Langsung ke konten utama

Memberi: Menjadi Bagian Solusi

“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekadar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.”
(QS Ath Thalaq: 7).

Menjalani puasa pada hari-hari terakhir, semoga membuat kita lebih peka untuk mendengar kisah-kisah menyentuh dan inspiratif seperti di bawah ini.
***
“Siapa yang bersedia menjamu tamuku ini? Insya Allah akan mendapat rahmat-Nya,” ujar Rasulullah. Ini disampaikan Rasulullah karena beliau hanya mempunyai air minum untuk tamunya.
Tamu Rasulullah itu lalu diajak Abu Thalhah. “Adakah makanan buat tamu kita ini?” kata Abu Thalhah kepada isteri sesampai di rumah.
“Sedikitpun tidak ada, kecuali untuk sekali makan anak kita,” jawab Ummu Sulaim, isteri Abu Thalhah.
“Baiklah, tidurkan saja anak kita. Hidangkan makanan itu buat tamu kita.”
Abu Thalhah lantas mematikan lampu. Sang isteri bergegas menghidangkan sepiring makanan untuk tamunya.
Kemudian, si tamu dengan lahap menyantap hidangan yang tersaji, ditemani Abu Thalhah yang bersandiwara. Dalam kegelapan ia melihat bayangan tuan rumah di depannya seakan sedang makan juga. Ia tak menyadari piring Abu Thalhah kosong, hanya “memakan” angin.
Usai makan dan kenyang, tamu itupun pamit. Tinggallah tuan rumah sekeluarga tidur dengan menahan lapar.
Keesokan harinya, Nabi menyambut Abu Thalhah dengan senyum lebar. “Ketahuilah sahabatku, Allah swt.. terpesona dengan pengorbanan engkau dan isterimu semalam.” Kemudian beliau membacakan ayat, “…mereka telah mendahulukan kepentingan orang lain walaupun mereka sendiri sedang kesusahan.”(QS Al Hasyr: 9).

***

”Apakah kemiskinan itu, Bu? Anak-anak di taman bilang kita miskin. Benarkah itu, Bu?" tanya Aiko kepada ibunya. "Tidak, kita tidak miskin, Aiko," jawab ibunya. "Apakah kemiskinan itu?" Aiko, sang anak, bertanya lagi.
"Miskin berarti tidak mempunyai sesuatu apapun untuk diberikan kepada orang lain." Aiko agak terkejut.
"Oh? Tapi kita memerlukan semua barang yang kita punyai, apakah yang dapat kita berikan?" katanya menyelidik.
"Kau ingatkah perempuan pedagang keliling yang ke sini minggu lalu? Kita memberinya sebagian dari makanan kita kepadanya. Karena ia tidak mendapat tempat menginap di kota, ia kembali ke sini dan kita memberinya tempat tidur."
"Kita menjadi bersempit-sempitan," jawab Aiko. Tapi sang ibu tak kalah sigap. "Dan kita sering memberikan sebagian dari sayuran kita kepada keluarga Watari, bukan?" katanya.
"Tapi Ibulah yang memberinya. Hanya saya sendiri yang miskin. Saya tak punya apa-apa untuk saya berikan kepada orang lain."
Sang ibu tersenyum dan memberikan pandangan teduh pada anaknya. "Oh, kau punya. Setiap orang mempunyai sesuatu untuk diberikan kepada orang lain. Pikirkanlah hal itu dan kau akan menemukan sesuatu."
Tak lama setelah itu, sang anak pun mendapatkan jawabannya. "Bu! Saya mempunyai sesuatu untuk saya berikan. Saya dapat memberikan cerita-cerita saya kepada teman-teman saya. Saya dapat memberikan kepada mereka cerita-cerita dongeng yang saya dengar dan baca di sekolah."
"Tentu! Kau pintar bercerita. Bapakmu juga. Setiap orang senang mendengar cerita."
"Saya akan memberikan cerita kepada mereka, sekarang ini juga!"

