Langsung ke konten utama

Salih dalam Kesempitan

“Dan jikalau Allah melapangkan rejeki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan ukuran. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat.”
(QS Asy Syuura: 27).

Ketika Rasulullah saw. membangun masjid di Madinah, beliau menyediakan tempat terbuka di ujungnya. Tempat tersebut diberi naungan dan disebut Shuffah. Di situlah kemudian tinggal para sahabat Rasulullah saw. yang miskin, atau pendatang dari jauh (musafir) yang tidak punya sanak famili. Mereka hidup sangat sederhana dan seringkali menderita lapar. Malam-malam terkadang Rasululullah mengundang sebagian mereka untuk makan malam bersamanya, dan sebagian yang lain bersama sahabat Rasulullah yang lain.
Ketika Husain, cucu Rasulullah lahir, Fatimah disuruh bersedekah senilai perak yang beratnya seberat rambutnya. Sedekah itu dimintanya untuk diserahkan kepada Ahli Shuffah dan orang miskin. Sekali-kali Rasulullah meminta sahabatnya yang lain mengirimkan makanan kepada penghuni Shuffah.
Dengan segala kemiskinannya, Ahli Shuffah terbukti menjadi sahabat-sahabat Nabi pilihan. Merekalah yang paling rajin menghadiri majelis-majelis Rasulullah. Siang hari mereka berpuasa. Malam hari mereka ruku’ dan sujud. Waktu-waktu luangnya mereka pergunakan untuk berzikir. Ketika perang berkecamuk, merekalah yang paling dahulu dibawa Rasulullah ke medan pertempuran.
Dari ”pesantren” Shuffah inilah lahir pribadi-pribadi unggul. Ada Hanzhalah bin Abi Amir, yang jasadnya dimandikan para malaikat karena panggilan jihad—yang berakhir syahid— membuatnya tak sempat mandi junub. Ada Salman Al Farisi, pengembara pencari kebenaran yang dianugerahi ilmu-ilmu utama; Abdullah bin Mas’ud, yang mendapat gelar pembaca Al Qur’an pertama kepada orang kafir setelah Rasulullah; Hudzaifah al Yamani, yang digelari Pemelihara Rahasia Rasulullah; Al Barra bin Malik, yang rambutnya tertutup debu karena lamanya beribadat di masjid; Haritsah bin Nu’man, yang suara bacaan Al Qur’annya di surga kedengaran oleh Rasulullah dalam mimpinya; serta masih banyak yang lainnya.
Kepada mereka suatu hari Rasulullah datang. Dengan ramah Nabi menyapa mereka.
”Apa kabar kalian pagi ini?” Serentak mereka menjawab, ”Baik ya Rasulullah?”
”Hari ini kalian dalam keadaan baik. Bayangkan, apa yang akan terjadi pada kalian, jika pada pagi hari kalian makan pada satu wadah dan sore harinya pada wadah yang lain. Kalian menutup rumah kalian laksana menutup Ka’bah?”
Rasulullah memberi gambaran tentang kemudahan hidup, kecukupan pangan, pakaian, dan rumah yang layak.
”Ya Rasulullah, apakah dalam keadaaan demikian kami masih tetap dalam agama kami?” kata mereka selidik.
”Benar.”
”Jikalau begitu, hari itu kami lebih baik dari hari ini. Kami dapat bersedekah dan membebaskan budak belian.”
”Tidak, sesungguhnya hari ini lebih baik bagi kalian dari hari itu. Nanti kalian (malah) akan saling mendengki, saling menjauhi, dan saling membenci.”
Para ahli tafsir mengatakan bahwa berkenaan dengan Ahli Shuffah ini turun QS Asy Syuura: 27, seperti yang dikutip di muka.

Kaya Spiritual
Ada di antara manusia orang-orang seperti Ahli Shuffah. Allah menyempitkan rejekinya, tetapi memberinya peluang banyak untuk berkhidmat kepada Islam dan kaum Muslimin. Dalam keadaan miskin, mereka menjadi hamba-hamba Allah yang taat. Termasuk kebijaksanaan Allah untuk membuat mereka kekurangan. Sebagaimana badai utara yang ganas malah memperkuat bangsa Viking menjadi bangsa pengembara, seperti itulah penderitaan mengasah ruhani hamba-hamba Allah. Dengan QS Asy Syuura: 27, Allah dan Rasul-Nya menghibur Ahli Shuffah untuk mensyukuri kekurangan mereka. Justeru kalau mereka kaya, mereka mengalami “kemiskinan” spiritual.
Walaupun turun berkenaan dengan Ahli Shuffah, ayat itu sesungguhnya menyentuh kita semua. Bukankah ketika miskin, kebanyakan kita rajin salat berjamaah ke masjid? Bukankah ketika jabatan kita belum tinggi, kita mempunyai banyak waktu untuk bercengkerama bersama keluarga dan berkhidmat untuk umat? Bukankah ketika bisnis kita belum maju, kita sering bersilaturahim dengan sanak saudara dan tetanga? Bukankah setelah organisasi kita memperoleh dana besar, kita (malah) bertengkar sesama kita, saling menjegal, dan saling memfitnah?
Di sekitar kita, kita melihat orang-orang yang ”korup” karena kekayaan. Banyak orang salih pada masa kesempitan, berubah menjadi salah pada masa kesempatan. Ketika rejekinya banyak, mereka tidak punya waktu untuk beribadat; bahkan tidak jarang malah melakukan maksiat. Ketika menjadi aktivis kampus, ia tidur di masjid, karena tidak sanggup membayar sewa rumah. Di masjid itulah sebagian besar malamnya dihabiskan dalam zikir. Setelah menjadi direktur perusahaan, ia sering berkunjung ke tempat hiburan dan menghabiskan sebagian besar malamnya di situ. Ketika menjadi aktivis kampus yang kekurangan duit, ia terkenal ”vokal” mengkritik kebijakan yang menindas rakyat. Setelah memegang posisi basah, ia bungkam. ’Uang yang bisu dapat meluruskan yang bengkok. Uang yang bengkok juga telah membuat yang lurus menjadi bisu.’

