Langsung ke konten utama

Tontonan yang menjadi Tuntunan

“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar."
(QS Luqman: 13).

Restu, Iyo, dan Ii, siswa SMP di Cangkuang Bandung mungkin tidak berpikir jauh tentang akibat perbuatannya. Mereka meniru dan mempraktikkan adegan-adegan dalam Smackdown. Reza Ikhsan Fadillah (9), tetangga mereka, dipilih sebagai lawan. Tubuh kecil siswa III SD itu mereka banting. Kepalanya dihunjamkan ke atas lantai. Tangannya ditekuk. Meski Reza mengaduh kesakitan, hal itu tidak mereka hiraukan.
“Karena meniru adegan Smackdown, anak saya meninggal,” kata Herman Suratman (53) ayah Reza (Republika, Rabu 22/11/2006).
Untuk kesekian kalinya, tontonan di televisi memakan korban. Tontonan Smackdown, yang sebenarnya hanya trik pertunjukan televisi untuk meraih rating tinggi itu, ternyata menarik hasrat penonton untuk meniru. Anak-anak adalah kelompok penonton yang paling mudah meniru. Maka, ketika mereka melihat “kemenangan” itu diperoleh dengan berbagai bentuk kekerasan yang ekstrem, ada tarikan kuat bagi mereka untuk mencobanya. Tidak ada dalam pikiran mereka bahwa kekerasan tersebut hanya rekayasa. Mereka tidak tahu, bila hal itu benar-benar nyata terjadi, perlu tandu yang diperlukan untuk melarikannya ke rumah sakit.

Naluri Anak
"Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua orang tuanyalah yang menjadikannya nasrani, yahudi, atau majusi,” kata Rasulullah saw. dalam riwayat Bukhari. Perkataan Rasulullah tersebut memberi gambaran jelas kepada kita tentang ketergantungan anak kepada faktor luar. Apa yang dilihat dan didapatnya, itulah yang akan mempengaruhi pola fikirnya. Didikan orang tua yang ia dapati, itulah yang akan mempengaruhi jiwanya. Laksana kain putih, warna yang tertoreh diatasnya itulah yang akan menentukan coraknya. Anak-anak mempunyai naluri meniru yang sangat besar, dan hal itu akan terus terekam di alam bawah sadarnya.
Kejadian yang menimpa keluarga Herman Suratman selayaknya menjadi perhatian kita. Ya. Masih banyak diantara kita yang tidak ambil peduli tentang hal-hal yang potensial merusak jiwa anak. Celakanya, penyebab utama hal itu adalah bagian yang amat akrab bagi kita: televisi. Adakah kesadaran yang tertanam di benak kita, bahwa TV mengajarkan berbagai bentuk kekerasan yang mudah ditiru anak-anak?
Di Columbine High Scholl, Colorado, Amerika Serikat, pernah terjadi peristiwa yang menggemparkan. Pada 20 April 1999, dua remaja melakukan pembantaian di sekolah, yang terburuk sepanjang sejarah Amerika. Mereka membunuh 12 teman sekelas, seorang guru, melukai 23 orang lainnya, sebelum akhirnya menembak diri mereka sendiri dalam drama pengepungan selama lima jam.
Kejadian yang tak kalah mengerikan dan mendirikan bulu roma juga terjadi di Preston, Inggris. Dua bocah berumur 11 tahun menyiksa dan membunuh James Bulger (2), seorang bayi yang belum lancar berjalan. Kedua bocah itu, Robert Thompson dan Joe Venables, menyeret James Bulger dari sebuah supermarket di pinggiran kota Liverpool, saat si Ibu sedang memilih-milih daging yang hendak dibelinya.
Sepanjang jalan yang sepi sejauh empat kilometer, James kecil diseret dan ditendang tanpa belas kasihan. Thompson dan Venables juga menghantamkan kayu, batu bata, dan potongan besi ke kepala James. Dengan tubuh bermandikan darah, mata balita itu disiram dengan cat sampai akhirnya tewas. Tidak hanya sampai di situ. Kedua pembunuh cilik itu meletakkan mayatnya di atas rel kereta api. Mayat mungil itupun terbelah menjadi dua akibat terlindas kereta barang.
Begitu sadisnya penyiksaan itu, publik Inggris menganggap kejadian itu sebagai kejahatan anak-anak paling kejam dalam kurun waktu 250 tahun ini. Hakim Morland yang mengadili kasus itu akhirnya menjatuhkan hukuman seumur hidup bagi Thompson dan Venables.
Dari berbagai bentuk kejahatan yang dilakukan anak-anak itu, ternyata ada hal yang sama-sama disandang oleh mereka. Mereka adalah penggemar electronic game yang sarat kekerasan. Remaja pelaku penembakan di Columbine, biasa memainkan electronic game seperti Doom, game komersial penuh kekerasan yang kemudian dimodifikasi untuk pelatihan militer di Dephan Amerika, selama berjam-jam tiap harinya. Nampak jelas, bagaimana kedua remaja itu meniru buku petunjuk Doom saat melakukan aksinya.
Eksploitasi kekerasan dalam film dan video diyakini para ahli menjadi pemicu ulah anak-anak melakukan kekerasan. Dari barisan anak dan remaja yang melakukan kekerasan, ternyata mereka “kebetulan” memiliki kegemaran yang tinggi terhadap game, video, film, teve, hingga internet yang sarat dengan baku hantam dan baku tembak. Coba, bandingkan dengan kondisi di sekitar kita. Kita akan mendapati betapa game kekerasan begitu mudah didapat anak-anak. Playstation hampir keseluruhan menyediakan game kekerasan yang sangat digandrungi anak-anak. Jadi, waspadalah! Kejahatan yang dilakukan anak-anak, bukan mustahil terjadi di lingkungan yang teramat dekat dengan kita.

