“Barangsiapa yang mengerjakan amal salih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.”
(TQS An Nahl: 97).
Karena malu, awalnya Ummu Sulaim, istri Abu Thalhah, ragu menanyakan. Tapi keingintahuan yang begitu besar mengalahkan rasa malunya. Didatanginya Rasulullah. “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu terhadap kebenaran. Apakah wanita wajib mandi apabila mimpi (bersetubuh)?” Jawab Nabi saw., “Ya, apabila wanita itu melihat air (mani).” Lalu Ummu Sulaim menutup wajahnya. Rasa malu itu seperti kembali menguasai dirinya. Melihat kejadian tersebut Ummu Salamah tertawa. “Wahai Rasulullah, apakah wanita itu mimpi (bersetubuh)?” tanya Ummu Salamah. Rasulullah, dengan nada agak bercanda, menjawab “Ya, berdebulah tanganmu (=sial nian kamu), dengan apakah anaknya dapat menyerupainya?" (Maksud Rasulullah, proses pembuahan sampai terjadinya janin itu adalah proses bertemunya mani lelaki [sperma] dengan mani wanita [sel telur]. Hal tersebut merupakan proses penting yang membuat anak mirip dengan kedua orangtuanya.)
Kisah yang kita dapati dari Shahih Bukhari itu hanyalah sekeping kisah dari keseharian penduduk Madinah. Pertanyaan Ummu Sulaim, hanyalah satu dari sekian banyak pertanyaan yang sering disampaikan oleh para wanita Madinah. Namun dari dialog tersebut tercermin betapa budaya ilmiah begitu kental terasa. Para sahabiyah (sahabat Nabi yang wanita) begitu haus akan ilmu. Mereka tak segan bertanya segala hal kepada Rasulullah untuk menambah kepahaman. Meski untuk sesuatu yang terkesan tabu. Hal ini membuat Aisyah radhiyallahu anha menyampaikan apresiasi secara khusus. "Sebaik-baik kaum wanita adalah kaum wanita Anshar. Mereka tidak dihalang-halangi rasa malu untuk mempelajari pengetahuan yang mendalam tentang agama."
Kesejajaran
Alangkah indahnya sosiografi Madinah. Yang berdenyut dalam harmoni ilmu dan kebajikan. Ada nuansa untuk terus berlomba. Sampai kecemburuan yang muncul karenanya. Seperti yang dirasakan oleh Asma binti Yazid As Sakan. Ia merasakan kegundahan saat membandingkan dirinya sebagai perempuan dengan para lelaki. Dalam berbagai moment, lelaki lebih sering disebut dengan mendapat berbagai keutamaan. Pada saat yang sama, tidak disebut keutamaan untuk wanita. Kegundahan itu ternyata dirasakan juga oleh para perempuan yang lain. Mereka pun berbagi kerisauan itu. Setelah berembug, mereka menyepakati agar Asma untuk pergi menemui Rasulullah saw..
“Sesungguhnya saya utusan dari sekelompok wanita muslimah di belakangku, mereka semuanya berkata dan sependapat dengan perkataanku. Sesungguhnya Allah mengutusmu kepada kaum pria dan wanita, maka kami beriman mengikutimu. Dan kami kaum wanita (punya) (ke)terbatas(an), banyak halangan, dan penjaga rumah. Sementara kaum pria diutamakan dengan salat jamaah, mengantar jenazah, dan jihad. Ketika mereka keluar berjihad, kami (hanya) menjaga harta mereka dan mendidik anak mereka. Apakah kami sama dengan mereka dalam mendapatkan pahala wahai Rasulullah?” tanya Asma.
Maka Rasululah saw serta merta berpaling ke arah sahabat dan melontarkan pujian, “Tidakkah kalian mendengar ungkapan seorang wanita yang lebih baik pertanyaannya tentang agama dari wanita ini?” Para sahabat pun mengiyakan.
Rasulullah kemudian bersabda, “Pergilah kembali wahai Asma dan beritahukanlah kepada para wanita di belakangmu, bahwa kebaikan (ketaatan) salah seorang dari kalian kepada suaminya, mencari keridhaannya, dan mengikuti apa yang dia sukai, menyamai pahalanya dengan semua yang engkau sebutkan.” (HR Bukhari dan Muslim).
Dari dialog Asma dengan Rasulullah, ada sebuah prinsip mendasar sekaligus jawaban, yang menjadi sangat luar biasa untuk ditimbang dalam keseharian kita, saat-saat ini. Yaitu bahwa para perempuan itu tidak mengadukan “kelemahan” mereka kepada Rasulullah dalam perspektif diskriminatif. Dengan kata lain, mereka para wanita itu, tidak sedang mengadu tentang rasa rendah diri (“inferioritas”) mereka dibanding laki-laki. Tetapi, mereka mengadukan “kelemahan” itu dalam perspektif produktivitas kebaikan. Bahwa mereka merasakan, betapa kaum lelaki mempunyai banyak peluang memperoleh pahala besar, sedang mereka (merasa) tidak.
