Siapakah bangsa yang paling pemurah sedunia? Didasari penelitian Universitas Johns Hopkins, majalah Time (24 Juli 2000) pernah mengklaim bahwa bangsa Amerika adalah bangsa yang paling pemurah sedunia. Majalah ini membandingkan kedermawanan bangsa Amerika dengan bangsa Jerman dan Perancis. Jumlah orang Amerika yang menyumbang uang pada 1999 mencapai 73%, jauh melebihi orang Jerman (44%) maupun Perancis (43%). Demikian juga untuk yang menyumbangkan waktu untuk kerja sukarela, bangsa Amerika sebanyak 49%, lebih dari dua kali bangsa Jerman (19%), dan Perancis (13%). Secara nominal total sumbangan di negeri Paman Sam pada periode 1999 mencapai 190 miliar dollar. Dengan perkiraan penduduk sekitar 250 juta orang maka nilai sumbangan per kapita per tahun bangsa Amerika mencapai 760 dolar atau Rp 7,6 juta. Keberadaan miliuner-miliuner baru dengan perusahaan teknologi informasi seperti Bill Gates (Microsoft), Jim Clark (Netscape), Ted Turner (CNN), dan sebagainya, berpengaruh besar dalam capaian nominal total sumbangan tersebut.
Survei PIRAC (Public Interest Research and Advocacy) di sebelas kota besar di Indonesia pada 2004 memberikan informasi membanggakan untuk kita. Dengan melibatkan 2500 responden, didapati hasil tingkat bersedekah (rate of giving) masyarakat Indonesia terbukti jauh lebih tinggi dari bangsa Amerika, apalagi Jerman dan Perancis. Hampir semua responden (96%) mengaku memberi sedekah kepada seseorang, sebagian besar memberi lembaga keagamaan (77%), maupun lembaga non-keagamaan (77%). Cuma, tentu saja, nilai nominalnya sangat berbeda. Nilai sumbangan per kapita per tahun per populasi yang disurvei mencapai Rp 371 ribu (diberikan) kepada perorangan, Rp 255 ribu kepada organisasi keagamaan, dan Rp 233 ribu kepada organisasi non-keagamaan (Zaim Saidi, 2004).
Problem Pengelolaan
Di Indonesia faktor agama adalah motif utama bagi seseorang untuk menyumbang. Maka tidak heran rate of giving masyarakat kita mencapai di atas 95%. Seperti diungkapkan Zaim Saidi (2003) potensi dana zakat di Indonesia mencapai Rp. 7,5 triliun per tahun, jumlah yang besar untuk pemberdayaan masyarakat. Bukti yang nyata dan sederhana dari argumentasi ini adalah suburnya kegiatan berderma di ”hari-hari baik,” seperti di sepanjang Ramadhan dan menjelang Idul Fitri. Di Jakarta pada bulan Ramadan selalu kebanjiran pendatang musiman dari berbagai daerah di Jawa untuk menjadi pengemis. Di jalan-jalan, walaupun terkesan kurang simpatik—bahkan kerap menjengkelkan bagi sebagian orang, panitia pembangunan masjid tetap saja meraup dana besar dari pengguna jalan.
Semestinya tingginya tingkat bersedekah (rate of giving) masyarakat ini punya korelasi positif dengan upaya mengatasi kemiskinan dan masalah sosial yang lain. Sayangnya, kita belum mendapati fakta yang menggembirakan tentang upaya pendayagunaan dana sosial ini—terutama di daerah.
Salah satu kendala yang tampak dominan dalam pendayagunaan ini adalah rendahnya himpunan dana pada lembaga-lembaga pengelola dana sosial. Sebagai contoh, pengalaman penulis terlibat dalam lembaga zakat daerah, total dana ZIS (zakat infak sedekah) yang dihimpun oleh lembaga selama setahun hanya berkisar 100-150 juta rupiah. Di Lampung, total dana yang dihimpun oleh beberapa BAZ dan LAZ (Badan/lembaga amil zakat) tampak tidak sampai kisaran satu milyar. Dengan dana rata-rata setiap bulan yang tak lebih dari 10 juta setiap lembaga, terasa sulit meng-create program pemberdayaan yang layak.
