungganganmu itu.” Yang ditunggangi menjawab, ”Alangkah indahnya para penunggangnya!” Suasana seperti itu menunjukkan betapa akrabnya Nabi saw dengan cucu-cucunya (Hasan dan Husain).
Pada tahun 1960-an, para psikolog terpesona dengan penelitian Harry Harlow. Dia memisahkan anak-anak monyet dari ibunya. Kemudian, dia mengamati pertumbuhannya. Monyet-monyet itu ternyata menunjukkan perilaku yang mengenaskan: selalu ketakutan, tak dapat menyesuaikan diri, dan rentan terhadap berbagai penyakit. Setelah monyet-monyet itu besar dan melahirkan bayi lagi, mereka menjadi ibu-ibu yang galak dan berbahaya. Mereka acuh tak acuh kepada anak dan seringkali melukai mereka. Kata psikolog itu adalah sakit kejiwaan akibat kondisi tanpa ibu (maternal deprivation). Pada manusia situasi tersebut juga terjadi tatkala terjadi konflik keluarga (perceraian), juga sedikitnya perhatian karena kesibukan kerja orang tua. Orang tua tak sempat lagi bercanda dengan anak-anak mereka, berkumpul ngobrol dengan hangat, atau memeluk dan mencium mereka dalam keakraban. Maka, kasih sayang yang langsung kita buktikan, berdampak penting bagi perkembangan jiwa anak.
Sesungguhnya banyak hal yang selayaknya kita lakukan untuk mendidik anak. Dari hadist-hadist Nabi kita tahu bahwa anak juga berhak mendapat makanan, pakaian, olahraga yang membantu pertumbuhan fisiknya, pendidikan yang baik untuk membantu perkembangan jiwanya, dan bimbingan agama untuk menyucikan ruhaninya. Tentu, tidak cukup ruang untuk membicarakannya di sini. Namun itu dapat kita mulai dari satu hal, saat kita menyayangi mereka sepenuh hati, dalam aktivitas nyata yang lebih detail. [*]
[Tulisan ini merupakan arsip dari tulisan yang telah dipublikasikan di Buletin Sajada, Lembaga Amil Zakat Lampung Peduli, sejak 2005]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Saat Bencana Tak Menyadarkan Kita

“Belumkah datang kepada mereka berita penting tentang orang-orang yang sebelum mereka, (yaitu) kaum Nuh, 'Aad, Tsamud, kaum Ibrahim, penduduk Madyan dan negeri-negeri yang telah musnah? Telah datang kepada mereka rasul-rasul dengan membawa keterangan yang nyata, maka Allah tidaklah sekali-kali menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (QS At Taubah: 70) Selayaknya, hari itu adalah waktu libur yang menyenangkan. Pesisir pantai Aceh punya pesona menarik sebagaimana pantai lainnya di pesisir Samudera Indonesia. Pagi yang cerah. Menawarkan selera untuk bercengkerama dengan keluarga, sembari menikmati indahnya panorama pantai. Namun, malang tak dapat ditolak untung tak dapat diraih. Semuanya berubah menjadi peristiwa yang memilukan. Tiba-tiba bumi berguncang dahsyat, gempa mengundang panik semuanya. Belum sirna rasa terkejut itu, riuh rendah orang berteriak, “Air, air..., air datang!“ Kita selanjutnya menyaksikan ribuan mayat bergelimpangan, berbagai

PETAKA KUASA DUSTA

”Jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu-bapak dan kaum kerabatmu...Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” (TQS An Nisaa: 135). Ini kisah menurut La Fontaine dalam Fables et Epitres. Dunia margasatwa diserang wabah penyakit. Diduga wabah itu merupakan azab Tuhan karena kejahatan penghuni dunia itu. Baginda Singa, tokoh nomor satu di kerajaan rimba, dengan memelas mengakui, ”Akulah penyebab segala bencana ini. Pekerjaanku memakan warga yang lemah seperti domba dan kambing.” Serigala membantah. ”Bukan demikian, Baginda tidak salah.” Yang dilakukan singa adalah implikasi dari kekuasaan. Memakan warga adalah bagian resiko yang harus diambil dari kebijakan yang dibuat pemimpin. Seorang demi seorang dari pembesar margasatwa bergilir mengakui kesalahannya. Pengadilan selalu memutuskan mereka tak bersalah

“Robohnya Masjid Kami” [Kritik Memakmurkan Masjid]

“Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allah dalam masjid-masjid-Nya, dan berusaha untuk merobohkannya? Mereka itu tidak sepatutnya masuk ke dalamnya (masjid Allah), kecuali dengan rasa takut (kepada Allah). Mereka di dunia mendapat kehinaan dan di akhirat mendapat siksa yang berat.” (TQS Al Baqarah: 114) Masjid itu dindingnya dari tanah liat. Tiangnya batang kurma, lantainya pasir, dan atapnya pelepah kurma. Maka, di suatu hari kaum Anshar mengumpulkan harta dan mendatangi Rasulullah saw.. "Wahai Rasulullah, bangunlah masjid dan hiasilah seindah-indahnya dengan harta yang kami bawa ini. Sampai kapan kita harus salat di bawah pelepah kurma?" Rasulullah menjawab, "Aku ingin seperti saudaraku Nabi Musa, masjidku cukup seperti arisy (gubuk tempat berteduh) Nabi Musa a.s.” Dijelaskan oleh Hasan r.a. menjelaskan bahwa ukuran arisy Nabi Musa a.s. adalah bila Rasulullah saw. mengangkat tangannya maka atapnya akan tersentuh Hadits ya