Langsung ke konten utama

Kaya lagi Mulia

"Ya Rabb kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia)."
( TQS Ali 'Imran: 8 )

Seorang pemuda mendatangi Dzun-Nun Al Mishri, tokoh alim dari Mesir. Melihat kesahajaan sang Guru, ia keheranan. "Guru, saya tak mengerti mengapa orang seperti Anda mesti berpakaian apa adanya, amat sederhana. Bukankah di masa seperti ini berpakaian sebaik-baiknya amat perlu, bukan hanya untuk penampilan namun juga untuk banyak tujuan lain."
Sang Guru hanya tersenyum. Ia lalu mengambil sebuah cincin, lalu berkata, "Sobat muda, akan kujawab pertanyaanmu, tetapi lebih dahulu lakukan satu hal untukku. Ambillah cincin ini dan bawalah ke pasar di seberang sana. Bisakah kamu menjualnya seharga satu keping emas?"
Melihat cincin Dzun-Nun yang kotor, pemuda tadi merasa ragu, "Satu keping emas? Saya tidak yakin cincin ini bisa dijual seharga itu."
"Cobalah dulu, sobat muda. Siapa tahu kamu berhasil."
Pemuda itu pun bergegas ke pasar. Ia menawarkan cincin itu kepada pedagang kain, pedagang sayur, penjual daging dan ikan, serta kepada yang lainnya. Ternyata, tak seorang pun berani membeli seharga satu keping emas. Mereka menawarnya hanya satu keping perak. Tentu saja, pemuda itu tak berani menjualnya dengan harga satu keping perak. Ia pun kembali ke Dzun-Nun. "Guru, tak seorang pun berani menawar lebih dari satu keping perak."
Dzun-Nun, sambil tetap tersenyum arif, berkata, "Sekarang pergilah kamu ke toko emas di belakang jalan ini. Coba perlihatkan kepada pemilik toko atau tukang emas di sana. Jangan buka harga. Dengarkan saja, bagaimana ia memberikan penilaian."
Pemuda itu pun pergi ke toko emas yang dimaksud. Ia kembali kepada Dzun-Nun dengan raut wajah yang lain. Ia kemudian melapor, "Guru, ternyata para pedagang di pasar tidak tahu nilai sesungguhnya dari cincin ini. Pedagang emas menawarnya dengan harga seribu keping emas. Rupanya nilai cincin ini seribu kali lebih tinggi daripada yang ditawar oleh para pedagang di pasar."
Dzun-Nun tersenyum simpul sambil berujar lirih, "Itulah jawaban atas pertanyaanmu tadi sobat muda. Seseorang tak bisa dinilai dari pakaiannya. Hanya "para pedagang sayur, ikan dan daging di pasar" yang menilai demikian. Namun tidak bagi "pedagang emas". Emas dan permata yang ada dalam diri seseorang, hanya bisa dilihat dan dinilai jika kita mampu melihat ke kedalaman jiwa. Diperlukan kearifan untuk menjenguknya. Dan itu butuh proses wahai sobat mudaku. Kita tak bisa menilainya hanya dengan tutur kata dan sikap yang kita dengar dan lihat sekilas. Seringkali yang disangka emas ternyata loyang dan yang kita lihat sebagai loyang ternyata emas."