Menanamkan Kasih Sayang

Begitu besarnya naluri meniru dari segala yang didapati oleh anak-anak, Islam sesungguhnya telah memberi tuntunan yang memadai. Menanamkan kasih sayang, pola pola fikir positif, dan sebisa mungkin menjauhi keburukan yang akan muncul harus ditanamkan sejak kecil. Seperti memberi nama anak yang baru lahir. Rasulullah melarang (dan merubah yang telah ada) nama anak yang mempunyai konotasi keras dan negatif.
"Nama-nama yang paling disukai Allah swt. adalah Abdullah dan Abdurrahman, nama yang paling mengena (benar) adalah Harits (orang yang berusaha) dan Hammam (yang bercita-cita) dan sejelek-jelek nama adalah Harb (perang),dan Munah (pahit)." (HR Bukhari, Muslim dan Nasa'i).
Seorang pemuka kabilah, Al Aqra’ bin Haris suatu saat keheranan melihat perilaku Rasulullah yang mulia mencium anaknya. Dia kemudian bertanya, ”Engkau mencium anakmu? Padahal aku mempunyai sepuluh orang anak.Tidak seorang pun yang pernah aku cium.” Maka jawab Rasulullah, ”Aku tidaklah seperti kamu. Bisa jadi karena Allah telah mencabut cinta dari jantungmu,” tegas Nabi yang mulia.
”Bukan termasuk umatku orang yang tidak menghormati yang tua dan tidak menyayangi yang kecil,” kata Rasulullah saw. Ia mengecam pemuka arab yang tidak pernah mencium anaknya, dengan mengatakan bahwa cinta telah tercerabut dari jantungnya. Dia juga berkata,” Orang yang paling baik di antara kamu ialah yang paling penyayang terhadap keluarganya, dan aku adalah orang yang paling sayang kepada keluargaku.”
Ketika Nabi yang mulia berkhutbah, dia melihat Hasan dan Husain berlari dengan pakaian yang menarik perhatian. Lalu beliau turun dari mimbarnya, mengangkat mereka, dan meneruskan khutbah dengan kedua anak itu dalam pangkuannya. Dia berkata, ”Mereka adalah penghulu para remaja di surga.” Di waktu selanjutnya, sahabat Rasulullah bertanya, ”Wahai Rasulullah mengapa tadi Anda begitu lama sujud. Adakah wahyu datang kepadamu sewaktu sujud tadi?” Jawab Nabi, ”Saya melihat Hasan dan Husain bermain di atas punggungku, saya tidak ingin mereka terganggu.”
Cermatilah betapa Rasulullah menyengajakan diri memanjangkan sujud—yang dapat berarti ”mengganggu” salat Nabi beserta sahabat—hanya karena tidak ingin mengganggu anak-anak yang berada di atas punggungnya. Tidak ada larangan terdengar atau lontaran marah dari Nabi terhadap perilaku cucunya.
Marah itu, sebagai salah satu bentuk kekerasan, tidak dilakukan dan dilarang oleh Rasulullah terhadap anak-anak. Rasulullah sampai mengecam pemuka Arab yang tak pernah mencium anaknya. Tidak terbayangkan, betapa kecaman Rasululullah itu akan kita dapati ketika melihat keseharian anak kita yang terus kita ”ajari” dengan berbagai kekerasan dari layar kaca di rumah kita. ***

