Langsung ke konten utama

Pemimpin sebagai Pelayan

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.
(TQS An Nisa: 58).
Di zaman khalifah Umar bin Khattab, pada tahun ke-17 Hijriyah pernah terjadi bencana kelaparan yang mengerikan. Penyebabnya, di seluruh semenanjung Arab (Hijaz) tidak turun hujan selama 9 bulan dan hujan abu dari gunung berapi. Tanah menjadi hitam gersang penuh abu dan mematikan segala tanaman di atasnya. Tahun tersebut dinamai “Tahun Abu” (Amar-Ramaadah). Hewan-hewan yang ada kurus kering, tetapi karena lapar mereka sembelih dengan rasa jijik saking begitu buruknya. Penduduk di pedalaman ramai-ramai mengungsi ke Madinah.
Umar sendiri ikut mengurus makanan penduduk Madinah dan para pengungsi. Ia turut mengolah roti dengan zaitun untuk dijadikan roti kuah. Suatu waktu, Umar disuguhi roti yang diremukkan dengan samin (lemak). Ia lantas memanggil seorang Badui dan roti itu dimakan bersama-sama. Setiap kali menyuap, orang badui tersebut mulutnya belepotan. “Tampaknya kamu tak pernah mengenyam lemak? ” tanya Umar. “Ya.” Orang badui itu mengaku tak pernah makan dengan samin atau minyak zaitun, dan ia juga tak melihat orang memakannya sejak sekian lama sampai saat itu. Mendengar pengakuan tersebut, sejak itu Umar bersumpah untuk tidak lagi makan daging atau samin sampai orang hidup seperti biasa. Ia tetap bertahan dengan sumpahnya, sampai dengan izin Allah musim paceklik berakhir. Ia melayani dan menyertai mereka semua untuk memberi ketenangan. Banyak orang mengatakan, andaikata paceklik tersebut berjalan lebih lama lagi, Umar-lah yang paling menderita dan mati dalam kesedihan memikirkan kaum Muslimin.

Empati

Umar bin Khattab adalah raksasa sejarah. Di masanya, dua kerajaan besar yang mewakili peradaban Barat dan Timur, dengan cepat berhasil ditaklukkan. Kisra Persia di Timur dan Imperium Rumawi di Barat. Michael H Hart mencantumkan Umar dalam Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah. Kekuasaannya meliputi 18 negara bila dikonversi dengan masa sekarang.
Kisah Umar sarat dengan pelajaran. Ditangannya, kekuasaan politik menjadi jaminan keselamatan bagi seluruh warganya. Sebagaimana kata Nabi, pemimpin suatu kaum adalah pelayan bagi kaumnya. Ia melayani, memberi solusi atas masalah yang dihadapi warganya. Pemimpin itu bukan bukan berada di singasana tertentu yang sulit ditemui kecuali dengam protokoler yang ribet. Ia hadir nyata, merasakan sendiri kesulitan yang dialami rakyatnya.
Selayaknya, Umar menjadi inspirasi bagi siapa saja yang (ingin) berkuasa. Saat ini, banyak resep tentang pembangunan yang terasa hambar. Semua terlihat bagus secara teoritis. Namun semuanya menjadi tidak otentik, karena tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan, atau cacat dalam pelaksanaan. Resep bagus itu hanya jargon kala berkuasa atau pemanis saat kampanye. Atau, kalaupun terlihat dekat dengan rakyat itu hanya terjadi pada periode akhir jabatan—dengan motif mendapat dukungan lagi. Motif ketulusan itu belum menjadi ruh aktivitas.
Kemauan untuk turun langsung dan keikut-sertaan Umar dalam kesulitan yang dialami warganya patut menjadi teladan bagi siapapun. Banyak orang yang merasa, dengan jabatan atau status sosial tertentu, merasa gengsi untuk turut serta secara langsung ke lapangan. Perilakunya elitis. Semua dianggap selesai dengan memberi perintah dan mendelegasikan kepada para bawahan, sedang ia mencukupkan diri berada di ‘singasana’nya. Hal ini tidak dikenal dalam Islam. Saat perang Khandaq, Rasulullah turut serta dalam penggalian parit. Tubuh dan janggutnya kotor penuh dengan debu dan tanah. Rasulullah juga merasakan lapar, bahkan melebihi sahabatnya. Beliau menahan lapar dengan mengganjalkan dua batu ke perutnya—sahabatnya masih satu batu.
Suatu ketika Gubernur Kufah mengunjungi Umar sewaktu ia sedang makan. Sang gubernur menyaksikan makanannya hanya terdiri dari roti gersh dan minyak zaitun. Ia berkata, “Amirul mukminin, terdapat cukup kekayaan di kerajaan Anda; mengapa Anda tidak makan roti dari gandum?” Dengan agak tersinggung dan nada murung, Khalifah bertanya, “Apakah Anda pikir setiap orang di kerajaanku yang begitu luas bisa mendapatkan gandum?” “Tidak,” Jawab gubernur. “Lalu, bagaimana aku dapat makan roti dari gandum? Kecuali bila itu bisa dengan mudah didapat oleh seluruh rakyatku,” tutur Umar.
Kesuksesan diraih Umar, karena ia menjalankan pada dirinya terlebih dulu, apa yang semestinya dilakukan oleh pemimpin. Hal tersebut menjadi kekuatan, jauh melampaui harta yang ia punyai—sejak masuk Islam menjadi khalifah ia malah berlaku zuhud (miskin). “Kampanye” dalam perspektif Umar, tak ada kaitannya dengan kemampuan finasial untuk dihambur-hamburkan, sebagaimana banyak dilakukan para presiden/caleg dalam pemilu. Ini juga tak ada hubungannya dengan paras fotogenic dalam banner yang banyak menghiasi sudut-sudut jalan.
Begitulah. Semoga teladan Umar menginspirasi para (calon) pemimpin itu. Mereka harus tahu detail masalah rakyatnya. Semoga tak ada pemimpin yang menjadi alien (terasing). Pembangunan itu tidak hanya menjadi awang-awang, yang hanya manis di buku-buku perencanaan. ***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Saat Bencana Tak Menyadarkan Kita