Mulia Sebenarnya
Kisah yang kita dapati dalam khasanah sufistik di atas, mengingatkan kita tentang hakekat kemuliaan. Tampilan fisik seringkali membuat kita keliru. Kehormatan itu kita ukur dari apa yang terlihat oleh mata kita saja. Kita abai dengan ukuran-ukuran yang semestinya menjadi standar utama. Seperti kekayaan pada diri seseorang. Kita hormat, takzim, terhadap orang yang kita lihat berkecukupan harta. Namun, ternyata kita tidak melihat nilai lebih dari keberadaan uang itu di tangannya. Tidak ada manfaat yang bisa diperoleh oleh orang-orang yang ada disekitarnya. Ia kikir, pelit, tak ambil peduli pada urusan orang lain. Kekayaannya itu laksana menara gading, bagus tampakannya tetapi tak bisa memberi manfaat bagi yang melihat.
Allah telah menetapkan ukuran kemuliaan itu atas dasar ketakwaan. Keimanan dan ketakwaan inilah yang kemudian melahirkan amal salih. Inilah yang kemudian memberi jaminan kekayaan seseorang bermanfaat bagi orang di sekelilingnya. Akhlaknya yang mulia menghindarkan dari sifat kikir. Ia pemurah, dermawan, membuat nyaman orang di sekitarnya yang kesulitan. Kekayaannya laksana menara air, mampu membuat air lebih deras untuk mengaliri rumah-rumah, kebun, sawah, dan yang lainnya. Kekayaannya menjadi berkah untuk memuliakan orang-orang susah hidupnya. Demikianlah yang disabdakan Rasulullah, ”Orang yang paling baik di antara kalian adalah yang paling banyak menberi manfaat kepada yang lain.”
Rasulullah berulang-ulang mengingatkan sahabatnya agar tidak menjadikan harta dan kekayaan sebagai alat untuk menilai kemuliaan seseorang. Standar nilai untuk itu hanyalah amal salih. ”Tersungkurlah hamba dinar, dirham, sandang, dan pakaian. Bila diberi, ia suka. Bila ia tidak diberi, ia berduka.” (HR Bukhari). Celakalah orang yang menggantungkan kebahagiaannya pada uang. Uang tidak boleh menentukan nilai manusia. Manusialah yang harus menentukan nilai uang. Celakalah orang yang diperbudak uang, tetapi berbahagialah orang yang memperbudaknya.
Peristiwa berikut ini menggambarkan bagaimana seharusnya pandangan muslim terhadap uang dan kekayaan. Berkisah Aisyah r.a.: Seorang pengemis berhenti di depan Ali bin Abi Thalib. Ali berkata kepada Hasan dan Husain, ”Pergilah kepada ibumu. Katakan kepadanya bahwa aku meninggalkan enam dirham. Ambillah satu dirham. Lalu pergilah Hasan atau Husain, dan kembali. ”Ibu berkata, ’Sesungguhnya ayah meninggalkan uang itu untuk membeli tepung.” Ali bin Abi Thalib lantas berkata, ”Belum sampai keimanan seseorang pada tingkat ketulusan sebelum ia menjadikan apa yang berada di tangan Allah lebih diandalkan dari apa yang ada di tangannya. Katakan kepada ibumu agar dibawa kepadaku enam dirham.” Fathimah r.a. (Ibu Hasan dan Husain) mengirimkan enam dirham itu dan Ali memberikan semuanya kepada pengemis.
Tidak lama setelah itu, lewatlah seorang lelaki yang mau menjual untanya. Ali bertanya, Berapa kamu mau menjual unta itu?” Ia menjawab, ”Seratus empat puluh dirham.” Kata Ali, “Ikatlah unta itu disini. Aku akan menyampaikan (membayar) kepadamu harganya nanti.” Ia meninggalkan unta itu pada Ali dan pergi.
Lalu datanglah lelaki yang lain. Ia bertanya,”Punya siapa unta ini?” Kata Ali, ”Punyaku.” Ia bertanya, ”Kamu mau menjualnya?” (Terjadilah transaksi). Lelaki itu mengambil unta tersebut dan membayarnya dua ratus dirham. Ali lalu memberikan 140 dirham kepada pemilik unta yang pertama dan 60 dirham kepada isterinya. Fatimah bertanya, ”Apa ini?” Ali berkata,”Inilah yang dijanjikan Allah kepada kita melalui lisan Nabi-Nya dalam QS Al An’am: 160, ”Barangsiapa yang membawa satu kebaikan, maka baginya sepuluh kali lipat kebaikan itu.” (Kanz al Ummal).
Jadi, tak akan berkurang kekayaan seseorang karena kedermawanannya. Bahkan, ini menjadi jaminan bertambahnya nilai kekayaan yang dipunyai. Kekayaan yang diiringi kedermawanan akan terus menambah tinggi derajat pemilik harta. Seperti dalam kisah Dzun-Nun, ia laksana cincin permata yang nilainya lebih tinggi dari cincin emas ***

