Langsung ke konten utama

Penyakit Kita: Figuritas

“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.”
(QS Ali Imraan: 144).

Bila Anda kapan waktu pada kondisi terjepit, cara jitu Nasrudin ini barangkali bisa ditiru.
Nasrudin, dikenal warga sekitar punya perilaku baik Hampir tidak ada cela yang diketahui warganya. Sampai kemudian, warga berkeinginan mendengarkan Nasrudin menyampaikan nasihat. Orang yang menjadi panutan warga (tokoh), memang lazimnya sering menyampaikan wejangan di muka umum. Hal inilah yang belum pernah sekalipun dilakukan Nasrudin. Warga begitu berkeinginan, dan Nasrudin pun tak kuasa menolaknya.
Di atas mimbar, usai salam dan doa pembuka, Nasrudin langsung melontarkan pertanyaan. “Saudara-saudara, apakah kalian mengetahui tema apa yang akan saya sampaikan?”
Seluruh hadirin yang baru sekali melihat Nasrudin di mimbar, kontan menjawab, “Tidak tahu!”
“Wah, jika kalian belum tahu samasekali apa yang akan saya sampaikan, ini akan menjadi percuma. Pembicaraanku tidak akan dimengerti bila tanpa persiapan. Oleh karenanya, daripada memakan waktu, saya permisi saja.” Nasrudin lalu turun dari mimbar, tidak menyampaikan petuah seperti yang diharapkan hadirin.
Karena begitu ingin mendengar petuah dari Nasrudin, keesokan harinya warga kembali mendaulat Nasrudin naik mimbar.
“Saudara-saudara, apakah kalian mengetahui apa yang akan saya sampaikan?” Nasrudin mengulang pertanyaan, seperti sebelumnya.
Warga tidak ingin mengulang kejadian pertama. Semua serempak menjawab, “Tahu!”
“Jika kalian sudah tahu apa yang akan saya sampaikan, maka percuma jika harus mengulang hal itu dalam pembicaraan saya. Daripada membuang waktu, saya permisi.”
Nasrudin pun kembali turun dari mimbar, tidak berbicara sesuai dengan yang diharapkan hadirin.
Kejadian kedua membuat warga penasaran. Maka Nasrudin diminta naik mimbar untuk kali ketiga.
“Saudara-saudara, apakah kalian tahu apa yang akan saya sampaikan?”
Hadirin, yang sudah mengatur siasat sebelumnya, mempunyai jawaban yang berbeda. Jamaah lelaki menjawab, “Tahu!” Jamaah wanita menjawab, “Tidak tahu”
“Jika benar di antara kalian ada yang tahu dan tidak tahu, maka yang tidak tahu mencaritahu kepada yang tahu. Yang tahu harus memberitahu yang tidak tahu,” kata Nasrudin. Ia pun turun dari mimbar. Sampai kali ketiga, ia tetap dapat “mengalahkan” warga. Ia tidak berbicara sesuai dengan keinginan hadirin.

