Langsung ke konten utama

“Robohnya Masjid Kami” [Kritik Memakmurkan Masjid]

“Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allah dalam masjid-masjid-Nya, dan berusaha untuk merobohkannya? Mereka itu tidak sepatutnya masuk ke dalamnya (masjid Allah), kecuali dengan rasa takut (kepada Allah). Mereka di dunia mendapat kehinaan dan di akhirat mendapat siksa yang berat.”
(TQS Al Baqarah: 114)

Masjid itu dindingnya dari tanah liat. Tiangnya batang kurma, lantainya pasir, dan atapnya pelepah kurma. Maka, di suatu hari kaum Anshar mengumpulkan harta dan mendatangi Rasulullah saw.. "Wahai Rasulullah, bangunlah masjid dan hiasilah seindah-indahnya dengan harta yang kami bawa ini. Sampai kapan kita harus salat di bawah pelepah kurma?"
Rasulullah menjawab, "Aku ingin seperti saudaraku Nabi Musa, masjidku cukup seperti arisy (gubuk tempat berteduh) Nabi Musa a.s.” Dijelaskan oleh Hasan r.a. menjelaskan bahwa ukuran arisy Nabi Musa a.s. adalah bila Rasulullah saw. mengangkat tangannya maka atapnya akan tersentuh
Hadits yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dari Ubadah ibn Shamit dalam kitab Dalail Al-Nubuwwah membuktikan bahwa kesederhanaan arsitektur Masjid Nabawi yang asli di Madinah bukanlah karena kurang biaya. Tetapi memang disengaja oleh Rasulullah saw. untuk diteladani umatnya.
"Aku tidak diutus untuk menghias-hias masjid," kata Rasulullah dalam riwayat yang lain. Bahkan peringatan bernada ancaman juga dikemukakan Rasulullah. "La taqumu al-sa'ah hatta yatabahannasu bil masajid, tidak datang saat kehancuran sampai manusia berlomba bermegah-megahan dengan masjid-masjid.”
Masih banyak hadits serupa yang memberi penekanan tentang perilaku sederhana bagi kaum Mukminin. Dalam kitab At-Targhih wa at-Tarhib, sahabat Anas r.a. pernah keluar menyertai Rasulullah saw. Lalu tampak oleh beliau bangunan tinggi berkubah. Beliau bertanya, "Apa itu?" Para sahabat menjawab bahwa itu adalah kubah milik si Fulan, orang Anshar. Rasulullah saw. bersabda, "Semua bangunan megah akan menjadi beban bagi pemiliknya di hari kiamat." Maka sahabat Anshar tadi dengan patuh meruntuhkan kubah itu. Lantas Rasulullah saw. mendoakannya dua kali, "Yarhamullah, yarhamullah, semoga Allah merahmatinya.”
Prinsip bangunan masjid sederhana ini dipegang teguh oleh beliau sampai wafat. Ini diteruskan oleh empat Khulafaur rasyidin, Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali r.a. Mereka adalah para khalifah yang paling salih dan paling faham tentang Islam. Di zaman merekalah wilayah Islam meluas dengan pesat meliputi kerajaan Mesir, Persia, dan Rumawi. Tetapi di tengah melimpahnya harta dari segala penjuru, arsitektur masjid Nabawi tetap sederhana sesuai pedoman Rasulullah saw., walaupun ukuran masjid mengalami perluasan berkali-kali.
Baru setelah Muawiyah, anak Abi Sufyan menjadi khalifah, negara diubah menjadi kerajaan dan ibu kota pindah dari Madinah ke Damaskus. Dia dan keturunannya hidup bermewah-mewah membangun istana pribadi berkubah hijau dan juga masjid Umayah yang megah. Penyimpangan prinsip ini berkelanjutan sepanjang sejarah Islam. Masjid-masjid mulai dibangun dengan arsitektur semakin mewah di seluruh dunia.
Bila sejarah diteliti, maka akan terungkap bawah sebagian besar istana masjid-masjid monumental itu dibangun oleh penguasa yang perilakunya tidak terlalu islami. Barangkali untuk mengimbangi rasa bersalah kemewahan hidupnya, mereka membangun juga masjid yang megah. Raja-raja yang salih biasanya tidak meninggalkan arsitektur masjid mewah. Arsitektur masjid megah terdapat dari Maroko sampai Spanyol. Dari Turki sampai India, Iran, sampai Asia Tenggara.
Entah apa yang paling patut untuk menilai hal ini. Saat ini masjid Nabawi di Madinah dibangun super mewah, dan sangat boros energi. Saking mahalnya sampai pintu dikunci pukul 10 malam, takut ada pencuri hiasan emas murni di dalamnya. Dan ironinya banyak yang ikut berbangga untuk hal yang dahulu dikecam oleh Rasulullah saw. Walaupun alasan ini mungkin masuk akal, demi syiar Islam, bangunan masjid harus melebihi megahnya gereja dan kuil. Tentu perlu ada perenungan mendalam, adakah hal itu diperintahkan dalam Alquran atau hadits atau ucapan sahabat?