***
Memberi dari sesuatu yang berlebih tentu sewajarnya. Pemberian itu bisa jadi juga tidak terasa istimewa karena kita tidak terlalu sulit untuk melakukannya. Tetapi, saat kekayaan itu terbatas, pekerjaan memberi itu pasti luar biasa.
Bisa jadi, wajar saja seandainya Abu Thalhah tidak bersedia menjamu tamu Rasulullah, lantaran ia hanya memiliki sepiring hidangan untuk anaknya.
Namun Abu Thalhah melakukan hal yang sebaliknya, sehingga Allah memujinya. Keimanan Abu Thalhah dan Ummu Sulaim mencapai taraf seperti yang difirmankan Allah, “Kalian tidak akan pernah mencapai kebajikan yang sempurna sebelum menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai.” (QS Ali Imraan: 92).
Kisah Abu Thalhah dan dialog antara ibu dan anak dalam Aiko and Her Cousin, Kenichi di muka, telah meneguhkan sebuah kesadaran besar, bahwa setiap kita bisa memberi. Ini lebih dari sekadar sebuah kesadaran sosial. Tapi kesadaran untuk menjadi berarti lantaran membagi kebahagiaan untuk orang lain.
Di tengah segala keterbatasan yang kita alami, upaya memberi kebaikan itu tidak boleh berhenti. Semangat kedermawanan, berupaya menjadi bagian dari penyelesaian (part of solution), adalah pilihan peran orang mukmin yang harus diambil apapun latar belakangnya.
Kesadaran terhadap kehidupan orang lain menjadi bagian penting yang ditanamkan Rasulullah kepada umatnya. Dialah yang menanamkan prinsip menolong orang lain untuk menolong diri sendiri (Simak juga QS Muhammad: 7) Perhatikanlah bagaimana sabdanya, "Allah swt.. selalu menolong seoarang hamba, selama hamba itu menolong saudaranya." Atau, sabdanya yang lain, "Barangsiapa yang memberi kemudahan kepada saudaranya, maka Allah akan memberi kemudahan baginya di dunia dan akhirat."
Itu adalah prinsip memberi dan menerima yang ditanamkan Rasulullah swt. Memberi kepada sesama dan hanya terobsesi untuk menerima dari Allah swt. Sehingga pada praktiknya, prinsip itu berubah menjadi memberi dan memberi, give and give. Sebab penerimaan itu tidak datang dari manusia, tapi dari Allah swt..
Rasulullah saw. bahkan menanamkan nilai bersedekah ini, justru pada saat seseorang sulit mengeluarkannya. Seorang laki-laki kepada Rasulullah saw. dan bertanya, "Ya Rasulullah, sedekah apa yang paling besar pahalanya?" Rasulullah mengatakan, "Engkau bersedekah sedangkan engkau sedang dalam kondisi sehat, sangat membutuhkan, takut miskin, dan punya obsesi menjadi kaya." (HR. Bukhari dan Muslim).
Martabat dan Kejayaan
Kesadaran untuk memberi ini punya kaitan erat dengan mentalitas. Mentalitas menjadi orang terhormat, menjaga kemuliaannya untuk tidak bergantung atau menjadi beban orang lain. Kebiasaan memberi inilah yang kemudian menjauhkan seseorang dari mentalitas peminta-minta.
Islam mencela orang-orang yang suka meminta-minta. Rasulullah memandang rendah orang yang hanya menggantungkan dirinya kepada bantuan orang lain. ''Siapa yang membuka pintu meminta-minta, maka Allah pasti akan membuka pintu kefakiran,” sabda Rasulullah yang diriwayatkan Ahmad dari Jabir bin Abdullah.
Tidak akan pernah kaya orang yang mengandalkan dari meminta-meminta, kecuali akan menambah kemiskinannya. Kekayaan itu bermula dari kemauan kuat untuk tidak meminta-minta. “Siapa yang ber-'iffah (menjaga kehormatan diri, tidak meminta-minta), Allah akan menjaganya. Siapa yang mohon kecukupan kepada Allah, dia akan dicukupkan.'' tegas Rasulullah dalam hadits lanjutan riwayat Ahmad. Mentalitas memberi adalah mentalitas orang kaya. Diawali dari menjaga kehormatan untuk tidak meminta-minta, maka simpul-simpul kekayaan itu terbuka.
Mentalitas kaya, lewat kebiasaan memberi dan menjauhkan dari meminta-minta, penting menjadi kesadaran banyak orang. Ini juga menyangkut urusan bersama dalam membangun negeri ini. Kesejahteraan itu akan didapat bila ada paduan: kemurahan orang kaya dan orang miskin yang menjaga martabat dari peminta-minta. Kalaupun kemudian ada ”bantuan dari orang kaya,” hal itu benar-benar dijadikan sebagai sarana untuk menyamakan derajat. Barulah program-program pemberdayaan ekonomi itu akan berhasil. Masalah kemiskinan yang tak kunjung terselesaikan, selalu punya kaitan erat dengan banyaknya orang miskin yang melacurkan diri sebagai peminta-minta.
Rasulullah mengajarkan kepada sahabat-sahabatnya untuk menjaga harga diri dengan bekerja.
"Sungguh seseorang yang membawa tali, kemudian ia membawa seikat kayu di punggungnya lantas dijualnya, maka dengan itu Allah menjaga dirinya, adalah lebih baik daripada meminta-minta kepada orang lain, baik mereka yang diminta itu memberi atau menolaknya." (HR Bukhari dan Muslim).
Kerja keras, apapun bentuknya, mendapat tempat mulia dalam Islam. Dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda, ''Siapa mencari dunia secara halal, membanting tulang demi keluarga dan cinta tetangga, maka pada hari kiamat Allah akan membangkitkannya dengan wajah berbinar layak rembulan bulan purnama.'' ***