Menasehati Sesama
Kisah di atas memang kisah jenaka. Suatu hal yang bagi kebanyakan kita, cocok diutarakan untuk mengisi waktu luang. Namun, tampaknya kita patut memberi apresiasi tersendiri terhadap sikap Nasrudin Hoja—sosok imajiner dalam budaya Islam semasa Timurlenk; yang mirip seperti Abu Nawas, Kabayan, Kancil, dsb., yang ada dalam dongeng anak-anak.
Kisah Nasrudin, yang kita dapati dalam buku-buku humor sufistik itu, seolah ingin mengingatkan (baca: menertawakan) tentang perilaku (ganjil) kita.
Hari ini, kita punya ketergantungan yang besar kepada para tokoh, pemimpin masyarakat, ulama, kiyai, ustad, atau sosok tertentu yang lain. Dari merekalah kita banyak berharap. Kita berharap petunjuk, arahan, dan teladan hidup. Sampai-sampai, kita mungkin tidak menyadari betapa besarnya ketergantungan kita pada para pemimpin tersebut.
Maka, ketika para pemimpin itu berbuat salah, atau tidak menjalankan fungsi sebagaimana yang kita bayangkan, yang ada hanyalah cerita miris. Ada jamaah salat yang bubar karena yang biasa menjadi imam tidak hadir. Ada anggota jamaah yang ‘mogok’ ngaji karena ustadnya pergi. Ada juga jamaah yang kecewa dengan perilaku yang ia anggap salah dari ustadnya, lantas tak pernah lagi datang ke pengajian.
Maka kita perlu belajar dari kisah Nasrudin di muka. Ketidakmauan Nasrudin menyampaikan petuahnya di mimbar selayaknya kita pahami sebagai peringatan terhadap penyakit ketergantungan kepada tokoh (figuritas). Padahal, proses memberi tahu, ingat-mengingatkan, memberi nasehat, bisa dilakukan sesama kita.
Mari kita simak pesan Nasrudin pada ”khutbah-”nya yang terakhir. Kata-kata Nasrudin “..yang tidak tahu mencaritahu kepada yang tahu. Yang tahu harus memberitahu yang tidak tahu..” selayaknya dapat kita pahami sebagai bahasa lain dari anjuran saling ingat-mengingatkan sesama. Tidak bisa perkara ini hanya dilakukan oleh para pengkhutbah. Inilah makna saling memberi taushiyah, nasehat-menasehati, seperti yang dipesankan Al Qur’an.
”Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, beramal shalih, dan nasihat menasihati supaya menaati kebenaran, dan nasihat-menasihati dalam menetapi kesabaran.” (QS Al Ashr: 1-3).
Begitu besarnya makna yang terkandung dalam ayat-ayat tersebut, Imam Syafi’i memberi komentar khusus tentang surah ini. Sekiranya Allah, kata Imam Syafi’i, hanya menurunkan surah Al Ashr dan tidak menurunkan surah-surah yang lain, niscaya sudah cukuplah sebagai peringatan. Menurut Imam Syafi’i, surah Al Ashr sudah mengandung keseluruhan makna utama agama ini. Keimanan kepada Allah; yang diwujudkan dalam amal shalih; saling berwasiat dalam menaati kebenaran; dan sabar atas ujian, adalah ajaran utama Islam yang keseluruhannya sudah tercantum dalam Surah al Ashr. Jadi, Nasrudin mengingatkan kita tentang makna saling berwasiat.
Banyak yang tidak menyadari bahwa ustad/kiyayi juga bisa berbuat salah. Artinya, ia juga manusia biasa yang perlu ada yang mengingatkan. Yang mengingatkan tentu orang yang paling dekat dengannya. Mereka itu bisa anggota jamaah atau rekan kerjanya.
Bila ada “kanal” yang tersumbat untuk saling mengingatkan, maka yang ada berikutnya hanyalah kemudharatan. Kebaikan itu dimonopoli oleh segelintir orang yang antikritik. Ada sekelompok orang yang merasa superior (“tinggi hati”) dan ada yang merasa inferior (“rendah diri”). Inilah penyakit yang terjadi pada agama-agama sebelum Islam. Nilai kebenaran itu menjadi monopoli para rahib atau pendeta, sehingga yang muncul berikutnya hanyalah kesalahan yang semakin berkelindan. “La rahbaniyyata fil Islam.Tidak ada sistem kependetaan dalam Islam,” tegas Rasulullah saw.
Begitulah. Nasrudin lewat aksi jenakanya, ternyata memberi pelajaran berharga kepada kita tentang makna saling memberi nasihat. Sesuatu yang mesti dilakukan oleh sesama Muslim, bukan hanya diserahkan kepada para pemimpin, ustad, kiyayi, atau para pengkhutbah.
Semoga Allah merahmati Abu Bakar As Shidiq. Sosok generasi awal para sahabat assabiqunal awwalun) ini mempunyai andil besar dalam menghapus penyakit figuritas yang sempat menghinggapi para sahabat. Ketika Rasululullah wafat, Madinah guncang. Para sahabat banyak yang tidak siap, bahkan tidak percaya dengan peristiwa tersebut. Sampai-sampai Umar bin Khattab membuat pernyataan emosional. ”Barangsiapa mengatakan Muhammad mati, niscaya akan aku bunuh!”
Apa yang kemudian dikatakan Abu Bakar? Seraya menyitir QS Ali Imraan: 144), Abu Bakar berkata, ”Barangsiapa menyembah Muhammad, maka persaksikanlah, bahwa Muhammad telah mati. Maka barangsiapa menyembah Allah, maka Allah tetap hidup dan tak akan pernah mati.” Kata-kata Abu Bakar begitu mengena di hati para sahabat. Umar bin Khattab terduduk lemas. ”Aku seperti baru pertama kali mendengar ayat tersebut,” desahnya. Walhasil, Abu Bakar berhasil menghilangkan penyakit figuritas.
Hari ini, kita masih menyaksikan banyak kerusakan. Salah satu penyebabnya karena kesalahan para pemimpin. Kerusakan itu seperti bertambah akut. Kita patut instrospeksi, jangan-jangan hal tersebut karena kita telah ”menyembah” para pemimpin kita—seperti kata Abu Bakar. Kita terlalu menggantungkan diri pada orang lain (pemimpin), dan tak mau saling ingat-mengingatkan. ***
[Tulisan ini merupakan arsip dari tulisan yang telah dipublikasikan di Buletin Sajada, Lembaga Amil Zakat Lampung Peduli, sejak 2005]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Saat Bencana Tak Menyadarkan Kita