Optimalisasi dan Pemberdayaan
Apakah masyarakat Lampung masih sedikit yang menunaikan zakat dan bersedekah? Jawabannya sudah pasti tidak. Namun, perlu ada yang dirubah dalam orientasi dan cara mereka menyalurkan dananya. Seperti dalam berzakat, harus ada perubahan orientasi dari sekadar menggugurkan kewajiban menuju ” kesempurnaan” zakat tersebut lewat pendayagunaannya yang optimal. Masih banyak para muzakki (pembayar zakat) menyerahkan dananya secara langsung. Padahal penyerahan zakat secara langsung memiliki sejumlah kelemahan.
Diantaranya, jumlah yang disalurkan akan kecil karena berasal dari seorang saja, sehingga sulit untuk mengubah nasib ekonomi si mustahik (penerima zakat). Dengan penyaluran langsung juga akan ada overlaping dalam pengumpulan dan pengunaan dana zakat. Kita tidak akan memiliki data yang akurat berapa jumlah muzakki di suatu tempat dan berapa jumlah mustahiknya. Siapa saja yang sudah diberi dan siapa saja yang belum.
Sudah seharusnya, masyarakat memprioritaskan sumbangannya agar berfungsi produktif. Dalam pemahaman dan praktek tradisional, pemanfaatan dana zakat, infak, dan sedekah (ZIS) biasanya ditekankan pada fungsi relief /charity dengan diberikan langsung dalam bentuk uang dan makanan. Delapan kelompok yang berhak menerima zakat yang terdiri dari fakir, miskin, amil, gharimin (orang yang berhutang), mualaf, ibnu sabil, sabilillah, dan budak biasanya menerima langsung bantuan tanpa tersistematisasikan dengan baik. Dalam konteks tertentu bagi masyarakat di Indonesia, cara-cara tradisional memang masih perlu dilakukan. Banyak warga negara yang masih membutuhkan dana yang bersifat segera. Namun, cara ini harus diiringi dengan upaya-upaya pemberdayaan atau pengentasan kemiskinan.
Pemberdayaan itu dilakukan agar orang-orang yang lemah bisa terentaskan dari kemiskinannya secara permanen, bahkan meningkat statusnya dari mustahik (penerima zakat) menjadi muzakki (orang yang berzakat). Maka, dana ZIS selayaknya tidak berfungsi konsumtif semata atau jangka pendek, tapi menjadi dana revolving (bergulir), produktif, berkembang, berfungsi maksimal, dan membantu sebanyak-banyaknya masyarakat.
Peran dan fungsi pemberdayaan seperti di atas tampak sulit bila dilakukan oleh panitia ZIS di setiap masjid yang hanya musiman/ setahun sekali. Karenanya keberadaan Badan/Lembaga Amil Zakat yang dikelola secara profesional (punya aktivitas kontinu) memegang peranan mutlak. Ke depan pilahan kerja seperti ini perlu dipertegas. Semisal, panitia ZIS di setiap masjid hanya mengelola zakat fitrah untuk disalurkan langsung (sebagai bentuk ”menggembirakan dhuafa” saat Idul Fitri). Lalu, zakat mal (harta) kemudian diserahkan ke BAZ/LAZ. Setiap masjid berfungsi sebagai unit pengumpul zakat (UPZ). Cara inilah yang paling mungkin mencapai akumulasi dana yang besar untuk program pemberdayaan.
Memberi prioritas pada upaya pemberdayaan penting disosialisasikan secara intens pada para aghniya (orang kaya, pemilik harta). Masih ada kecenderungan para pemilik dana menyumbangkan kegiatannya pada sarana fisik. Bahkan dalam praktek, banyak para muzakki yang yang menyerahkan dana zakatnya untuk pembangunan masjid. Padahal, jumhur ulama telah menetapkan bahwa zakat tidak boleh peruntukannya untuk hal demikian. Ironisnya, pemahaman tentang zakat yang salah tersebut sering juga terjadi pada lembaga pengelola ZIS di tingkat pengurus masjid—kecuali untuk zakat fitrah yang umumnya sudah cukup dipahami. Muzakki, yang mungkin sudah sadar untuk menyampaikan zakat secara kolektif itu, ternyata zakatnya tidak termanfaatkan semestinya. Dana zakat ”diselewengkan” untuk keperluan membangun sarana ibadah.
