”Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya... ”
(QS Al Baqarah: 25)
Nabi yang mulia memalingkan muka ke arah sahabatnya, wajahnya nampak begitu berseri. Seraya tertawa gembira ia berkata, ”Bergembiralah kalian, karena akan datang kemudahan bagi kalian, kesulitan tidak akan mengalahkan dua kemudahan.” (HR Ibnu Jarir).
Kegembiraan punya tempat istimewa dalam Islam, agama yang tak pernah melewatkan segala jenis urusan. Tidak ada urusan kecil atau besar kecuali Islam menjelaskan bagaimana kita menyikapinya. Kadang secara umum, kadang secara detail. Kegembiraan sesungguhnya tak sekedar layaknya garam bagi sayuran. Atau gula bagi minuman. Ia bahkan menjadi salah satu pilar risalah kenabian. Sebab Rasul diutus untuk menyampaikan kabar gembira, selain untuk memberikan peringatan akan azab dari Allah swt. ”Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.” (QS Saba’: 28.)
”Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya... ”(QS Al Baqarah: 25).
Ayat-ayat serupa banyak terdapat di dalam Al Qur’an. Ini menegaskan kepada kita, bahwa betapa rasa gembira selayaknya meliputi diri orang-orang mukmin. Ada saat dimana kesulitan itu mendera kita. Namun, kondisi tersebut tidak boleh membuat kita putus asa akan datangnya kemudahan.
Hadist yang diriwayatkan Ibnu Jarir di awal, terjadi saat Rasulullah saw. usai menerima wahyu, Surat Alam Nasyrah. Allah telah menjanjikan kepada kita bahwa bersama kesulitan ada kemudahan.
”Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan (QS Alam Nasyrah: 5-6)
Pengulangan itu menandakan, bahwa kesulitan tidak akan berdaya melawan dua kemudahan. Itu juga berarti bahwa setiap satu kesulitan pasti bersamanya ada dua kemudahan yang lain (Tafsir Ibnu Katsir).
Gembira sebagai Benteng Pertahanan
Di setiap situasi yang paling sulit, selalu ada celah untuk bergembira. Begitulah sesungguhnya Islam mengajarkan kepada kita. Bahkan celah itu harus senantiasa kita adakan. Ia semacam benteng pertahanan yang harus kita buat. Kita mengerti bahwa hidup tak sekedar persaingan, tetapi juga kerja keras dan pergulatan melawan kondisi yang sering tak ramah kepada kita. Hal itu melelahkan. Kadang ia seperti menghabisi jerih payah kita, menguras kesabaran kita dan melumat sisa-sisa tenaga kita.
Tetapi, itu semua tidak boleh memberangus ruang kegembiraan di hati kita. Ruang itu harus tetap ada dan terus dijaga. Ia laksana kantong air bagi para musafir yang melakukan perjalanan jauh di gurun pasir yang gersang Meski kala tertentu, dipuncak keguncangan kita, suatu hari, dulu atau nanti, dalam perjalanan hidup yang melelahkan ini, kantong itu terkoyak. Tapi isinya tidak boleh habis.
Hilangnya kantong kegembiraan bisa sama artinya dengan kebinasaan. Ini seperti kisah Sugeng Triono, seorang perwira Polres Jombang. Selayaknya, ia seorang yang dapat terus berbahagia. Selain perwira polisi, ia dikarunia seorang isteri yang juga bekerja di sebuah bank ternama. Kehadiran dua anak dari pernikahannya Dicho Pradita (10 th.) dan Dita Pramesti (5 th.) selayaknya juga melengkapi keceriaannya. Namun, saat penyakit wasir/ambeien menghinggapinya, kegembiraannya seolah terampas. Permasalahan kecil di kantornya membuat dirinya membuat keputusan tragis. Ia menembak rekan kerjanya dengan pistol, kemudian ia mengakhiri hidupnya dengan menembakkan pistol tersebut ke kepalanya sendiri. Sugeng Triono seperti mewakili kisah lain yang sama, tentang hilangnya gembira yang berujung dengan keputusan nista.
