Langsung ke konten utama

Doa Sakti orang yang Dizalimi

“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman, mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.”
(TQS Al An’am: 82)

Dia lahir di tengah bangsa yang menjadikan kezaliman sebagai aturan hidupnya. Orang kaya memeras orang miskin. Orang kuat menindas orang lemah. Orang pandai memintari orang bodoh. Hukum telah digantikan oleh kekuatan otot. Might is right (kekuasaan adalah kebenaran).
Sejak kecil ia menyaksikan budak-budak yang diperlakukan lebih dari binatang. Mereka dipaksa bekerja dengan upah sekadar makan saja. Jika salah seorang di antara mereka melarikan diri—yang disebut ’abiq—dan ditemukan tuannya, berbagai siksaan akan diterimanya. Ia tentu melihat kesedihan dan ketakutan di wajah para ’abiq. Karena itulah, ketika ia berdoa ia membayangkan dirinya sebagai ’abiq yang dihempaskan di hadapan tuannya. Kelak, setelah menjadi Rasul, ia menyebut dirinya budak Allah. Ia memanggil Allah seperti budak memanggil tuannya, ”Anta Mawlana!”

Empati
Sejak ditinggalkan orang tuanya, ia akrab dengan derita. Ia tahu kelemahan posisi anak yatim dan orang miskin di tengah masyarakat yang ganas. Kehormatan mereka dicampakkan; penderitaan mereka dinafikan; tangisan mereka dibungkam. Karena itu, setelah diangkat menjadi Nabi, ia mengecam orang yang menganiaya anak yatim. ”Tangisan anak yatim mengguncang Arasy,” katanya mengingatkan umatnya. Ia berpesan untuk menjauhi perkara yang membinasakan manusia, yang salah satunya berawal dari memakan harta anak yatim. Ia juga memperingatkan orang kaya yang mengabaikan kesengsaraan orang miskin. Ia bersabda,” Tidaklah orang miskin lapar dan telanjang, kecuali ulah orang-orang kaya. Ketahuilah, Allah akan mengadili orang-orang kaya seperti itu dengan pengadilan yang berat dan menyiksa mereka dengan siksa yang pedih.”
Sejak muda ia menyaksikan penguasa yang menyalahgunakan kekuasaannya. Ia melihat kekuasaan selalu bersamaan dengan kezaliman. Begitu geramnya dengan kekuasaan yang zalim, utusan Allah ini bersabda,”Jauhilah pintu-pintu penguasa dan kaki tangannya. Karena, orang yang paling dekat dengan pintu penguasa dan kaki tangannya adalah yang paling jauh dari Allah.” Namun, ia juga memuji penguasa yang adil. Beliau bersabda,”Di antara yang dilindungi Allah pada hari ketika tidak ada perlindungan kecuali perlindungan-Nya, adalah penguasa yang adil. Penguasa adalah bayangan Tuhan di muka bumi. Dengan kekuasaannya orang lemah dilindungi dan orang tertindas dibela.”
Singkatnya, ia, Rasulullah saw., hadir untuk membasmi kezaliman. Termasuk kezaliman suami terhadap isteri, kezaliman orang tua terhadap anak atau anak terhadap orang tua, majikan terhadap buruh, bahkan manusia terhadap binatang. Ia marah ketika mendengar sebagian sahabatnya memukuli isteri-isterinya. Di Arafah, pada haji Wada’, ia menyampaikan khutbah terakhir. Di antara sabdanya yang mengguncangkan perasaan para sahabat waktu itu berbunyi,”Wahai manusia, dengarkan pembicaraanku dan renungkan baik-baik. Aku wasiatkan kepada kalian untuk berbuat baik kepada isteri-isteri kalian. Kalian tidak memiliki mereka dan tidak memiliki kalian.”
Ia menyampaikan kecaman Allah kepada orang-orang zalim. ”Allah tidak suka kepada orang zalim.”(TQS Al Imraan: 57); ”Sesungguhnya tidak akan beruntung orang-orang yang zalim.” (TQS Yusuf: 23); ”Bahkan orang zalim itu berada dalam kesesatan yang nyata.” (QS Luqman: 11).
Ketika ia mi’raj ke langit, Allah menyapanya,” Wahai saudara pemberi peringatan! Peringatkan kaummu agar mereka tidak memasuki rumah-Ku kecuali dengan hati yang tulus, lidah yang jujur, tangan yang bersih, kehormatan yang suci. Jangan biarkan orang yang berbuat zalim kepada orang lain di antara hamba-hamba-Ku untuk masuk ke rumah-Ku, karena Aku akan terus menerus melaknat dia selama dia berdiri salat di hadapan-Ku, sampai ia mengembalikan hak orang yang dizaliminya.”
Ketika kembali di bumi, ia berkata, “Ada tujuh siksa di antara hamba dengan surga. Yang paling ringan adalah kematian.” Anas bin Malik lantas bertanya,” Apa yang paling berat ya Rasulullah?” Ia menjawab, ”Berada di hadapan Allah ketika orang yang dizalimi bergantungan pada tangan orang-orang yang menzaliminya. Takutilah olehmu doanya orang yang dizalimi, sekalipun kafir, karena tak ada lagi penghalang antaranya dengan Allah.”