Dalam tataran praktek sebenarnya kita telah mempunyai berbagai terobosan manajemen pengelolaan zakat yang brilian. Di level nasional lembaga-lembaga amil zakat seperti Dompet Dhuafa Republika, Pos Keadilan Peduli Umat, Yayasan Daarut Tauhid, Rumah Zakat (DSUQ), dan lainnya telah menawarkan berbagai terobosan baru dalam manajemen pengumpulan dan distribusi. Dampak positifnya juga terasa pada dhuafa yang telah mereka kelola. Hal tersebut tentu dapat diadopsi di daerah. Masalahnya tinggal pada kemauan kita untuk bersedekah secara berjamaah, pada lembaga-lembaga yang khusus berkhidmat mengambil peran tersebut. ***
[Tulisan ini merupakan arsip dari tulisan yang telah dipublikasikan di Buletin Sajada, Lembaga Amil Zakat Lampung Peduli, sejak 2005]
Survei PIRAC (Public Interest Research and Advocacy) di sebelas kota besar di Indonesia pada 2004 memberikan informasi membanggakan untuk kita. Dengan melibatkan 2500 responden, didapati hasil tingkat bersedekah (rate of giving) masyarakat Indonesia terbukti jauh lebih tinggi dari bangsa Amerika, apalagi Jerman dan Perancis. Hampir semua responden (96%) mengaku memberi sedekah kepada seseorang, sebagian besar memberi lembaga keagamaan (77%), maupun lembaga non-keagamaan (77%). Cuma, tentu saja, nilai nominalnya sangat berbeda. Nilai sumbangan per kapita per tahun per populasi yang disurvei mencapai Rp 371 ribu (diberikan) kepada perorangan, Rp 255 ribu kepada organisasi keagamaan, dan Rp 233 ribu kepada organisasi non-keagamaan (Zaim Saidi, 2004).
Problem Pengelolaan
Di Indonesia faktor agama adalah motif utama bagi seseorang untuk menyumbang. Maka tidak heran rate of giving masyarakat kita mencapai di atas 95%. Seperti diungkapkan Zaim Saidi (2003) potensi dana zakat di Indonesia mencapai Rp. 7,5 triliun per tahun, jumlah yang besar untuk pemberdayaan masyarakat. Bukti yang nyata dan sederhana dari argumentasi ini adalah suburnya kegiatan berderma di ”hari-hari baik,” seperti di sepanjang Ramadhan dan menjelang Idul Fitri. Di Jakarta pada bulan Ramadan selalu kebanjiran pendatang musiman dari berbagai daerah di Jawa untuk menjadi pengemis. Di jalan-jalan, walaupun terkesan kurang simpatik—bahkan kerap menjengkelkan bagi sebagian orang, panitia pembangunan masjid tetap saja meraup dana besar dari pengguna jalan.
Semestinya tingginya tingkat bersedekah (rate of giving) masyarakat ini punya korelasi positif dengan upaya mengatasi kemiskinan dan masalah sosial yang lain. Sayangnya, kita belum mendapati fakta yang menggembirakan tentang upaya pendayagunaan dana sosial ini—terutama di daerah.
Salah satu kendala yang tampak dominan dalam pendayagunaan ini adalah rendahnya himpunan dana pada lembaga-lembaga pengelola dana sosial. Sebagai contoh, pengalaman penulis terlibat dalam lembaga zakat daerah, total dana ZIS (zakat infak sedekah) yang dihimpun oleh lembaga selama setahun hanya berkisar 100-150 juta rupiah. Di Lampung, total dana yang dihimpun oleh beberapa BAZ dan LAZ (Badan/lembaga amil zakat) tampak tidak sampai kisaran satu milyar. Dengan dana rata-rata setiap bulan yang tak lebih dari 10 juta setiap lembaga, terasa sulit meng-create program pemberdayaan yang layak.
Optimalisasi dan Pemberdayaan
Apakah masyarakat Lampung masih sedikit yang menunaikan zakat dan bersedekah? Jawabannya sudah pasti tidak. Namun, perlu ada yang dirubah dalam orientasi dan cara mereka menyalurkan dananya. Seperti dalam berzakat, harus ada perubahan orientasi dari sekadar menggugurkan kewajiban menuju ” kesempurnaan” zakat tersebut lewat pendayagunaannya yang optimal. Masih banyak para muzakki (pembayar zakat) menyerahkan dananya secara langsung. Padahal penyerahan zakat secara langsung memiliki sejumlah kelemahan.