“Belumkah datang kepada mereka berita penting tentang orang-orang yang sebelum mereka, (yaitu) kaum Nuh, 'Aad, Tsamud, kaum Ibrahim, penduduk Madyan dan negeri-negeri yang telah musnah? Telah datang kepada mereka rasul-rasul dengan membawa keterangan yang nyata, maka Allah tidaklah sekali-kali menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (QS At Taubah: 70) Selayaknya, hari itu adalah waktu libur yang menyenangkan. Pesisir pantai Aceh punya pesona menarik sebagaimana pantai lainnya di pesisir Samudera Indonesia. Pagi yang cerah. Menawarkan selera untuk bercengkerama dengan keluarga, sembari menikmati indahnya panorama pantai. Namun, malang tak dapat ditolak untung tak dapat diraih. Semuanya berubah menjadi peristiwa yang memilukan. Tiba-tiba bumi berguncang dahsyat, gempa mengundang panik semuanya. Belum sirna rasa terkejut itu, riuh rendah orang berteriak, “Air, air..., air datang!“ Kita selanjutnya menyaksikan ribuan mayat bergelimpangan, berbagai

PETAKA KUASA DUSTA

”Jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu-bapak dan kaum kerabatmu...Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” (TQS An Nisaa: 135). Ini kisah menurut La Fontaine dalam Fables et Epitres. Dunia margasatwa diserang wabah penyakit. Diduga wabah itu merupakan azab Tuhan karena kejahatan penghuni dunia itu. Baginda Singa, tokoh nomor satu di kerajaan rimba, dengan memelas mengakui, ”Akulah penyebab segala bencana ini. Pekerjaanku memakan warga yang lemah seperti domba dan kambing.” Serigala membantah. ”Bukan demikian, Baginda tidak salah.” Yang dilakukan singa adalah implikasi dari kekuasaan. Memakan warga adalah bagian resiko yang harus diambil dari kebijakan yang dibuat pemimpin. Seorang demi seorang dari pembesar margasatwa bergilir mengakui kesalahannya. Pengadilan selalu memutuskan mereka tak bersalah

“Robohnya Masjid Kami” [Kritik Memakmurkan Masjid]

“Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allah dalam masjid-masjid-Nya, dan berusaha untuk merobohkannya? Mereka itu tidak sepatutnya masuk ke dalamnya (masjid Allah), kecuali dengan rasa takut (kepada Allah). Mereka di dunia mendapat kehinaan dan di akhirat mendapat siksa yang berat.” (TQS Al Baqarah: 114) Masjid itu dindingnya dari tanah liat. Tiangnya batang kurma, lantainya pasir, dan atapnya pelepah kurma. Maka, di suatu hari kaum Anshar mengumpulkan harta dan mendatangi Rasulullah saw.. "Wahai Rasulullah, bangunlah masjid dan hiasilah seindah-indahnya dengan harta yang kami bawa ini. Sampai kapan kita harus salat di bawah pelepah kurma?" Rasulullah menjawab, "Aku ingin seperti saudaraku Nabi Musa, masjidku cukup seperti arisy (gubuk tempat berteduh) Nabi Musa a.s.” Dijelaskan oleh Hasan r.a. menjelaskan bahwa ukuran arisy Nabi Musa a.s. adalah bila Rasulullah saw. mengangkat tangannya maka atapnya akan tersentuh Hadits ya