Mewah vs Sederhana
Kita patut mewaspadai sikap kekaguman terhadap tampilan fisik tetapi lupa akan jiwa dan niat. Rasulullah saw. bersabda, "Sesungguhnya Allah tidak melihat penampilanmu dan kekayaanmu. Melainkan Dia melihat hatimu dan amalmu.” Bila prinsip ini diterapkan kepada penilaian masjid, maka yang dinilai seharusnya bukan hal fisik keindahan luar seperti tingginya kubah dan menara, mengkilatnya lantai granit dan empuknya permadani. Mahalnya lampu kristal. Indahnya ukiran ornamen di mimbar dan kaligrafi di dinding. Melainkan hal yang lebih abstrak berupa ketulusan niat membangun masjid, keikhlasan pengurus dan jemaahnya.
Bila sabda Rasulullah itu dipahami oleh sebagian besar kaum Muslimin, kita mungkin tidak akan melihat ironi ini. Masjid-masjid –yang besar dan mewah itu—terlihat kosong pada saat shalat fardhu, khususnya salat Subuh. Masjid hanya tampak penuh saat shalat Jumat. Padahal disitulah salah satu ukuran kemakmuran masjid; banyak jamaah pada saat salat fardhu.
Kenyamanan melakukan salat tentu tak berarti mewah. Keyamanan itu dapat kita peroleh dengan perilaku bersih. Demikianlah yang kita dapati dari Rasulullah. Beliau melarang meludah dan makan sejenis bawang bila masuk masjid. “Barangsiapa makan bawang putih, bawang merah dan kucai, maka janganlah sekali-kali mendekati masjid kami, sebab malaikat merasa terganggu oleh apa-apa yang mengganggu manusia.” (HR. Ahmad dan Bukhari dan Jabir r.a.).
Anjuran menjaga kebersihan itu juga kita dapati dalam hadits yang lain. “Dihadapkan padaku semua pahala yang diperbuat umatku, sampai-sampai kepada satu kotoran yang dikeluarkan oleh seseorang dari dalam masjid.”(HR. Abu Daud,Tirmdizi dari Anas ra).
Niat memegang peranan penting. Allah swt. memerintahkan menghancurkan masjid dhirar yang bagus di Madinah, hanya karena niat buruk kaum munafik yang membangunnya untuk memecah belah kaum Muslimin.
Paradigma arsitektur masjid harus dikoreksi. Tampilan fisik masjid tidak penting. Keindahan bukan prioritas pertama. Fungsi pokok masjid harus didahulukan. Tegaknya nilai Islami di lingkungan sekitar masjid, kekompakan persaudaraan Islam, kepekaan terhadap kesenjangan sosial adalah standar yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. dan para penerusnya. Setelah sasaran itu terlaksana, barangkali tidak mengapa sisa dana dipakai memperindah masjid.
“Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk." (TQS At Taubah: 18).***

