Dan katakanlah: Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.
(TQS At Taubah: 105).
Awal bulan ini (4/2/09), dibuka oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Festival Ekonomi Syariah (FES) dilaksanakan di Balai Sidang Jakarta. Mungkin tak banyak yang tahu dan menyadari bahwa kegiatan tersebut adalah fase baru dan capaian penting dalam sejarah penerapan syariah Islam di Indonesia. Sebelumnya pertengahan tahun 2008, UU Perbankan Syariah telah disahkan oleh DPR. Perbankan syariah telah mempunyai landasan kokoh dalam hukum positif di Indonesia.
Sistem ekonomi Islam telah diakui dan menjadi bagian yang berbeda dengan bank konvensional. Bahkan, saat peresmian Bank Syariah Bukopin(11/12/08), wakil presiden Jusuf Kalla menyatakan bahwa sistem perbankan syariah merupakan pilihan sistem ekonomi masa depan. Perbankan syariah mampu bertahan di tengah krisis ekonomi global karena berbasis ekonomi riil. Ia bisa menjadi solusi di tengah sistem konvensional yang kewalahan mengatasi greedy (ketamakan) dan fraud (manipulasi) para pelakunya.
Etos Amal
Perbankan syariah adalah contoh nyata tentang idealisme dan doktrin Islam yang diterjemahkan dengan manis dalam tataran praktis (amal). Menilik sejarah, capaian tersebut bukan diperoleh dengan mudah. Sebelumnya, mereka adalah kelompok yang suka dicemooh dan dianggap tak realistis saat menerapkan sistem ekonomi Islam. Banyak kelompok Islam yang sudah pasrah bahwa riba dalam sistem bank konvensional adalah realitas dunia modern yang tak terelakkan. Sampai-sampai, ada tokoh Islam yang membuat analogi bahwa bunga bank (interest) sebagai konsekuensi logis dari proses transaksi. Haramnya riba menjadi bagian hukum Islam yang nyaris menjadi kenangan sejarah. Tahun 1950-an, ungkap Umer Chapra (1999), keberadaan sistem ekonomi syariah baru ada dalam wacana-wacana (baca: mimpi) akademis.
Idealisme yang kemudian diikuti dengan kerja konkret, ternyata mengubah sejarah. Satu dasawarsa terakhir, bank-bank syariah menunjukkan perkembangan pesat. Saat ini di Bank Indonesia tercatat ada lima Bank Umum Syariah (BUS), 24 UUS (Unit Usaha Syariah) dan 114 BPRS. Sementara kekuatan jaringan kantor bank syariah mencapai 711 kantor dan 1.195 layanan syariah. Dengan kekuatan ini perbankan syariah berhasil membukukan 2,8 juta rekening nasabah. Dari sekadar arus pinggiran dalam aktivitas perbankan, bank syariah ternyata berubah menjadi alternatif bagi paradigma ekonomi yang berkeadilan. Jika dahulu bunga bank dinyatakan halal (ataupun makruf) karena alasan-alasan dharury, belakangan MUI dengan tegas menyatakan bahwa bunga bank itu haram.
Dari para pelaku ekonomi syariah itu, kita belajar banyak tentang kaidah amal. Banyak hal dalam kehidupan kita, yang sebenarnya kita sudah tahu solusinya. Kita fasih menyebut kekurangan yang terjadi di masyarakat dan bagaimana jalan keluarnya. Namun, banyak di antara kita yang hanya menjadi pengamat, komentator, atau penonton dari berbagai peristiwa. Tidak ada andil dan tindakan langsung dari kita untuk memulai langkah.
Para ”pengamat” sampai kapanpun tak akan pernah mengubah sejarah. Dalam kaitan ini, secara khusus Allah juga memberi teguran. ”Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?” (TQS As Shaff: 2). Ibnu Katsir dalam tafsirnya menuturkan bahwa ayat ini berkaitan dengan kecaman Allah terhadap orang-orang yang mengharap diizinkan berperang, tetapi ketika sampai waktunya mereka tidak melaksanakannya. Dalam pikiran sahabat kala itu, strategi terbaik untuk mempertahankan diri adalah berperang. Sebagian mereka dicela, karena apa yang mereka idealkan dan katakan, tidak mereka laksanakan.