Jadi, seorang Muslim harus mengerti bagaimana seni menyemangati dirinya sendiri. Kegembiraan mempunyai peran dan kapasitasnya sendiri untuk mengubah pandangan kita tentang hidup, memperbaiki semangat dan pengharapan kita. Dan pada gilirannya, memberi kekuatan kelapangan dalam memikul beban.
Salah satu doa yang sering dibaca Rasulullah dan diajarkan kepada kita adalah meminta perlindungan dari rasa gundah dan kesedihan. ”Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari kecemasan dan kesedihan, dari rasa lemah dan kemalasan, dari kebakhilan dan sifat pengecut, dan dari beban hutang dan tekanan orang jahat.” Untaian doa tersebut memiliki makna mendalam tentang harapan ketenangan dan rasa gembira yang selayaknya meliputi diri kita.
Kisah perang Khandaq mengambarkan beban kesulitan dan bagaimana Rasullah mengatasinya. Tidak ada ide terbaik untuk melawan kafir sekutu Quraisy kecuali membuat parit pertahanan, sesuai usul Salman Al Farisi. Maka digalilah parit secara bersama-sama. Buku-buku sirah mencatat bagaimana kerja keras kaum Muslimin tersebut dilakukan dengan riang gembira. Rasulullah menyuruh beberapa sahabat untuk bersyair, sedang beliau sendiri juga menyenandungkan syair-syair dari Abdullah bin Rawahah. Maka kesulitan yang awalnya dialami, berubah menjadi kebersamaan yang penuh keriangan, hingga Allah memberi kemenangan tentara Muslimin.
Senyum dan Tawa yang Menentramkan
Bahasa paling verbal dari gembira adalah tertawa. Begitu juga sebaliknya, makna paling orisinil dari dari senyum dan tertawa adalah gembira. Rasulullah sendiri sangat bisa dikenali bila sedang gembira. Air mukanya bercahaya. ”Seperti sepotong rembulan, dan kami sangat mengenalinya,” kata Kaab bin Malik.
Penegasan rasa gembira dalam bentuk tertawa dan senyum banyak kita jumpai dalam banyak kisah teladan dari Rasulullah dan sahabatnya. Di sini kegembiraan berwujud dan bentuk mulianya. Rasululllah kadang tertawa, banyak tersenyum. Meski tidak pernah tertawa terbahak-bahak.
Di sini, tentu kita tertawa dalam konteks yang penuh harga diri. Ini bukan ulasan murahan tentang perilaku murahan orang-orang yang hidup hanya untuk tertawa. Tetapi tertawa sebagai ekspresi kematangan jiwa, kebijaksanaan, juga kelembutan dan kasih sayang seorang pemimpin.
Suatu hari, seperti dikisahkan Jabir ra, seorang laki-laki datang menemui Rasulullah. ”Wahai Rasulullah, semalam aku bermimpi, seakan-akan kepalaku terputus,” kata lelaki itu. Rasulpun tertawa mendengar kisah itu. Lalu bersabda, ”Jika salah seorang dari kalian dipermainkan syetan dalam tidurnya, maka jangan diberitahukan kepada yang lain.” Tertawa bagi Rasul, menjadi cara yang bijak untuk memberikan penjelasan kepada sahabatnya, dengan tidak menyinggungnya.
Jabir ra. juga mencatat kenangan yang sangat membekas dalam batinnya, tentang Rasulullah yang murah senyum datang. Ia menemui Rasulullah, hanya ingin mengadukan betapa sulit dirinya tegak di atas punggung kuda. Rasulullah dengan senang hati menerimanya, lalu menepuk dadanya seraya berdoa,”Ya Allah tegakkanlah ia, jadikanlah ia orang yang mendapat petunjuk dan memberi petunjuk.” Ke hadapan Rasul yang mulia itu, selalu saja ada yang datang dengan tingkah kekanakan. Sebab di wajahnya yang terang ada tempat berteduh.
Selayaknya, senyum dan tawa kita juga menenteramkan orang lain. Karena sepotong senyum dan gembira bisa bermakna ketenangan dan keamanan orang lain untuk berlindung. ”Senyum adalah sedekah yang paling mudah,” demikian Rasulullah menerangkan. ***
[Tulisan ini merupakan arsip dari tulisan yang telah dipublikasikan di Buletin Sajada, Lembaga Amil Zakat Lampung Peduli, sejak 2005]
(QS Al Baqarah: 25)
Nabi yang mulia memalingkan muka ke arah sahabatnya, wajahnya nampak begitu berseri. Seraya tertawa gembira ia berkata, ”Bergembiralah kalian, karena akan datang kemudahan bagi kalian, kesulitan tidak akan mengalahkan dua kemudahan.” (HR Ibnu Jarir).
