Langsung ke konten utama

Membumikan Zakat

Berbeda dengan rukun Islam lain yang lebih berdimensi individual dan vertikal (hablun minallah), zakat adalah ibadah yang secara keseluruhan berdimensi sosial. Masalah sosial berarti memasuki ranah pemerintah. Dalam bahasa Ibnu Taimiyah, zakat adalah politik.

Konsekuensi logisnya, hal yang terkait dengan himpunan dan distribusi akan selalu punya kaitan dengan kebijakan pemerintah. Tidak hanya dalam aspek legal, tapi juga operasional.

Zakat mungkin tidak lagi dilihat sebagai ranah agama, tetapi bagian inheren dalam pembangunan ekonomi masyarakat secara umum. Seperti keberadaan bank syariah. Awal diinisiasi banyak didukung Departemen Agama. Tetapi berikutnya, regulasi berada di bawah bank sentral (BI) dan Departeman Keuangan.

Dimensi sosial zakat tersebut secara alamiah tampak akan mewarnai dinamika politik sampai tingkat lokal. Raperda zakat di Metro adalah salah satu contoh aktual. Meski urung disahkan, penulis yakin ini akan menjadi dinamika politik yang terus berlanjut.

Argumentasi penolakan Perda Zakat, seperti yang disampaikan Sigit Rahmanto (Lampung Post, 25 Maret 2008) menjadi tidak relevan. Perda pengelolaan zakat seperti di NAD, Sumbar, Kota Solok, Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Cianjur, rasanya sudah cukup sebagai yurisprudensi. Tulisan Suhairi (Lampung Post, 11 April 2008), telah meneguhkan anggapan ini. Perda pengelolaan zakat mempunyai landasan memadai dalam hukum positif di negara ini.

Strategi 'Bottom Up'

Apa pun dalihnya, penolakan perda pengelolaan zakat di Metro sudah menjadi bagian sejarah. Ini bukan bermaksud menjustifikasi siapa yang bersalah. Tetapi, ini penting menjadi bahan introspeksi bagi para kalangan yang ingin perda zakat terwujud. Alih-alih meratapi "kecelakaan sejarah" tersebut, yang perlu diwujudkan adalah praktek pengelolaan zakat dengan baik. Kinerja pengelolaan zakat harus dibenahi.

Harus diakui belum banyak contoh, model atau fakta menggembirakan dalam pengelolaan zakat yang bisa dilihat memadai oleh masyarakat. Akibatnya bagi banyak kalangan, zakat masih menjadi wacana pinggiran. Animo masyarakat masih rendah. Isu zakat belum familier di sebagian besar warga. Agaknya inilah yang dilihat para politisi.

Zakat belum dilihat sebagai perkara mendesak yang harus diwujudkan lewat perda. Dalam konteks politik, penolakan perda zakat dianggap tidak berimplikasi pada dukungan konstituen. Alam demokrasi tampak punya kaidah tersendiri. Kehendak politik (political will) itu muncul bukan dari pertimbangan legal formal an sich, tetapi lebih pada realitas lapang dan opini publik yang berkembang.

Seperti waktu lahirnya UU No. 38 Tahun 1999. UU tersebut lahir setelah maraknya Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang dibentuk masyarakat. Produk hukum itu lahir setelah menjadi wacana masif di level grass root (akar rumput).

Dalam praktek, cukup banyak hal krusial yang perlu dibenahi. Dari aspek pemahaman, penghimpunan, serta distribusi atau pendayagunaan. Masih sering timbul kerancuan antara yang dianggap sebagai zakat fitrah atau zakat mal. Walau ini hal sederhana, ternyata banyak yang belum mengerti. Kontroversi peruntukan zakat, konsumtif atau produktif, biasanya muncul dari sini. Bila zakat fitrah yang dimaksud, sudah pasti konsumtif dan sesaat saja (menjelang Hari Raya Idulfitri). Jika zakat mal, tentunya bergantung pada kondisi prioritas dan maslahat. Ironisnya, dalam realisasi himpunan, banyak BAZ/LAZ yang hanya menghimpun zakat dengan proporsi terbesarnya dari zakat fitrah. Jika seperti ini, pendayagunaan produktif tentu hanya akan menjadi wacana. Debatable, sebagaimana disampaikan Sigit Rahmanto, banyak muncul dari latar belakang seperti ini.

Kalaupun muzaki (wajib zakat) sudah mengetahui perbedaan zakat fitrah dengan mal, habit-nya banyak yang belum berubah. Muzaki hanya "ingat" menunaikan zakat pada saat Ramadan. Zakat hanya terakumulasi pada bulan itu. Kinerja lembaga zakat pun terpengaruh.

Banyak yang terlihat aktif pada saat Ramadan dan Syawal saja. Jika demikian, kontinuitas pun jadi masalah. Mustahik terlihat makmur pada selama satu bulan, 11 bulan berikutnya kembali telantar. Lembaga zakat harus pandai-padai mengatur himpunan di bulan Ramadaan agar bermanfaat selama setahun.