Kepeloporan
Pelajaran tentang pentingnya beramal ini kita juga peroleh dari para sahabat. Abu Umayyah as-Sya'bani bertanya kepada Abu Tsa'labah al-Khasyani tentang ayat, ”Jagalah dirimu; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk. Hanya kepada Allah kamu kembali semuanya...” (TQS Al Maidah: 105).
Abu Tsa'labah menjawab, ”Demi Allah engkau telah menanyakan hal ini kepada orang yang pernah diberitahu mengenai perkara ini.” Ia pernah bertanya kepada Rasulullah saw, dan beliau menjawab, ”Lakukan amar makruf, dan cegahlah kemungkaran, sehingga apabila engkau melihat kekikiran yang dipatuhi, hawa nafsu yang dituruti. dan dunia yang diutamakan, dan setiap orang membanggakan pemikirannya, maka hendaklah engkau menjaga dirimu sendiri, dan tinggalkan orang awam, karena sesungguhnya di belakangmu masih ada hari-hari yang panjang. Kesabaran untuk menghadapi hal itu seperti orang-orang yang menggenggam bara api. Bagi orang yang melakukan amal kebaikan pada masa seperti ini akan mendapatkan pahala lima puluh orang yang mengerjakan perbuatan seperti itu.” Sahabat bertanya, 'Wahai Rasulullah, pahala lima puluh orang daripada kami atau mereka?' Rasulullah menjawab, 'Pahala lima puluh orang dari kalian.” (HR Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibn Majah)
Begitulah, orang yang beramal (amar makruf) yang dimaksudkan oleh hadits tersebut bukanlah orang-orang yang terdahulu masuk Islam (Muhajirin atau Anshar), tetapi orang di zaman ini. Orang yang beramal di zaman fitnah, akan diberi Allah pahala yang berlipat ganda, atau lima puluh kali lipat pahala pada zaman kemenangan dan kejayaan.
Saat ini, umat Islam masih dalam kondisi ”bagai buih di lautan” atau ”bagaikan hidangan yang diperebutkan,” sebagaimana tersebut dalam hadits. ”Apakah karena jumlah mereka yang ketika itu sedikit ya Rasulullah? “Tidak” jawab Rasulullah. Anda pasti punya komentar dan jawaban yang tepat tentang hadist tersebut. Bagaimana kondisi buruk itu menimpa umat Islam dan seperti apa solusinya.
Masalahnya bukan ada pada benar-salah jawaban kita. Tapi ketika jawaban itu hanya menjadi suara gaduh di meja diskusi. Tidak ada amalan nyata. ”Umat harus bersatu, berjamaah, ”jawab kita. Namun, ternyata sekadar salat berjamaah di masjid—sebagai ’latihan’ berjamaah--, amat jarang kita lakukan.
Kita perlu banyak belajar pada pegiat ekonomi syariah tersebut di atas ***
Islam membenarkan pengembangan uang dengan jalan perdagangan. Seperti firman Allah: "Hai orang-orang yang beriman! Jangan kamu makan harta kamu di antara kamu dengan cara yang batil, kecuali dengan jalan perdagangan dengan adanya saling kerelaan dari antara kamu." (TQS An Nisa': 29)
Islam sangat memuji orang yang berjalan di permukaan bumi untuk berdagang, sebagaimana firman Allah: "Sedang yang lain berjalan di permukaan bumi untuk mencari anugerah Allah." (TQS Al Muzammil: 20)
Akan tetapi Islam menutup pintu bagi siapa yang berusaha akan mengembangkan uangnya itu dengan jalan riba. Maka diharamkannyalah riba itu sedikit maupun banyak, dan mencela orang-orang Yahudi yang menjalankan riba padahal mereka telah dilarangnya.