BERSEGERA MEMBERI DENGAN BERBAGAI CARA

Pelajaran tentang kedermawanan ini juga banyak kita temui dari Rasulullah. Seperti ketika seorang wanita menghadiahi Rasulullah sebuah selendang indah. Rasulullah gembira menerima pemberian itu. Beliau memang memerlukan selendang itu. Langsung dikenakanlah selendang itu.
Seorang sahabat berkomentar, “Alangkah indahnya selendang itu ya Rasululah, bolehkah aku memintanya?” Para sahabat gusar mendengar permintaan kurang sopan itu. Namun, dengan ringan Rasulullah berkata, “Oh, silahkan, ambillah,” seraya melepas selendang dan memberikannya.
Dalam kesempatan yang lain Rasulullah berbagi kegembiraan dengan sahabat yang lain.”Lihatlah, alangkah indahnya baju yang kupakai ini. Tiba-tiba seorang Arab Badui menyela, “Wahai Rasulullah, baju tersebut buat aku saja.”
Tanpa pikir panjang Rasulullah segera melepas baju barunya lalu memberikan kepada si Badui. Sebagai pengganti, Rasulullah cukup meminta menjahit kain dengan motif yang sama.
Dari Abu Thalhah, juga dari Rasulullah saw. kita punya cermin keteladanan yang dapat digunakan oleh siapa saja. Bagi kita secara pribadi, kelompok masyarakat, juga untuk mereka yang kebetulan menempati jabatan dalam pemerintahan. Memberi manfaat kepada orang lain itu selayaknya disegerakan dalam setiap kondisi yang kita punyai. Juga dilandasi kesungguhan seraya memastikan bahwa kebaikan itu tidak berdampak kepada keburukan yang lain.
Islam sesungguhnya mempunyai banyak instrumen yang memungkinkan kita dapat memberi sumbangsih kebaikan bagi setiap orang. Konsep universal dalam Islam, bahwa kita diciptakan hanya untuk beribadah, membuat segala sesuatu dapat bernilai kebaikan.
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS Adz Dzariyat: 56)
Sejauh hal itu diniatkan untuk beribadah, terlepas berapapun ukuran dan volumenya, Allah akan menilainya sebagai pahala.
Zakat adalah instrumen pemberian yang diwajibkan (tanpa ada dalih untuk mengelak) bagi orang yang kelebihan hartanya (melampau nishab). Tetapi bagi orang yang pas-pasan (belum melampaui nishab) ada juga instrumen lain yaitu infak dan sedekah. Hal ini tentu tidak kurang nilai manfatnya bila dapat dilaksanakan secara bersama oleh umat Islam. Bisa jadi infak sedekah tersebut hanya “uang receh” tetapi bila banyak dan terakumulasi maka akan memberikan kemanfaatan yang tidak sedikit.
Tidak ada yang boleh dipandang remeh (inferior) terkait amalan kebaikan itu. Derajatnya sama dimata Allah sejauh diniatkan dengan ikhlas dan sungguh-sungguh (sebagai capaian maksimal yang bisa kita perbuat).
Pelajaran tentang rasa rendah diri (inferior) yang terkait dengan amalan ini seperti yang terjadi dalam pengaduan beberapa sahabat kepada Rasulullah dalam hadits riwayat Muslim berikut.
“Wahai Rasulullah, orang-orang kaya lebih banyak mendapat pahala, mereka mengerjakan salat sebagaimana kami bersalat, dan mereka berpuasa sebagaimana kami berpuasa. Dan mereka bersedekah(=zakat) dengan kelebihan harta mereka.
Maka Rasulullah bersabda, “Bukankah Tuhan telah menjadikan sesuatu bagimu untuk bersedekah? Sesungguhnya tiap-tiap tasbih, tahmid, dan tahlil adalah sedekah. Dan melarang daripada kemungkaran adalah sedekah. Mendatangi isterimu juga sedekah.”
Merekapun berkata, Wahai Rasulullah, apakah jika seorang di antara kami mengikuti syahwatnya (dengan mendatangi isterinya), adakah ia mendapat pahala karenanya?
Maka Rasulullah menjawab,”Tahukah engkau jika seorang menumpahkan syahwatnya pada yang haram tidakkah berdosa ia? Maka demikian pula apabila ia menempatkan syahwatnya pada yang halal adalah pahala baginya.”
Alangkah indahnya bila Islam itu dijalankan para pemeluknya. Ya. Tidak ada yang bernilai sia-sia dalam setiap aktivitas kita. Allah mengharuskan hal itu dalam niatan karena Allah (ibadah) yang kemudian itu akan bernilai kebaikan. Koridor ibadah akan membuat segala hal itu tetap berjalan semestinya. Inilah hikmah yang membuat “bersenang-senang” (seperti mendatangi isteri itu) tidak menjerumuskan kita pada perbuatan maksiat.
Begitu besarnya nilai dari aktivitas untuk memberi kemanfaatan bagi yang lain, Islam mewajibkan sedekah ini bagi setiap pemeluknya. Tentu tetap dalam garisnya yang proporsional, sesuai dengan kemampuannya masing-masing.
“Tiap-tiap anggota badan dari manusia wajib atasnya sedekah. Tiap hari apabila terbit matahari engkau damaikan antara dua orang (yang berselisih) itu adalah sedekah; menolong orang berkenaan dengan tunggangannya itu adalah sedekah; dan kata-kata yang baik adalah sedekah; setiap langkah untuk berjalan (menuju masjid) untuk salat adalah sedekah; dan menyingkirkan sesuatu rintangan dari jalan adalah sedekah. (Mutafaqun alaih). ***
[Tulisan ini merupakan arsip dari tulisan yang telah dipublikasikan di Buletin Sajada, Lembaga Amil Zakat Lampung Peduli, sejak 2005]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Saat Bencana Tak Menyadarkan Kita