Kesinambungan

Berbuat zalim adalah merampas atau menghilangkan hak-hak orang lain. Menteror adalah menghilangkan hak orang lain unutk memperoleh rasa aman. Menyiksa secara fisik adalah merampas hak orang lain untuk memelihara keselamatan dirinya. Membungkam dengan kekerasan adalah mencabut hak orang untuk menyatakan pendiriannya. Mengambil harta orang lain dengan tidak halal adalah memberangus hak miliknya. Makin banyak hak yang dirampas, makin banyak orang yang menjadi korban, makin zalimlah pelakunya. Karena perbuatan zalim itu hanya berlangsung bila tidak ada perlawanan kepadanya, maka membirkan kezaliman juga termasuk kezaliman.
Karena itu, sepanjang risalahnya, tidak henti-hentinya Rasulullah berjuang menegakkan keadilan. Ia bukan hanya mengutuk kezaliman, ia juga mengecam orang-orang yang apatis terhadap kezaliman. Ia bersabda,” Barangsiapa yang melihat kemungkaran, ubahlah dengan tangannya. Bila tidak sanggup, ubahlah dengan lidahnya. Bila tidak sanggup juga, ubahlah dengan hatinya. Tetapi, yang terakhir, itu adalah selemah-lemahnya iman.”
Setelah lima belas abad risalahnya tersampaikan, ketika namanya banyak disebut dan diagungkan di berbagai majelis di belahan bumi bernama Indonesia, ragam kezaliman itu ternyata tak kunjung sirna. Seperti di Solok, Sumbar. Man Robert (45) meninggal dihajar dan ditenggelamkan oleh oknum anggota Kodim Solok. Gara-garanya sepele, anggota Kodim yang tak berbaju dinas itu dimintai uang oleh korban yang mengatur arus lalu lintas di ruas jalan yang macet di pinggir danau Singkarak. Di Pasuruan, petani miskin yang telah bersusah payah menanam dan tinggal beberapa waktu lagi memanen, protes dengan aparat yang membuldoser singkongnya. Beberapa oknum TNI AL menanggapi protes itu dengan tembakan senjata api. Lima orang warga miskin itupun meninggal. Begitulah. Rasanya begitu mudah di antara kita menumpahkan darah.
Hari-hari yang terus berlalu, kita seperti disuguhi berbagai adegan kezaliman yang tak berkesudahan. Semunya menuntut kepedulian kita. Jangan sampai, kezaliman tersebut menjadi bencana kolektif yang membinasakan kita semua. Ketika kemudian, orang-orang dhuafa yang dizalim itu—yang doanya di-ijabah itu -- dengan amarah menengadahkan tangannya ke langit, ”Ya Allah binasakanlah orang-orang kaya yang tak lagi mempedulikan kami.”***