Di antara ayat-ayat yang paling akhir diturunkan ialah firman Allah dalam surah Al Baqarah:278 -279:
"Hai orang-orang yang beriman! Takutlah kepada Allah, dan tinggalkanlah apa yang tertinggal daripada riba jika kamu benar-benar beriman. Apabila kamu tidak mau berbuat demikian, maka terimalah peperangan dari Allah dan Rasul-Nya, dan jika kamu sudah bertobat, maka bagi kamu adalah pokok-pokok hartamu, kamu tidak boleh berbuat zalim juga tidak mau dizalimi."
Allah telah memproklamirkan perang untuk memberantas riba dan orang-orang yang meribakan harta serta menerangkan betapa bahayanya dalam masyarakat, sebagaimana yang diterangkan oleh Nabi:
"Apabila riba dan zina sudah merata di suatu daerah, maka mereka telah menghalalkan dirinya untuk mendapat siksaan Allah." (HR Hakim; dan yang seperti itu diriwayatkan juga oleh Abu Ya'la dengan sanad yang baik)
Dalam hal ini Islam bukan membuat cara baru dalam agama-agama samawi lainnya. Dalam agama Yahudi, di Perjanjian Lama terdapat ayat yang berbunyi: "Jikalau kamu memberi pinjam uang kepada ummatku, yaitu baginya sebagai penagih hutang yang keras dan jangan ambil bunga daripadanya." (Keluaran 22:25).
Dalam agama Kristen pun terdapat demikian. Misalnya dalam Injil Lukas dikatakan: "Tetapi hendaklah kamu mengasihi seterumu dan berbuat baik dan memberi pinjam dengan tiada berharap akan menerima balik, maka berpahala besarlah kamu..." (Lukas 6: 35).
Sayang sekali tangan-tangan usil telah sampai pada Perjanjian Lama, sehingga mereka menjadikan kata saudaramu dikhususkan buat orang-orang Yahudi, sebagaimana diperjelas dalam fasal Ulangan 23:20 "Maka daripada orang lain bangsa boleh kamu mengambil bunga, tetapi daripada saudaramu tak boleh kamu mengambil dia ..." ***
(dari Halal Haram dalam Islam, Syaikh Yusuf Qardhawi)
Sistem ekonomi Islam telah diakui dan menjadi bagian yang berbeda dengan bank konvensional. Bahkan, saat peresmian Bank Syariah Bukopin(11/12/08), wakil presiden Jusuf Kalla menyatakan bahwa sistem perbankan syariah merupakan pilihan sistem ekonomi masa depan. Perbankan syariah mampu bertahan di tengah krisis ekonomi global karena berbasis ekonomi riil. Ia bisa menjadi solusi di tengah sistem konvensional yang kewalahan mengatasi greedy (ketamakan) dan fraud (manipulasi) para pelakunya.
Etos Amal
Perbankan syariah adalah contoh nyata tentang idealisme dan doktrin Islam yang diterjemahkan dengan manis dalam tataran praktis (amal). Menilik sejarah, capaian tersebut bukan diperoleh dengan mudah. Sebelumnya, mereka adalah kelompok yang suka dicemooh dan dianggap tak realistis saat menerapkan sistem ekonomi Islam. Banyak kelompok Islam yang sudah pasrah bahwa riba dalam sistem bank konvensional adalah realitas dunia modern yang tak terelakkan. Sampai-sampai, ada tokoh Islam yang membuat analogi bahwa bunga bank (interest) sebagai konsekuensi logis dari proses transaksi. Haramnya riba menjadi bagian hukum Islam yang nyaris menjadi kenangan sejarah. Tahun 1950-an, ungkap Umer Chapra (1999), keberadaan sistem ekonomi syariah baru ada dalam wacana-wacana (baca: mimpi) akademis.