Kegembiraan punya tempat istimewa dalam Islam, agama yang tak pernah melewatkan segala jenis urusan. Tidak ada urusan kecil atau besar kecuali Islam menjelaskan bagaimana kita menyikapinya. Kadang secara umum, kadang secara detail. Kegembiraan sesungguhnya tak sekedar layaknya garam bagi sayuran. Atau gula bagi minuman. Ia bahkan menjadi salah satu pilar risalah kenabian. Sebab Rasul diutus untuk menyampaikan kabar gembira, selain untuk memberikan peringatan akan azab dari Allah swt. ”Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.” (QS Saba’: 28.)
”Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya... ”(QS Al Baqarah: 25).
Ayat-ayat serupa banyak terdapat di dalam Al Qur’an. Ini menegaskan kepada kita, bahwa betapa rasa gembira selayaknya meliputi diri orang-orang mukmin. Ada saat dimana kesulitan itu mendera kita. Namun, kondisi tersebut tidak boleh membuat kita putus asa akan datangnya kemudahan.
Hadist yang diriwayatkan Ibnu Jarir di awal, terjadi saat Rasulullah saw. usai menerima wahyu, Surat Alam Nasyrah. Allah telah menjanjikan kepada kita bahwa bersama kesulitan ada kemudahan.
”Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan (QS Alam Nasyrah: 5-6)
Pengulangan itu menandakan, bahwa kesulitan tidak akan berdaya melawan dua kemudahan. Itu juga berarti bahwa setiap satu kesulitan pasti bersamanya ada dua kemudahan yang lain (Tafsir Ibnu Katsir).
Gembira sebagai Benteng Pertahanan
Di setiap situasi yang paling sulit, selalu ada celah untuk bergembira. Begitulah sesungguhnya Islam mengajarkan kepada kita. Bahkan celah itu harus senantiasa kita adakan. Ia semacam benteng pertahanan yang harus kita buat. Kita mengerti bahwa hidup tak sekedar persaingan, tetapi juga kerja keras dan pergulatan melawan kondisi yang sering tak ramah kepada kita. Hal itu melelahkan. Kadang ia seperti menghabisi jerih payah kita, menguras kesabaran kita dan melumat sisa-sisa tenaga kita.
Tetapi, itu semua tidak boleh memberangus ruang kegembiraan di hati kita. Ruang itu harus tetap ada dan terus dijaga. Ia laksana kantong air bagi para musafir yang melakukan perjalanan jauh di gurun pasir yang gersang Meski kala tertentu, dipuncak keguncangan kita, suatu hari, dulu atau nanti, dalam perjalanan hidup yang melelahkan ini, kantong itu terkoyak. Tapi isinya tidak boleh habis.
Hilangnya kantong kegembiraan bisa sama artinya dengan kebinasaan. Ini seperti kisah Sugeng Triono, seorang perwira Polres Jombang. Selayaknya, ia seorang yang dapat terus berbahagia. Selain perwira polisi, ia dikarunia seorang isteri yang juga bekerja di sebuah bank ternama. Kehadiran dua anak dari pernikahannya Dicho Pradita (10 th.) dan Dita Pramesti (5 th.) selayaknya juga melengkapi keceriaannya. Namun, saat penyakit wasir/ambeien menghinggapinya, kegembiraannya seolah terampas. Permasalahan kecil di kantornya membuat dirinya membuat keputusan tragis. Ia menembak rekan kerjanya dengan pistol, kemudian ia mengakhiri hidupnya dengan menembakkan pistol tersebut ke kepalanya sendiri. Sugeng Triono seperti mewakili kisah lain yang sama, tentang hilangnya gembira yang berujung dengan keputusan nista.
Jadi, seorang Muslim harus mengerti bagaimana seni menyemangati dirinya sendiri. Kegembiraan mempunyai peran dan kapasitasnya sendiri untuk mengubah pandangan kita tentang hidup, memperbaiki semangat dan pengharapan kita. Dan pada gilirannya, memberi kekuatan kelapangan dalam memikul beban.