[Tulisan ini merupakan arsip dari tulisan yang telah dipublikasikan di Buletin Sajada, Lembaga Amil Zakat Lampung Peduli, sejak 2005]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Saat Bencana Tak Menyadarkan Kita

“Belumkah datang kepada mereka berita penting tentang orang-orang yang sebelum mereka, (yaitu) kaum Nuh, 'Aad, Tsamud, kaum Ibrahim, penduduk Madyan dan negeri-negeri yang telah musnah? Telah datang kepada mereka rasul-rasul dengan membawa keterangan yang nyata, maka Allah tidaklah sekali-kali menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (QS At Taubah: 70) Selayaknya, hari itu adalah waktu libur yang menyenangkan. Pesisir pantai Aceh punya pesona menarik sebagaimana pantai lainnya di pesisir Samudera Indonesia. Pagi yang cerah. Menawarkan selera untuk bercengkerama dengan keluarga, sembari menikmati indahnya panorama pantai. Namun, malang tak dapat ditolak untung tak dapat diraih. Semuanya berubah menjadi peristiwa yang memilukan. Tiba-tiba bumi berguncang dahsyat, gempa mengundang panik semuanya. Belum sirna rasa terkejut itu, riuh rendah orang berteriak, “Air, air..., air datang!“ Kita selanjutnya menyaksikan ribuan mayat bergelimpangan, berbagai

PETAKA KUASA DUSTA

”Jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu-bapak dan kaum kerabatmu...Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” (TQS An Nisaa: 135). Ini kisah menurut La Fontaine dalam Fables et Epitres. Dunia margasatwa diserang wabah penyakit. Diduga wabah itu merupakan azab Tuhan karena kejahatan penghuni dunia itu. Baginda Singa, tokoh nomor satu di kerajaan rimba, dengan memelas mengakui, ”Akulah penyebab segala bencana ini. Pekerjaanku memakan warga yang lemah seperti domba dan kambing.” Serigala membantah. ”Bukan demikian, Baginda tidak salah.” Yang dilakukan singa adalah implikasi dari kekuasaan. Memakan warga adalah bagian resiko yang harus diambil dari kebijakan yang dibuat pemimpin. Seorang demi seorang dari pembesar margasatwa bergilir mengakui kesalahannya. Pengadilan selalu memutuskan mereka tak bersalah

“Robohnya Masjid Kami” [Kritik Memakmurkan Masjid]

“Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allah dalam masjid-masjid-Nya, dan berusaha untuk merobohkannya? Mereka itu tidak sepatutnya masuk ke dalamnya (masjid Allah), kecuali dengan rasa takut (kepada Allah). Mereka di dunia mendapat kehinaan dan di akhirat mendapat siksa yang berat.” (TQS Al Baqarah: 114) Masjid itu dindingnya dari tanah liat. Tiangnya batang kurma, lantainya pasir, dan atapnya pelepah kurma. Maka, di suatu hari kaum Anshar mengumpulkan harta dan mendatangi Rasulullah saw.. "Wahai Rasulullah, bangunlah masjid dan hiasilah seindah-indahnya dengan harta yang kami bawa ini. Sampai kapan kita harus salat di bawah pelepah kurma?" Rasulullah menjawab, "Aku ingin seperti saudaraku Nabi Musa, masjidku cukup seperti arisy (gubuk tempat berteduh) Nabi Musa a.s.” Dijelaskan oleh Hasan r.a. menjelaskan bahwa ukuran arisy Nabi Musa a.s. adalah bila Rasulullah saw. mengangkat tangannya maka atapnya akan tersentuh Hadits ya