Idealisme yang kemudian diikuti dengan kerja konkret, ternyata mengubah sejarah. Satu dasawarsa terakhir, bank-bank syariah menunjukkan perkembangan pesat. Saat ini di Bank Indonesia tercatat ada lima Bank Umum Syariah (BUS), 24 UUS (Unit Usaha Syariah) dan 114 BPRS. Sementara kekuatan jaringan kantor bank syariah mencapai 711 kantor dan 1.195 layanan syariah. Dengan kekuatan ini perbankan syariah berhasil membukukan 2,8 juta rekening nasabah. Dari sekadar arus pinggiran dalam aktivitas perbankan, bank syariah ternyata berubah menjadi alternatif bagi paradigma ekonomi yang berkeadilan. Jika dahulu bunga bank dinyatakan halal (ataupun makruf) karena alasan-alasan dharury, belakangan MUI dengan tegas menyatakan bahwa bunga bank itu haram.
Dari para pelaku ekonomi syariah itu, kita belajar banyak tentang kaidah amal. Banyak hal dalam kehidupan kita, yang sebenarnya kita sudah tahu solusinya. Kita fasih menyebut kekurangan yang terjadi di masyarakat dan bagaimana jalan keluarnya. Namun, banyak di antara kita yang hanya menjadi pengamat, komentator, atau penonton dari berbagai peristiwa. Tidak ada andil dan tindakan langsung dari kita untuk memulai langkah.
Para ”pengamat” sampai kapanpun tak akan pernah mengubah sejarah. Dalam kaitan ini, secara khusus Allah juga memberi teguran. ”Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?” (TQS As Shaff: 2). Ibnu Katsir dalam tafsirnya menuturkan bahwa ayat ini berkaitan dengan kecaman Allah terhadap orang-orang yang mengharap diizinkan berperang, tetapi ketika sampai waktunya mereka tidak melaksanakannya. Dalam pikiran sahabat kala itu, strategi terbaik untuk mempertahankan diri adalah berperang. Sebagian mereka dicela, karena apa yang mereka idealkan dan katakan, tidak mereka laksanakan.
Kepeloporan
Pelajaran tentang pentingnya beramal ini kita juga peroleh dari para sahabat. Abu Umayyah as-Sya'bani bertanya kepada Abu Tsa'labah al-Khasyani tentang ayat, ”Jagalah dirimu; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk. Hanya kepada Allah kamu kembali semuanya...” (TQS Al Maidah: 105).
Abu Tsa'labah menjawab, ”Demi Allah engkau telah menanyakan hal ini kepada orang yang pernah diberitahu mengenai perkara ini.” Ia pernah bertanya kepada Rasulullah saw, dan beliau menjawab, ”Lakukan amar makruf, dan cegahlah kemungkaran, sehingga apabila engkau melihat kekikiran yang dipatuhi, hawa nafsu yang dituruti. dan dunia yang diutamakan, dan setiap orang membanggakan pemikirannya, maka hendaklah engkau menjaga dirimu sendiri, dan tinggalkan orang awam, karena sesungguhnya di belakangmu masih ada hari-hari yang panjang. Kesabaran untuk menghadapi hal itu seperti orang-orang yang menggenggam bara api. Bagi orang yang melakukan amal kebaikan pada masa seperti ini akan mendapatkan pahala lima puluh orang yang mengerjakan perbuatan seperti itu.” Sahabat bertanya, 'Wahai Rasulullah, pahala lima puluh orang daripada kami atau mereka?' Rasulullah menjawab, 'Pahala lima puluh orang dari kalian.” (HR Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibn Majah)
Begitulah, orang yang beramal (amar makruf) yang dimaksudkan oleh hadits tersebut bukanlah orang-orang yang terdahulu masuk Islam (Muhajirin atau Anshar), tetapi orang di zaman ini. Orang yang beramal di zaman fitnah, akan diberi Allah pahala yang berlipat ganda, atau lima puluh kali lipat pahala pada zaman kemenangan dan kejayaan.