Dengan perangai serta mentalitas luhur seperti itu, para wanita Madinah itu sesungguhnya telah merubah dirinya menjadi sejajar dengan lelaki—sebagaimana pujian dan jawaban Rasulullah kepada Asma. Kesejajaran itu bukan dilihat dari sisi amaliyah (aplikasi teknis) tetapi dari sisi maknawiyah (substansi, filosofi).
Maka, dialog itu juga sebentuk fragmen “kecemburuan” orang-orang mukmin(ah) terhadap orang-orang mukmin yang lain. Sebuah kecemburuan yang sah menurut Islam. Kecemburuan dalam berlomba melakukan kebaikan (fastabiqul khairat). Sekaligus, sebuah kecemburuan yang memberi tafsir baru tentang kesejajaran. Ya. Tetap saja ada perbedaan itu. Pria memang terlahir berbeda dengan wanita. Tetapi mereka sama-sama mengerti tentang peran dan fungsinya. Mereka mengerti kewajiban asasi masing-masing.
Dari sebuah kisah yang sarat makna, dialog Asma-Rasulullah sesungguhnya juga memberi jawaban yang sederhana. Ya. Hari ini kita seperti menghadapi permasalahan pelik tentang upaya menyejajarkan lelaki-perempuan. Betapa debat hukum dalam forum-forum diskusi, berbagai tulisan buku, serta aksi-aksi massa telah banyak dilakukan tanpa memberi hasil yang memuaskan. Polemik antara posisi wanita antara di ranah publik (masyarakat luat) dan ranah domestik (rumah tangga) seolah tidak kunjung habis. Tak urung, ketika masalah itu tampak runyam, hukum agama dipandang sebagai biang keladi persoalan. Lahirlah kelompok-kelompok yang memperjuangkan kesetaraan gender dalam bingkai sekuler/menafikan agama. Alih-alih berhasil, perjuangan kesetaraan (dengan menafikan agama) itu malah menimbulkan kemudharatan lain yang lebih besar.
Seperti itulah yang terjadi pada “euforia emansipasi” yang kita dapati pada moment peringatan hari Kartini. Para perempuan serentak berkebaya—yang makin sulit kita pahami apa maknanya kecuali seremonial belaka. Berbagai profesi wanita dipuji berlebihan karena menggantikan posisi lelaki.
Semua itu sesungguhnya punya jawaban sederhana, pada bingkai (paradigma) keimanan itu. Kemuliaan dan kesejajaran itu terukur dari amal kebajikan yang kita lakukan dalam rangka beribadah kepada Allah.
Sejarawan Ahmad Mansur Suryanegara, berdasarkan kajiannya memberikan simpulan bahwa Kartini, sosok yang ditahbiskan sebagai pejuang emansipasi itu, punya apresiasi yang tinggi terhadap Islam. Kartini hanya memperoleh beberapa bagian saja dari terjemah Al Qur’an, yang memang masih susah didapat kala itu. Namun hal itu telah mengilhaminya untuk membuat tulisan fenomenal. Buku kumpulan suratnya, Habis Gelap Terbitlah Terang, sesungguhnya diilhami dari QS Al Baqarah: 257; “Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman).”
Andai saja Kartini punya kesempatan khatam meng(k)aji Al Qur’an, tentu ia akan lebih agamis. Dengan kata lain, sosok Kartini modern mestilah mereka yang faham Islam, bertutur santun seraya berjilbab dengan anggun. Bukan yang berpakaian seksi itu atau sekadar berkebaya sekali setahun itu.
Kerangka keimanan itu akan mewujudkan kesetaraan itu dalam posisinya yang adil dan proporsional. Bahkan saat perkembangan waktu atau budaya menuntut penilaian berbeda atas sebuah aktivitas, tetap akan melahirkan penilaian positif. Seperti Asma binti Yazid As Sakan,yang tetap dipandang mulia, saat di kemudian hari ia tercatat sebagai sosok wanita yang turut serta ke medan perang mengangkat senjata. Seperti itu pula selayaknya penilaian kita terhadap kiprah para muslimah di ruang publik (masyarakat), yang nampak musykil kita tolak—walau tidak ada di jaman Rasulullah. Tidak ada yang tercela, sejauh bingkai keimanan itu selalu terjaga.
Semua itu sesungguhnya punya jawaban sederhana, pada bingkai (paradigma) keimanan itu. Kemuliaan dan kesejajaran itu terukur dari amal kebajikan yang kita lakukan dalam rangka beribadah kepada Allah. ***
Komentar