’Sindrom’ Tsa’labah
Ingat kisah Tsa’labah? Ketika ia memohon doa Rasulullah agar dikaruniai rejeki yang banyak, Rasulullah bersabda,”Harta sedikit yang dapat engkau syukuri lebih baik dari harta yang banyak yang tidak sanggup engkau syukuri.”
Tetapi Tsa’labah mendesak. Rasulullah mendoakannya. Allah pun mengabulkan doa Nabi. Tsa’labah makin kaya. Makin bertambah kekayaannya, makin jauh dia dari masjid. Semakin jarang juga ia bertemu dengan saudara-saudaranya kaum Mukmin. Sebuah ayat turut memberi peringatan kepadanya. Keluarganya menangis karena tahu ayat itu ditujukan kepadanya. Tsa’labah tak menghiraukan. Ia kemudian mati tragis.
Jika hari ini kita, sendiri atau bersama-sama, merasa kekurangan dan kesulitan bisa jadi itulah yang terbaik dalam pandangan Allah. Kesulitan yang mendera negeri ini tampak perlu dilihat dalam perspektif ini. Maka, jika benar hari ini kita kekurangan, berdoalah supaya digabungkan dengan Ahli Shuffah. Kekurangan itu bukan berarti penghalang memperoleh keutamaan di hadapan Allah. Jika Anda kaya, maka berhati-hatilah dengan ’sindrom’ Tsa’labah. ***
[Tulisan ini merupakan arsip dari tulisan yang telah dipublikasikan di Buletin Sajada, Lembaga Amil Zakat Lampung Peduli, sejak 2005]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ramadhan: Saatnya Hijrah

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (TQS Ar Ruum: 30). Ini kabar gembira dari istana Cankaya, Istambul, Turki. Selasa (28/8) Abdullah Gul dilantik menjadi presiden ke-11 Turki. Istimewanya, ia didampingi oleh isteri yang berjilbab. Hayrunnisa Gul adalah Ibu Negara Turki pertama yang memakai jilbab. “Jilbab hanya menutupi kepala, bukan otak saya,” tegas ibu yang dikenal cerdas, berpenampilan hangat, elegan, dan menghindari sorotan media massa ini (Republika, 29/8). Jilbab memang sempat menjadi alasan untuk menjegal pencalonan Abdullah Gul. Turki, negara sekuler (memisahkan agama dalam pemerintahan) yang dibentuk Kemal Ataturk ini secara resmi memang masih melarang jilbab dipakai di instansi pemerintah. Kaum sekuler menilai jilbab tak patut menghiasi Istana Cankaya yang diangga...

Pemimpin Ruhani (Asa dari Gaza)

Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik. ( QS Al Ankabut: 69 ) Segala cara sudah ditempuh untuk membendung dakwah Muhammad. Semuanya tidak membuahkan hasil. Kepanikan kaum musyrikin Makkah mencapai puncaknya ketika keluarga besar Muhammad, Bani Hasyim dan Bani al-Muththalib, berkeras melindungi Muhammad. Mereka lalu berkumpul di kediaman Bani Kinanah dan bersumpah untuk tidak menikahi Bani Hasyim dan Bani Muththalib, tidak berjual beli dengan mereka, tidak berkumpul, berbaur, memasuki rumah ataupun berbicara dengan mereka hingga mereka menyerahkan Muhammad untuk dibunuh. Kesepakatan zalim itu mereka tulis dalam lembar perjanjian (shahifah) dan digantungkan di rongga Ka’bah. Pemboikotan itu berjalan 3 tahun. Stok makanan mereka habis. Sementara itu kaum musyrikin tidak membiarkan makanan apapun yang masuk ke Mekk...

Kapan Kita Berhenti Merokok? (Haramnya Rokok)

Dan janganlah kamu membinasakan diri kamu sendiri; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. ( TQS An Nisa’: 29 ) Hadir dalam acara syukuran haji tetangga, saya mendengar kisah menarik tentang ”razia” di Masjid Nabawi, Madinah. Di pintu masuk ke masjid, ada para penjaga yang mengawasi datangnya jamaah. Bila mendapati jamaah yang merokok, mereka menegur keras, ”Haram, haram!” seraya merampas rokok. Jauh hari sebelum fatwa MUI, ulama di Arab Saudi telah menetapkan haramnya rokok. Ketetapan tersebut ditindaklanjuti, salah satunya, dengan pelarangan di masjid. Jumhur ulama di berbagai negara di Timur Tengah, juga Malaysia dan Brunei Darussalam; telah memfatwakan keharaman rokok. Cepat atau lambat—kebetulan, Indonesia termasuk yang terlambat—rokok akan menjadi masalah yang menjadi perhatian penting para ulama. Menurut Ahmad Sarwat (pengelola rubrik konsultasi syariah situs eramuslim.com), awalnya memang belum ada ulama yang mengharamkan rokok, kecuali hanya memakruhkan. Namun das...