Masjid yang Ramah Dhuafa
Masjid pengertiannya secara etimologis merupakan isim dari kata ”sajada”-”yasjudu”-”sujudan” yang artinya tenpat sujud, dalam rangka beribadah kepada Allah swt.. Makna ibadah tersebut mempunyai cakupan luas, termasuk aktivitas sosial kemasyarakatan secara umum. Di zaman Rasulullah, maaaasjid juga dijadikan tempat untuk brtmusyawarah, baik dalam merencanakan sesuatu yang berkaitan dengan urusan pribadi, keluarga, maupun umat secara keseluruhan. Masjid juga berfungsi sebagai tempat berlindung. Bila seseorang dalam keadaan tidak aman, maka apabila dia masuk ke masjid, Rasulullah dan para sahabatnya memberikan perlindungan atau jaminan kebaikan selama dia dalam kebaikan. Itulah yang terjadi saat futuh Mekkah.
Di samping itu perlindungan juga terkait dengan perlindungan secara firik terhadap terik pans matahari dan hujan sehingga para musafir dapat berlindung di masji untuk beristirahat sementara, sehingga pada masa Rasulullah ada seorang Muslim menjadi musafir, dia tidak perlu kebingungan mencari tempat menginap. Masjid bisa dimanfaatkannya untuk menginap. Bahkan pada masa Rasulullah, masjid juga menyediakan semacam asrama yang disebut dengan shuffah. Banyak beberapa sahabat yang dhuafa menetap di sana sehingga mereka dikenal dengan sebutan ahlus shuffah. Masjid mempunyai kesan ramah kapada para musafir atau dhuafa.
Wajah ramah masjid itu sebenarnya juga terlihat pada masjid-masjid tua di Indonesia. Bagian masjid yang ramah itu adalah pendopo (bale). Bagian bangunan ini dapat ditemukan pada masjid seantero Nusantara (Indonesia dan Malaysia). Keberadaan pendopo tersebut punya akar jauh pada keberadaan kaum Muhajirin (Muslim yang hijrah Mekkah), yang ditampung di masjid yang disebut ahlus shuffah di atas. Fungsi sosial ini agaknya penting diperhatikan oleh kita semua. Masjid kerap kali tidak ramah terhadap musafir ataupun dhuafa. Ada yang harus ”terusir” lantaran masjid dikunci dengan dalih keamanan.
Keramahan lain yang mendasar adalah keberadaan masjid sebagai unit pengumpul zakat fitrah. Selayaknya tidak ada yang boleh kesulitan makan saat menyambut Idul Fitri. Zakat terkumpul lewat kepanitiaan masjid inilah yang harus disalurkan untuk menanggulangi hal tersebut. Ijma’ (kesepakatan) ulama menyatakan bahwa tidak boleh zakat digunakan untuk membangun masjid. Semua harus terdistribusi kepada yang berhak, sebagaimana firman Allah, ”Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, amil (pengurus zakat), para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (TQS At Taubah: 60).***
[Tulisan ini merupakan arsip dari tulisan yang telah dipublikasikan di Buletin Sajada, Lembaga Amil Zakat Lampung Peduli, sejak 2005]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Saat Bencana Tak Menyadarkan Kita

“Belumkah datang kepada mereka berita penting tentang orang-orang yang sebelum mereka, (yaitu) kaum Nuh, 'Aad, Tsamud, kaum Ibrahim, penduduk Madyan dan negeri-negeri yang telah musnah? Telah datang kepada mereka rasul-rasul dengan membawa keterangan yang nyata, maka Allah tidaklah sekali-kali menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (QS At Taubah: 70) Selayaknya, hari itu adalah waktu libur yang menyenangkan. Pesisir pantai Aceh punya pesona menarik sebagaimana pantai lainnya di pesisir Samudera Indonesia. Pagi yang cerah. Menawarkan selera untuk bercengkerama dengan keluarga, sembari menikmati indahnya panorama pantai. Namun, malang tak dapat ditolak untung tak dapat diraih. Semuanya berubah menjadi peristiwa yang memilukan. Tiba-tiba bumi berguncang dahsyat, gempa mengundang panik semuanya. Belum sirna rasa terkejut itu, riuh rendah orang berteriak, “Air, air..., air datang!“ Kita selanjutnya menyaksikan ribuan mayat bergelimpangan, berbagai

PETAKA KUASA DUSTA

”Jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu-bapak dan kaum kerabatmu...Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” (TQS An Nisaa: 135). Ini kisah menurut La Fontaine dalam Fables et Epitres. Dunia margasatwa diserang wabah penyakit. Diduga wabah itu merupakan azab Tuhan karena kejahatan penghuni dunia itu. Baginda Singa, tokoh nomor satu di kerajaan rimba, dengan memelas mengakui, ”Akulah penyebab segala bencana ini. Pekerjaanku memakan warga yang lemah seperti domba dan kambing.” Serigala membantah. ”Bukan demikian, Baginda tidak salah.” Yang dilakukan singa adalah implikasi dari kekuasaan. Memakan warga adalah bagian resiko yang harus diambil dari kebijakan yang dibuat pemimpin. Seorang demi seorang dari pembesar margasatwa bergilir mengakui kesalahannya. Pengadilan selalu memutuskan mereka tak bersalah