Langsung ke konten utama

Cinta Mengiringi Hukum

…dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.
(QS An Nuur: 2).


Orang besar itu berpulang. Tiga puluh dua tahun berkuasa di negeri ini tentu banyak hal yang telah diperbuat. Ada prestasi besar yang telah ia torehkan. Namun, sebagai manusia biasa, ada juga kesalahan yang dilakukan. Maka meninggalnya, sampai saat ini, tak luput dari kontroversi. Bagi mereka yang banyak merasakan jasa besarnya, sepantasnya ia diberi gelar pahlawan. Bagi yang merasa dizalimi, dirinya harus tetap diadili.
Tentu kita tidak ingin memperkeruh kontroversi tersebut. Kalaupun proses hukum itu tetap terlaksana, kita hanya ingin hal itu didasari atas cinta. Tidak memperturutkan kebencian, semata-mata untuk membersihkan dosanya. Sebagaimana yang Rasulullah contohkan dalam kisah menggugah berikut ini.
Dari Abdullah ibnu Buraidah dari ayahnya berkata, "Aku pernah duduk di sisi Nabi saw., lalu seorang wanita dari Ghamidziyah datang menemui Rasulullah dan berkata, "Ya Nabiyallah, sesungguhnya aku telah berzina, dan aku ingin Anda mensucikan diriku (merajam)." Namun Rasulullah berkata kepadanya, "Pulanglah." Maka wanita itu pun pulang.
Keesokan harinya, wanita itu datang kembali kepada Rasulullah dan kembali membuat pengakuan zina. Dia berkata, "Nabiyallah, sesungguhnya aku telah berzina, dan aku ingin Anda mensucikan diriku (merajam)." Namun Rasulullah berkata kepadanya, "Pulanglah." Maka wanita itu pun pulang.
"Ya Nabiyallah, rajamlah diriku. Apakah Anda menolakku sebagaimana menolak pengakuan Ma'iz bin Malik? Demi Allah, saat ini aku sedang hamil."
Rasulullah mengatakan, "Pulanglah, sampai kamu melahirkan anakmu"
Seusai melahirkan, wanita itu kembali menghadap Rasulullah sambil menggendong bayinya itu seraya melapor, "Inilah bayi yang telah aku lahirkan."
Beliau bersabda, "Pergilah, dan susuilah bayi ini hingga disapih."
Setelah disapih, wanita tersebut kembali menghadap beliau dengan membawa bayinya yang di tangannya memegang sekerat roti. Wanita itu berkata, "Ya Nabiyallah, aku telah menyapihnya."
Akhirnya, Rasulullah pun mempercayai pengakuan wanita itu, lalu menyerahkan anak itu kepada seorang pria dari kalangan umat Islam. Beliau memerintahkan agar menggali lubang sampai di atas dada, lalu memerintahkan orang-orang untuk merajam wanita tersebut.
Saat itu Khalid bin Walid membawa batu di tangannya lantas melemparkannya ke arah kepala wanita itu hingga darahnya memuncrat mengenai wajah Khalid. Khalid pun memaki wanita itu. Akan tetapi Rasulullah mengatakan, "Sabarlah wahai Khalid! Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh dia telah bertaubat dengan taubat yang seandainya dilakukan oleh seorang pemungut cukai (pajak), niscaya ia akan diampuni."
Maka Rasulullah saw memerintahkan untuk memandikan jenazahnya, dan mensalatkan dan menguburkannya. Demikian hadits Riwayat Imam Ahmad.
Dalam riwayat Imam Muslim, ketika Rasulullah mensalatkan wanita Al-Ghamidziyah tersebut, Umar bin Khathab terheran,
"Engkau mensalatinya, wahai Rasulullah? Padahal ia telah berzina." Rasulullah menjawab, "Dia telah bertaubat dengan taubat yang sekiranya dibagikan kepada 70 penduduk Madinah, niscaya mencukupinya. Apakah engkau menemukan taubat yang lebih baik daripada orang yang menyerahkan jiwanya kepada Allah?"
Ini kisah lain yang serupa dari Imam Abu Dawud. Ada seorang lelaki dari kaum Anshar yang sakit sehingga kurus dan kulitnya sudah menempel tulangnya. Lelaki tersebut melakukan perzinaan dengan seorang jariah (budak). Lelaki itu menyesal. Ketika kaumnya datang menjenguk, ia memberitahukan perbuatannya, dan berkata: “Mintalah fatwa dari Rasulullah untukku. Sesungguhnya aku telah berbuat zina dengan seorang jariah yang datang kepadaku.”
Kemudian kaum itu menuturkan perbuatan lelaki tersebut kepada Rasulullah. “Kami belum pernah melihat seorang yang menderita sakit seperti dia. Kalau saja kami bawa kepadamu, ya Rasulullah, niscaya berantakanlah tulangnya (bila didera). Dia hanya tinggal tulang dan kulit.” Akhirnya Rasulullah saw. menyuruh mereka agar mengambil seratus ranting kayu dan dipukulkan kepada lelaki tersebut sekali saja.

