Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari April, 2008

Membumikan Zakat

Berbeda dengan rukun Islam lain yang lebih berdimensi individual dan vertikal (hablun minallah), zakat adalah ibadah yang secara keseluruhan berdimensi sosial. Masalah sosial berarti memasuki ranah pemerintah. Dalam bahasa Ibnu Taimiyah, zakat adalah politik. Konsekuensi logisnya, hal yang terkait dengan himpunan dan distribusi akan selalu punya kaitan dengan kebijakan pemerintah. Tidak hanya dalam aspek legal, tapi juga operasional. Zakat mungkin tidak lagi dilihat sebagai ranah agama, tetapi bagian inheren dalam pembangunan ekonomi masyarakat secara umum. Seperti keberadaan bank syariah. Awal diinisiasi banyak didukung Departemen Agama. Tetapi berikutnya, regulasi berada di bawah bank sentral (BI) dan Departeman Keuangan. Dimensi sosial zakat tersebut secara alamiah tampak akan mewarnai dinamika politik sampai tingkat lokal. Raperda zakat di Metro adalah salah satu contoh aktual. Meski urung disahkan, penulis yakin ini akan menjadi dinamika politik yang terus berlanjut. Argument

Kartini, Masa Kini…

“Barangsiapa yang mengerjakan amal salih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” ( TQS An Nahl: 97 ). Karena malu, awalnya Ummu Sulaim, istri Abu Thalhah, ragu menanyakan. Tapi keingintahuan yang begitu besar mengalahkan rasa malunya. Didatanginya Rasulullah. “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu terhadap kebenaran. Apakah wanita wajib mandi apabila mimpi (bersetubuh)?” Jawab Nabi saw., “Ya, apabila wanita itu melihat air (mani).” Lalu Ummu Sulaim menutup wajahnya. Rasa malu itu seperti kembali menguasai dirinya. Melihat kejadian tersebut Ummu Salamah tertawa. “Wahai Rasulullah, apakah wanita itu mimpi (bersetubuh)?” tanya Ummu Salamah. Rasulullah, dengan nada agak bercanda, menjawab “Ya, berdebulah tanganmu (=sial nian kamu), dengan apakah anaknya dapat menyerup

Esok yang Lebih Baik

”Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan” (TQS Alam Nasyrah: 5-6) Rasulullah yang mulia memalingkan muka ke arah sahabatnya, wajahnya nampak begitu berseri. ”Bergembiralah kalian, karena akan datang kemudahan bagi kalian, kesulitan tidak akan mengalahkan dua kemudahan.” Hadist yang diriwayatkan Ibnu Jarir tersebut terjadi saat Rasulullah saw. usai menerima wahyu, Surah Alam Nasyrah. Allah telah menjanjikan kepada kita bahwa bersama kesulitan selalu ada kemudahan. Menurut Ibnu Katsir, pengulangan kalimat itu menandakan, bahwa kesulitan tidak akan berdaya melawan dua kemudahan. Itu juga berarti bahwa setiap satu kesulitan pasti bersamanya ada dua kemudahan yang lain (Tafsir Ibnu Katsir). Menjaga rasa gembira punya tempat istimewa dalam Islam. Ia bahkan menjadi salah satu pilar risalah kenabian. Sebab Rasul diutus untuk menyampaikan kabar gembira, selain untuk memberikan peringatan akan azab dari Allah swt. ”Dan Kami tidak