“Belumkah datang kepada mereka berita penting tentang orang-orang yang sebelum mereka, (yaitu) kaum Nuh, 'Aad, Tsamud, kaum Ibrahim, penduduk Madyan dan negeri-negeri yang telah musnah? Telah datang kepada mereka rasul-rasul dengan membawa keterangan yang nyata, maka Allah tidaklah sekali-kali menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (QS At Taubah: 70) Selayaknya, hari itu adalah waktu libur yang menyenangkan. Pesisir pantai Aceh punya pesona menarik sebagaimana pantai lainnya di pesisir Samudera Indonesia. Pagi yang cerah. Menawarkan selera untuk bercengkerama dengan keluarga, sembari menikmati indahnya panorama pantai. Namun, malang tak dapat ditolak untung tak dapat diraih. Semuanya berubah menjadi peristiwa yang memilukan. Tiba-tiba bumi berguncang dahsyat, gempa mengundang panik semuanya. Belum sirna rasa terkejut itu, riuh rendah orang berteriak, “Air, air..., air datang!“ Kita selanjutnya menyaksikan ribuan mayat bergelimpangan, berbagai

PETAKA KUASA DUSTA

”Jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu-bapak dan kaum kerabatmu...Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” (TQS An Nisaa: 135). Ini kisah menurut La Fontaine dalam Fables et Epitres. Dunia margasatwa diserang wabah penyakit. Diduga wabah itu merupakan azab Tuhan karena kejahatan penghuni dunia itu. Baginda Singa, tokoh nomor satu di kerajaan rimba, dengan memelas mengakui, ”Akulah penyebab segala bencana ini. Pekerjaanku memakan warga yang lemah seperti domba dan kambing.” Serigala membantah. ”Bukan demikian, Baginda tidak salah.” Yang dilakukan singa adalah implikasi dari kekuasaan. Memakan warga adalah bagian resiko yang harus diambil dari kebijakan yang dibuat pemimpin. Seorang demi seorang dari pembesar margasatwa bergilir mengakui kesalahannya. Pengadilan selalu memutuskan mereka tak bersalah

“Robohnya Masjid Kami” [Kritik Memakmurkan Masjid]

“Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allah dalam masjid-masjid-Nya, dan berusaha untuk merobohkannya? Mereka itu tidak sepatutnya masuk ke dalamnya (masjid Allah), kecuali dengan rasa takut (kepada Allah). Mereka di dunia mendapat kehinaan dan di akhirat mendapat siksa yang berat.” (TQS Al Baqarah: 114) Masjid itu dindingnya dari tanah liat. Tiangnya batang kurma, lantainya pasir, dan atapnya pelepah kurma. Maka, di suatu hari kaum Anshar mengumpulkan harta dan mendatangi Rasulullah saw.. "Wahai Rasulullah, bangunlah masjid dan hiasilah seindah-indahnya dengan harta yang kami bawa ini. Sampai kapan kita harus salat di bawah pelepah kurma?" Rasulullah menjawab, "Aku ingin seperti saudaraku Nabi Musa, masjidku cukup seperti arisy (gubuk tempat berteduh) Nabi Musa a.s.” Dijelaskan oleh Hasan r.a. menjelaskan bahwa ukuran arisy Nabi Musa a.s. adalah bila Rasulullah saw. mengangkat tangannya maka atapnya akan tersentuh Hadits ya