Lemahnya kinerja lembaga zakat juga masih menjadi kendala. Tuntutan ideal pendayagunaan zakat seringkali kalah dengan sikap pragmatis dan rendahnya mutu SDM. Sudah jamak dipahami bahwa zakat selayaknya diberikan layaknya memberi kail, bukan ikan. Istilah zakat untuk usaha produktif muncul diri pemahaman ini. Tapi dalam praktek, banyak hal yang sesungguhnya mempunyai substansi konsumtif dan hanya bersifat charity (amal). Pendayagunaan dianggap selesai dengan (misalnya) distribusi bantuan alat produksi. Padahal banyak penerima manfaat (mustahik) yang punya masalah dengan bekalan keterampilan.

Minim evaluasi, apakah "kail" yang diberikan bisa benar-benar dipakai untuk mendapatkan "ikan." Kegiatan penyuluhan, pendampingan usaha, serta hal-hal yang terkait dengan peningkatan sikap positif masih sering diabaikan.

Cara-cara "tradisional", dengan pemberian langsung, tentu masih perlu dilakukan. Tapi jika melulu dengan cara itu, pendayagunaan zakat selalu akan kalah pamor dengan institusi yang lain. Seperti saat menjelang pilkada kini. Para calon kepala daerah, banyak menyampaikan bantuan yang jumlahnya amat besar dibanding dengan lembaga zakat.

Edukasi dan Sosialisasi

Walau Perda Pengelolaan Zakat di Metro diniatkan mendongkrak penghimpunan zakat, agaknya perlu langkah lain memenuhinya. Perlu dibuat langkah sosialisasi untuk membumikan zakat. Harus ada penetrasi untuk mengubah pola berzakat serta berderma warga. Pemkab/pemkot perlu mengalokasikan dana khusus untuk sosialisasi, seraya memperbaiki kinerja BAZ/LAZ yang ada.

Lembaga perlu bekalan empirik untuk meningkatkan kompetensi, sampai masyarakat percaya untuk menyampaikan donasi. Jangan sampai, seandainya perda pengelolaan zakat terwujud, tidak mempunyai pengaruh signifikan dalam penghimpunan. Atau, regulasi malah kontraproduktif karena out of context karena tidak didasari atas pengalaman di lapang.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

PETAKA KUASA DUSTA

”Jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu-bapak dan kaum kerabatmu...Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” (TQS An Nisaa: 135). Ini kisah menurut La Fontaine dalam Fables et Epitres. Dunia margasatwa diserang wabah penyakit. Diduga wabah itu merupakan azab Tuhan karena kejahatan penghuni dunia itu. Baginda Singa, tokoh nomor satu di kerajaan rimba, dengan memelas mengakui, ”Akulah penyebab segala bencana ini. Pekerjaanku memakan warga yang lemah seperti domba dan kambing.” Serigala membantah. ”Bukan demikian, Baginda tidak salah.” Yang dilakukan singa adalah implikasi dari kekuasaan. Memakan warga adalah bagian resiko yang harus diambil dari kebijakan yang dibuat pemimpin. Seorang demi seorang dari pembesar margasatwa bergilir mengakui kesalahannya. Pengadilan selalu memutuskan mereka tak bersalah

“Robohnya Masjid Kami” [Kritik Memakmurkan Masjid]

“Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allah dalam masjid-masjid-Nya, dan berusaha untuk merobohkannya? Mereka itu tidak sepatutnya masuk ke dalamnya (masjid Allah), kecuali dengan rasa takut (kepada Allah). Mereka di dunia mendapat kehinaan dan di akhirat mendapat siksa yang berat.” (TQS Al Baqarah: 114) Masjid itu dindingnya dari tanah liat. Tiangnya batang kurma, lantainya pasir, dan atapnya pelepah kurma. Maka, di suatu hari kaum Anshar mengumpulkan harta dan mendatangi Rasulullah saw.. "Wahai Rasulullah, bangunlah masjid dan hiasilah seindah-indahnya dengan harta yang kami bawa ini. Sampai kapan kita harus salat di bawah pelepah kurma?" Rasulullah menjawab, "Aku ingin seperti saudaraku Nabi Musa, masjidku cukup seperti arisy (gubuk tempat berteduh) Nabi Musa a.s.” Dijelaskan oleh Hasan r.a. menjelaskan bahwa ukuran arisy Nabi Musa a.s. adalah bila Rasulullah saw. mengangkat tangannya maka atapnya akan tersentuh Hadits ya

Saat Bencana Tak Menyadarkan Kita

“Belumkah datang kepada mereka berita penting tentang orang-orang yang sebelum mereka, (yaitu) kaum Nuh, 'Aad, Tsamud, kaum Ibrahim, penduduk Madyan dan negeri-negeri yang telah musnah? Telah datang kepada mereka rasul-rasul dengan membawa keterangan yang nyata, maka Allah tidaklah sekali-kali menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (QS At Taubah: 70) Selayaknya, hari itu adalah waktu libur yang menyenangkan. Pesisir pantai Aceh punya pesona menarik sebagaimana pantai lainnya di pesisir Samudera Indonesia. Pagi yang cerah. Menawarkan selera untuk bercengkerama dengan keluarga, sembari menikmati indahnya panorama pantai. Namun, malang tak dapat ditolak untung tak dapat diraih. Semuanya berubah menjadi peristiwa yang memilukan. Tiba-tiba bumi berguncang dahsyat, gempa mengundang panik semuanya. Belum sirna rasa terkejut itu, riuh rendah orang berteriak, “Air, air..., air datang!“ Kita selanjutnya menyaksikan ribuan mayat bergelimpangan, berbagai