[Tulisan ini merupakan arsip dari tulisan yang telah dipublikasikan di Buletin Sajada, Lembaga Amil Zakat Lampung Peduli, sejak 2005]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Saat Bencana Tak Menyadarkan Kita

“Belumkah datang kepada mereka berita penting tentang orang-orang yang sebelum mereka, (yaitu) kaum Nuh, 'Aad, Tsamud, kaum Ibrahim, penduduk Madyan dan negeri-negeri yang telah musnah? Telah datang kepada mereka rasul-rasul dengan membawa keterangan yang nyata, maka Allah tidaklah sekali-kali menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (QS At Taubah: 70) Selayaknya, hari itu adalah waktu libur yang menyenangkan. Pesisir pantai Aceh punya pesona menarik sebagaimana pantai lainnya di pesisir Samudera Indonesia. Pagi yang cerah. Menawarkan selera untuk bercengkerama dengan keluarga, sembari menikmati indahnya panorama pantai. Namun, malang tak dapat ditolak untung tak dapat diraih. Semuanya berubah menjadi peristiwa yang memilukan. Tiba-tiba bumi berguncang dahsyat, gempa mengundang panik semuanya. Belum sirna rasa terkejut itu, riuh rendah orang berteriak, “Air, air..., air datang!“ Kita selanjutnya menyaksikan ribuan mayat bergelimpangan, berbagai

PETAKA KUASA DUSTA

”Jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu-bapak dan kaum kerabatmu...Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” (TQS An Nisaa: 135). Ini kisah menurut La Fontaine dalam Fables et Epitres. Dunia margasatwa diserang wabah penyakit. Diduga wabah itu merupakan azab Tuhan karena kejahatan penghuni dunia itu. Baginda Singa, tokoh nomor satu di kerajaan rimba, dengan memelas mengakui, ”Akulah penyebab segala bencana ini. Pekerjaanku memakan warga yang lemah seperti domba dan kambing.” Serigala membantah. ”Bukan demikian, Baginda tidak salah.” Yang dilakukan singa adalah implikasi dari kekuasaan. Memakan warga adalah bagian resiko yang harus diambil dari kebijakan yang dibuat pemimpin. Seorang demi seorang dari pembesar margasatwa bergilir mengakui kesalahannya. Pengadilan selalu memutuskan mereka tak bersalah

“Robohnya Masjid Kami” [Kritik Memakmurkan Masjid]

“Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allah dalam masjid-masjid-Nya, dan berusaha untuk merobohkannya? Mereka itu tidak sepatutnya masuk ke dalamnya (masjid Allah), kecuali dengan rasa takut (kepada Allah). Mereka di dunia mendapat kehinaan dan di akhirat mendapat siksa yang berat.” (TQS Al Baqarah: 114) Masjid itu dindingnya dari tanah liat. Tiangnya batang kurma, lantainya pasir, dan atapnya pelepah kurma. Maka, di suatu hari kaum Anshar mengumpulkan harta dan mendatangi Rasulullah saw.. "Wahai Rasulullah, bangunlah masjid dan hiasilah seindah-indahnya dengan harta yang kami bawa ini. Sampai kapan kita harus salat di bawah pelepah kurma?" Rasulullah menjawab, "Aku ingin seperti saudaraku Nabi Musa, masjidku cukup seperti arisy (gubuk tempat berteduh) Nabi Musa a.s.” Dijelaskan oleh Hasan r.a. menjelaskan bahwa ukuran arisy Nabi Musa a.s. adalah bila Rasulullah saw. mengangkat tangannya maka atapnya akan tersentuh Hadits ya