Diantaranya, jumlah yang disalurkan akan kecil karena berasal dari seorang saja, sehingga sulit untuk mengubah nasib ekonomi si mustahik (penerima zakat). Dengan penyaluran langsung juga akan ada overlaping dalam pengumpulan dan pengunaan dana zakat. Kita tidak akan memiliki data yang akurat berapa jumlah muzakki di suatu tempat dan berapa jumlah mustahiknya. Siapa saja yang sudah diberi dan siapa saja yang belum.
Sudah seharusnya, masyarakat memprioritaskan sumbangannya agar berfungsi produktif. Dalam pemahaman dan praktek tradisional, pemanfaatan dana zakat, infak, dan sedekah (ZIS) biasanya ditekankan pada fungsi relief /charity dengan diberikan langsung dalam bentuk uang dan makanan. Delapan kelompok yang berhak menerima zakat yang terdiri dari fakir, miskin, amil, gharimin (orang yang berhutang), mualaf, ibnu sabil, sabilillah, dan budak biasanya menerima langsung bantuan tanpa tersistematisasikan dengan baik. Dalam konteks tertentu bagi masyarakat di Indonesia, cara-cara tradisional memang masih perlu dilakukan. Banyak warga negara yang masih membutuhkan dana yang bersifat segera. Namun, cara ini harus diiringi dengan upaya-upaya pemberdayaan atau pengentasan kemiskinan.
Pemberdayaan itu dilakukan agar orang-orang yang lemah bisa terentaskan dari kemiskinannya secara permanen, bahkan meningkat statusnya dari mustahik (penerima zakat) menjadi muzakki (orang yang berzakat). Maka, dana ZIS selayaknya tidak berfungsi konsumtif semata atau jangka pendek, tapi menjadi dana revolving (bergulir), produktif, berkembang, berfungsi maksimal, dan membantu sebanyak-banyaknya masyarakat.
Peran dan fungsi pemberdayaan seperti di atas tampak sulit bila dilakukan oleh panitia ZIS di setiap masjid yang hanya musiman/ setahun sekali. Karenanya keberadaan Badan/Lembaga Amil Zakat yang dikelola secara profesional (punya aktivitas kontinu) memegang peranan mutlak. Ke depan pilahan kerja seperti ini perlu dipertegas. Semisal, panitia ZIS di setiap masjid hanya mengelola zakat fitrah untuk disalurkan langsung (sebagai bentuk ”menggembirakan dhuafa” saat Idul Fitri). Lalu, zakat mal (harta) kemudian diserahkan ke BAZ/LAZ. Setiap masjid berfungsi sebagai unit pengumpul zakat (UPZ). Cara inilah yang paling mungkin mencapai akumulasi dana yang besar untuk program pemberdayaan.
Memberi prioritas pada upaya pemberdayaan penting disosialisasikan secara intens pada para aghniya (orang kaya, pemilik harta). Masih ada kecenderungan para pemilik dana menyumbangkan kegiatannya pada sarana fisik. Bahkan dalam praktek, banyak para muzakki yang yang menyerahkan dana zakatnya untuk pembangunan masjid. Padahal, jumhur ulama telah menetapkan bahwa zakat tidak boleh peruntukannya untuk hal demikian. Ironisnya, pemahaman tentang zakat yang salah tersebut sering juga terjadi pada lembaga pengelola ZIS di tingkat pengurus masjid—kecuali untuk zakat fitrah yang umumnya sudah cukup dipahami. Muzakki, yang mungkin sudah sadar untuk menyampaikan zakat secara kolektif itu, ternyata zakatnya tidak termanfaatkan semestinya. Dana zakat ”diselewengkan” untuk keperluan membangun sarana ibadah.
Dalam tataran praktek sebenarnya kita telah mempunyai berbagai terobosan manajemen pengelolaan zakat yang brilian. Di level nasional lembaga-lembaga amil zakat seperti Dompet Dhuafa Republika, Pos Keadilan Peduli Umat, Yayasan Daarut Tauhid, Rumah Zakat (DSUQ), dan lainnya telah menawarkan berbagai terobosan baru dalam manajemen pengumpulan dan distribusi. Dampak positifnya juga terasa pada dhuafa yang telah mereka kelola. Hal tersebut tentu dapat diadopsi di daerah. Masalahnya tinggal pada kemauan kita untuk bersedekah secara berjamaah, pada lembaga-lembaga yang khusus berkhidmat mengambil peran tersebut. ***
[Tulisan ini merupakan arsip dari tulisan yang telah dipublikasikan di Buletin Sajada, Lembaga Amil Zakat Lampung Peduli, sejak 2005]
Komentar