[Tulisan ini merupakan arsip dari tulisan yang telah dipublikasikan di Buletin Sajada, Lembaga Amil Zakat Lampung Peduli, sejak 2005]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Saat Bencana Tak Menyadarkan Kita

“Belumkah datang kepada mereka berita penting tentang orang-orang yang sebelum mereka, (yaitu) kaum Nuh, 'Aad, Tsamud, kaum Ibrahim, penduduk Madyan dan negeri-negeri yang telah musnah? Telah datang kepada mereka rasul-rasul dengan membawa keterangan yang nyata, maka Allah tidaklah sekali-kali menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (QS At Taubah: 70) Selayaknya, hari itu adalah waktu libur yang menyenangkan. Pesisir pantai Aceh punya pesona menarik sebagaimana pantai lainnya di pesisir Samudera Indonesia. Pagi yang cerah. Menawarkan selera untuk bercengkerama dengan keluarga, sembari menikmati indahnya panorama pantai. Namun, malang tak dapat ditolak untung tak dapat diraih. Semuanya berubah menjadi peristiwa yang memilukan. Tiba-tiba bumi berguncang dahsyat, gempa mengundang panik semuanya. Belum sirna rasa terkejut itu, riuh rendah orang berteriak, “Air, air..., air datang!“ Kita selanjutnya menyaksikan ribuan mayat bergelimpangan, berbagai

PETAKA KUASA DUSTA

”Jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu-bapak dan kaum kerabatmu...Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” (TQS An Nisaa: 135). Ini kisah menurut La Fontaine dalam Fables et Epitres. Dunia margasatwa diserang wabah penyakit. Diduga wabah itu merupakan azab Tuhan karena kejahatan penghuni dunia itu. Baginda Singa, tokoh nomor satu di kerajaan rimba, dengan memelas mengakui, ”Akulah penyebab segala bencana ini. Pekerjaanku memakan warga yang lemah seperti domba dan kambing.” Serigala membantah. ”Bukan demikian, Baginda tidak salah.” Yang dilakukan singa adalah implikasi dari kekuasaan. Memakan warga adalah bagian resiko yang harus diambil dari kebijakan yang dibuat pemimpin. Seorang demi seorang dari pembesar margasatwa bergilir mengakui kesalahannya. Pengadilan selalu memutuskan mereka tak bersalah

“Robohnya Masjid Kami” [Kritik Memakmurkan Masjid]

“Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allah dalam masjid-masjid-Nya, dan berusaha untuk merobohkannya? Mereka itu tidak sepatutnya masuk ke dalamnya (masjid Allah), kecuali dengan rasa takut (kepada Allah). Mereka di dunia mendapat kehinaan dan di akhirat mendapat siksa yang berat.” (TQS Al Baqarah: 114) Masjid itu dindingnya dari tanah liat. Tiangnya batang kurma, lantainya pasir, dan atapnya pelepah kurma. Maka, di suatu hari kaum Anshar mengumpulkan harta dan mendatangi Rasulullah saw.. "Wahai Rasulullah, bangunlah masjid dan hiasilah seindah-indahnya dengan harta yang kami bawa ini. Sampai kapan kita harus salat di bawah pelepah kurma?" Rasulullah menjawab, "Aku ingin seperti saudaraku Nabi Musa, masjidku cukup seperti arisy (gubuk tempat berteduh) Nabi Musa a.s.” Dijelaskan oleh Hasan r.a. menjelaskan bahwa ukuran arisy Nabi Musa a.s. adalah bila Rasulullah saw. mengangkat tangannya maka atapnya akan tersentuh Hadits ya