Saat ini, umat Islam masih dalam kondisi ”bagai buih di lautan” atau ”bagaikan hidangan yang diperebutkan,” sebagaimana tersebut dalam hadits. ”Apakah karena jumlah mereka yang ketika itu sedikit ya Rasulullah? “Tidak” jawab Rasulullah. Anda pasti punya komentar dan jawaban yang tepat tentang hadist tersebut. Bagaimana kondisi buruk itu menimpa umat Islam dan seperti apa solusinya.
Masalahnya bukan ada pada benar-salah jawaban kita. Tapi ketika jawaban itu hanya menjadi suara gaduh di meja diskusi. Tidak ada amalan nyata. ”Umat harus bersatu, berjamaah, ”jawab kita. Namun, ternyata sekadar salat berjamaah di masjid—sebagai ’latihan’ berjamaah--, amat jarang kita lakukan.
Kita perlu banyak belajar pada pegiat ekonomi syariah tersebut di atas ***
HARAMNYA RIBA
Islam membenarkan pengembangan uang dengan jalan perdagangan. Seperti firman Allah: "Hai orang-orang yang beriman! Jangan kamu makan harta kamu di antara kamu dengan cara yang batil, kecuali dengan jalan perdagangan dengan adanya saling kerelaan dari antara kamu." (TQS An Nisa': 29)
Islam sangat memuji orang yang berjalan di permukaan bumi untuk berdagang, sebagaimana firman Allah: "Sedang yang lain berjalan di permukaan bumi untuk mencari anugerah Allah." (TQS Al Muzammil: 20)
Akan tetapi Islam menutup pintu bagi siapa yang berusaha akan mengembangkan uangnya itu dengan jalan riba. Maka diharamkannyalah riba itu sedikit maupun banyak, dan mencela orang-orang Yahudi yang menjalankan riba padahal mereka telah dilarangnya.
Di antara ayat-ayat yang paling akhir diturunkan ialah firman Allah dalam surah Al Baqarah:278 -279:
"Hai orang-orang yang beriman! Takutlah kepada Allah, dan tinggalkanlah apa yang tertinggal daripada riba jika kamu benar-benar beriman. Apabila kamu tidak mau berbuat demikian, maka terimalah peperangan dari Allah dan Rasul-Nya, dan jika kamu sudah bertobat, maka bagi kamu adalah pokok-pokok hartamu, kamu tidak boleh berbuat zalim juga tidak mau dizalimi."
Allah telah memproklamirkan perang untuk memberantas riba dan orang-orang yang meribakan harta serta menerangkan betapa bahayanya dalam masyarakat, sebagaimana yang diterangkan oleh Nabi:
"Apabila riba dan zina sudah merata di suatu daerah, maka mereka telah menghalalkan dirinya untuk mendapat siksaan Allah." (HR Hakim; dan yang seperti itu diriwayatkan juga oleh Abu Ya'la dengan sanad yang baik)
Dalam hal ini Islam bukan membuat cara baru dalam agama-agama samawi lainnya. Dalam agama Yahudi, di Perjanjian Lama terdapat ayat yang berbunyi: "Jikalau kamu memberi pinjam uang kepada ummatku, yaitu baginya sebagai penagih hutang yang keras dan jangan ambil bunga daripadanya." (Keluaran 22:25).
Dalam agama Kristen pun terdapat demikian. Misalnya dalam Injil Lukas dikatakan: "Tetapi hendaklah kamu mengasihi seterumu dan berbuat baik dan memberi pinjam dengan tiada berharap akan menerima balik, maka berpahala besarlah kamu..." (Lukas 6: 35).
Sayang sekali tangan-tangan usil telah sampai pada Perjanjian Lama, sehingga mereka menjadikan kata saudaramu dikhususkan buat orang-orang Yahudi, sebagaimana diperjelas dalam fasal Ulangan 23:20 "Maka daripada orang lain bangsa boleh kamu mengambil bunga, tetapi daripada saudaramu tak boleh kamu mengambil dia ..." ***
(dari Halal Haram dalam Islam, Syaikh Yusuf Qardhawi)
Komentar