Salah satu doa yang sering dibaca Rasulullah dan diajarkan kepada kita adalah meminta perlindungan dari rasa gundah dan kesedihan. ”Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari kecemasan dan kesedihan, dari rasa lemah dan kemalasan, dari kebakhilan dan sifat pengecut, dan dari beban hutang dan tekanan orang jahat.” Untaian doa tersebut memiliki makna mendalam tentang harapan ketenangan dan rasa gembira yang selayaknya meliputi diri kita.
Kisah perang Khandaq mengambarkan beban kesulitan dan bagaimana Rasullah mengatasinya. Tidak ada ide terbaik untuk melawan kafir sekutu Quraisy kecuali membuat parit pertahanan, sesuai usul Salman Al Farisi. Maka digalilah parit secara bersama-sama. Buku-buku sirah mencatat bagaimana kerja keras kaum Muslimin tersebut dilakukan dengan riang gembira. Rasulullah menyuruh beberapa sahabat untuk bersyair, sedang beliau sendiri juga menyenandungkan syair-syair dari Abdullah bin Rawahah. Maka kesulitan yang awalnya dialami, berubah menjadi kebersamaan yang penuh keriangan, hingga Allah memberi kemenangan tentara Muslimin.
Senyum dan Tawa yang Menentramkan
Bahasa paling verbal dari gembira adalah tertawa. Begitu juga sebaliknya, makna paling orisinil dari dari senyum dan tertawa adalah gembira. Rasulullah sendiri sangat bisa dikenali bila sedang gembira. Air mukanya bercahaya. ”Seperti sepotong rembulan, dan kami sangat mengenalinya,” kata Kaab bin Malik.
Penegasan rasa gembira dalam bentuk tertawa dan senyum banyak kita jumpai dalam banyak kisah teladan dari Rasulullah dan sahabatnya. Di sini kegembiraan berwujud dan bentuk mulianya. Rasululllah kadang tertawa, banyak tersenyum. Meski tidak pernah tertawa terbahak-bahak.
Di sini, tentu kita tertawa dalam konteks yang penuh harga diri. Ini bukan ulasan murahan tentang perilaku murahan orang-orang yang hidup hanya untuk tertawa. Tetapi tertawa sebagai ekspresi kematangan jiwa, kebijaksanaan, juga kelembutan dan kasih sayang seorang pemimpin.
Suatu hari, seperti dikisahkan Jabir ra, seorang laki-laki datang menemui Rasulullah. ”Wahai Rasulullah, semalam aku bermimpi, seakan-akan kepalaku terputus,” kata lelaki itu. Rasulpun tertawa mendengar kisah itu. Lalu bersabda, ”Jika salah seorang dari kalian dipermainkan syetan dalam tidurnya, maka jangan diberitahukan kepada yang lain.” Tertawa bagi Rasul, menjadi cara yang bijak untuk memberikan penjelasan kepada sahabatnya, dengan tidak menyinggungnya.
Jabir ra. juga mencatat kenangan yang sangat membekas dalam batinnya, tentang Rasulullah yang murah senyum datang. Ia menemui Rasulullah, hanya ingin mengadukan betapa sulit dirinya tegak di atas punggung kuda. Rasulullah dengan senang hati menerimanya, lalu menepuk dadanya seraya berdoa,”Ya Allah tegakkanlah ia, jadikanlah ia orang yang mendapat petunjuk dan memberi petunjuk.” Ke hadapan Rasul yang mulia itu, selalu saja ada yang datang dengan tingkah kekanakan. Sebab di wajahnya yang terang ada tempat berteduh.
Selayaknya, senyum dan tawa kita juga menenteramkan orang lain. Karena sepotong senyum dan gembira bisa bermakna ketenangan dan keamanan orang lain untuk berlindung. ”Senyum adalah sedekah yang paling mudah,” demikian Rasulullah menerangkan. ***
[Tulisan ini merupakan arsip dari tulisan yang telah dipublikasikan di Buletin Sajada, Lembaga Amil Zakat Lampung Peduli, sejak 2005]
Komentar