Menghapus Dosa

Menghukum seseorang karena kejahatan, bukan berarti memperturutkan kemarahan, kebencian, ataupun dendam. Dalam Islam, bahkan ini adalah bagian dari upaya menolong seseorang untuk kehidupannya di akhirat. Yaitu ketika kemudian hukuman itu membuatnya terlepas dari siksaan di akhirat
Pendapat mayoritas (jumhur) ulama menyatakan bahwa hukuman merupakan penghapus dosa, sehingga orang yang terkena hukuman itu tidak disiksa lagi di akhirat nanti.
Hal ini didasari atas sabda Rasulullah dari Ubaidah bin Shamit. “Berjanjilah kamu sekalian di hadapanku untuk tidak menyekutukan Allah, untuk tidak mencuri dan untuk tidak membunuh nyawa yang diharamkan oleh Allah, kecuali dengan haq (benar). Barang siapa yang teguh dengan janjinya, maka balasannya tersedia di tangan Allah. Tetapi barang siapa yang masih melanggar salah satu di antara janji-janjinya itu, maka ia akan dikenai hukuman sebagai penghapus dosa tersebut baginya. Barang siapa yang masih juga melanggar janji-janji itu tetapi ditutupi oleh Allah, maka persoalannya terserah pula kepada Allah. Jika Dia menghendaki untuk mengampuninya, maka ia diampuni-Nya, dan jika sebaliknya maka ia akan disiksa.” (HR Bukhari Muslim)
Al Qur’an telah menetapkan hukuman tertentu untuk kesalahan-kesalahan tertentu. Kesalahan-kesalahan tersebut disebut “dosa yang mengharuskan adanya hukuman.” Kesalahan tersebut terdiri adalah berzina, menuduh berzina, mabuk, mengacau, murtad, dan memberontak. Tidak cukup permaafan (taubat) bila pelaksanaan hukum itu terlaksana. Syaikh Sayyid Sabiq dalam bukunya, Fiqih Sunnah, memberi gambaran detail bagaimana selayaknya hukum itu dilaksanakan oleh institusi yang berwenang (pemerintah).

Simpulan
Konon, presiden kedua negeri ini didakwa karena perkara korupsi. Ada harta yang tak semestinya dipunyai pribadi; yang mengharuskan dikembalikan ke kas negara.
Harta korupsi itu laksana utang. Sebagaimana sabda Rasulullah, utang adalah urusan yang tak selesai dibawa mati. Maka berdasarkan hal itu, ada kebiasaan umat Islam menjelang penguburan jenazah, menanyakan kepada jamaah apakah si mayit mempunyai sangkutan utang. Ahli warisnya punya tanggung jawab menyelesaikannya.
Kalau memang dakwaan itu benar terjadi, sekali lagi, kita ingin itu semata-mata didasari atas cinta. Menghilangkan sangkutannya di dunia, menolong kehidupannya di akhirat, dan mengantarkannya ke haribaan Allah dengan baik.. ***

[Tulisan ini merupakan arsip dari tulisan yang telah dipublikasikan di Buletin Sajada, Lembaga Amil Zakat Lampung Peduli, sejak 2005]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ramadhan: Saatnya Hijrah

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (TQS Ar Ruum: 30). Ini kabar gembira dari istana Cankaya, Istambul, Turki. Selasa (28/8) Abdullah Gul dilantik menjadi presiden ke-11 Turki. Istimewanya, ia didampingi oleh isteri yang berjilbab. Hayrunnisa Gul adalah Ibu Negara Turki pertama yang memakai jilbab. “Jilbab hanya menutupi kepala, bukan otak saya,” tegas ibu yang dikenal cerdas, berpenampilan hangat, elegan, dan menghindari sorotan media massa ini (Republika, 29/8). Jilbab memang sempat menjadi alasan untuk menjegal pencalonan Abdullah Gul. Turki, negara sekuler (memisahkan agama dalam pemerintahan) yang dibentuk Kemal Ataturk ini secara resmi memang masih melarang jilbab dipakai di instansi pemerintah. Kaum sekuler menilai jilbab tak patut menghiasi Istana Cankaya yang diangga...

Pemimpin Ruhani (Asa dari Gaza)

Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik. ( QS Al Ankabut: 69 ) Segala cara sudah ditempuh untuk membendung dakwah Muhammad. Semuanya tidak membuahkan hasil. Kepanikan kaum musyrikin Makkah mencapai puncaknya ketika keluarga besar Muhammad, Bani Hasyim dan Bani al-Muththalib, berkeras melindungi Muhammad. Mereka lalu berkumpul di kediaman Bani Kinanah dan bersumpah untuk tidak menikahi Bani Hasyim dan Bani Muththalib, tidak berjual beli dengan mereka, tidak berkumpul, berbaur, memasuki rumah ataupun berbicara dengan mereka hingga mereka menyerahkan Muhammad untuk dibunuh. Kesepakatan zalim itu mereka tulis dalam lembar perjanjian (shahifah) dan digantungkan di rongga Ka’bah. Pemboikotan itu berjalan 3 tahun. Stok makanan mereka habis. Sementara itu kaum musyrikin tidak membiarkan makanan apapun yang masuk ke Mekk...

Kapan Kita Berhenti Merokok? (Haramnya Rokok)

Dan janganlah kamu membinasakan diri kamu sendiri; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. ( TQS An Nisa’: 29 ) Hadir dalam acara syukuran haji tetangga, saya mendengar kisah menarik tentang ”razia” di Masjid Nabawi, Madinah. Di pintu masuk ke masjid, ada para penjaga yang mengawasi datangnya jamaah. Bila mendapati jamaah yang merokok, mereka menegur keras, ”Haram, haram!” seraya merampas rokok. Jauh hari sebelum fatwa MUI, ulama di Arab Saudi telah menetapkan haramnya rokok. Ketetapan tersebut ditindaklanjuti, salah satunya, dengan pelarangan di masjid. Jumhur ulama di berbagai negara di Timur Tengah, juga Malaysia dan Brunei Darussalam; telah memfatwakan keharaman rokok. Cepat atau lambat—kebetulan, Indonesia termasuk yang terlambat—rokok akan menjadi masalah yang menjadi perhatian penting para ulama. Menurut Ahmad Sarwat (pengelola rubrik konsultasi syariah situs eramuslim.com), awalnya memang belum ada ulama yang mengharamkan rokok, kecuali hanya memakruhkan. Namun das...