“Belumkah datang kepada mereka berita penting tentang orang-orang yang sebelum mereka, (yaitu) kaum Nuh, 'Aad, Tsamud, kaum Ibrahim, penduduk Madyan dan negeri-negeri yang telah musnah? Telah datang kepada mereka rasul-rasul dengan membawa keterangan yang nyata, maka Allah tidaklah sekali-kali menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (QS At Taubah: 70) Selayaknya, hari itu adalah waktu libur yang menyenangkan. Pesisir pantai Aceh punya pesona menarik sebagaimana pantai lainnya di pesisir Samudera Indonesia. Pagi yang cerah. Menawarkan selera untuk bercengkerama dengan keluarga, sembari menikmati indahnya panorama pantai. Namun, malang tak dapat ditolak untung tak dapat diraih. Semuanya berubah menjadi peristiwa yang memilukan. Tiba-tiba bumi berguncang dahsyat, gempa mengundang panik semuanya. Belum sirna rasa terkejut itu, riuh rendah orang berteriak, “Air, air..., air datang!“ Kita selanjutnya menyaksikan ribuan mayat bergelimpangan, berbagai

PETAKA KUASA DUSTA

”Jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu-bapak dan kaum kerabatmu...Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” (TQS An Nisaa: 135). Ini kisah menurut La Fontaine dalam Fables et Epitres. Dunia margasatwa diserang wabah penyakit. Diduga wabah itu merupakan azab Tuhan karena kejahatan penghuni dunia itu. Baginda Singa, tokoh nomor satu di kerajaan rimba, dengan memelas mengakui, ”Akulah penyebab segala bencana ini. Pekerjaanku memakan warga yang lemah seperti domba dan kambing.” Serigala membantah. ”Bukan demikian, Baginda tidak salah.” Yang dilakukan singa adalah implikasi dari kekuasaan. Memakan warga adalah bagian resiko yang harus diambil dari kebijakan yang dibuat pemimpin. Seorang demi seorang dari pembesar margasatwa bergilir mengakui kesalahannya. Pengadilan selalu memutuskan mereka tak bersalah

“Robohnya Masjid Kami” [Kritik Memakmurkan Masjid]

“Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allah dalam masjid-masjid-Nya, dan berusaha untuk merobohkannya? Mereka itu tidak sepatutnya masuk ke dalamnya (masjid Allah), kecuali dengan rasa takut (kepada Allah). Mereka di dunia mendapat kehinaan dan di akhirat mendapat siksa yang berat.” (TQS Al Baqarah: 114) Masjid itu dindingnya dari tanah liat. Tiangnya batang kurma, lantainya pasir, dan atapnya pelepah kurma. Maka, di suatu hari kaum Anshar mengumpulkan harta dan mendatangi Rasulullah saw.. "Wahai Rasulullah, bangunlah masjid dan hiasilah seindah-indahnya dengan harta yang kami bawa ini. Sampai kapan kita harus salat di bawah pelepah kurma?" Rasulullah menjawab, "Aku ingin seperti saudaraku Nabi Musa, masjidku cukup seperti arisy (gubuk tempat berteduh) Nabi Musa a.s.” Dijelaskan oleh Hasan r.a. menjelaskan bahwa ukuran arisy Nabi Musa a.s. adalah bila Rasulullah saw. mengangkat tangannya maka atapnya akan tersentuh Hadits ya