Langsung ke konten utama

Memberi (Kebaikan) Tanpa Henti

“Siapa yang bersedia menjamu tamuku ini, insya Allah akan mendapat rahmat-Nya,” sabda Rasulullah. Hal itu disampaikan karena beliau hanya mempunyai air minum untuk tamunya.
Tamu Rasulullah itu lalu diajak Abu Thalhah. “Adakah makanan buat tamu kita ini?” kata Abu Thalhah kepada isteri sesampai di rumah.
“Sedikitpun tidak ada, kecuali untuk sekali makan anak kita,” jawab Ummu Sulaim, isteri Abu Thalhah.
“Baiklah, tidurkan saja anak kita. Hidangkan makanan itu buat tamu kita.”
Abu Thalhah lantas mematikan lampu. Sang isteri lantas menghidangkan sepiring makanan untuk tamunya.
Kemudian, si tamu dengan lahap menyantap hidangan yang tersaji, ditemani Abu Thalhah yang bersandiwara. Dalam kegelapan ia melihat bayangan tuan rumah di depannya seakan sedang makan juga. Ia tak menyadari piring Abu Thalhah kosong, hanya “memakan” angin.
Usai makan dan kenyang, tamu itupun pamit. Tinggallah tuan rumah sekeluarga tidur dengan menahan lapar.
Keesokan harinya, Nabi menyambut Abu Thalhah dengan senyum lebar. “Ketahuilah sahabatku, Allah swt terpesona dengan pengorbanan engkau dan isterimu semalam.” Kemudian beliau membacakan ayat, “…mereka telah mendahulukan kepentingan orang lain walaupun mereka sendiri sedang kesusahan.”(QS Al Hasyr: 9).

Kedermawanan
Memberi dari sesuatu yang berlebih tentu sewajarnya. Pemberian itu bisa jadi juga tidak terasa istimewa karena kita tidak terlalu sulit untuk melakukannya. Tetapi, saat kekayaan itu terbatas, pekerjaan memberi itu pasti luar biasa. Sesungguhnya wajar saja seandainya Abu Thalhah tidak bersedia menjamu tamu Rasulullah lantaran ia hanya memiliki sepiring hidangan untuk anaknya.
Namun Abu Thalhah melakukan hal yang sebaliknya, sehingga Allah memuji dia. Keimanan Abu Thalhah dan Ummu Sulaim mencapai taraf seperti yang difirmankan Allah, “Kalian tidak akan pernah mencapai kebajikan yang sempurna sebelum menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai.” (QS Ali Imraan: 92).
Kisah Abu Thalhah sebagaimana diriwayatkan Muslim, memberikan keteladanan yang patut kita tiru. Di tengah segala keterbatasan yang kita alami, upaya memberikan kebaikan itu tidak lantas berhenti. Semangat kedermawanan, berupaya menjadi bagian dari penyelesaian (part of solution), adalah pilihan peran orang mukmin yang harus diambil apapun latar belakangnya. Inilah pemaknaan yang selayaknya kita miliki dalam memahami “status kemuliaan/kebaikan” dalam Islam. “Sebaik-baik kalian adalah yang paling bermanfaat bagi yang lain,” kata Rasulullah dalam sebuah hadist yang masyhur.
Bermanfaat bagi orang lain itu tentu tidak lantas diukur dari besaran sumbangan atau nominal uang. Ada berbagai cara untuk lebih bermanfaat bagi yang lain. Namun, pada karakter dasarnya, memberi manfaat itu menyangkut upaya sungguh-sungguh dan memberikan yang terbaik dari setiap pribadi. “Ajruki ‘ala qadri nashabiqi. ‘Pahala itu tergantung pada kadar lelahmu,’” kata Rasulullah. Jadi bukan ini kerja ala kadar, sekadar melaksanakan tugas dalam pemerintahan, atau malah kebohongan (kamuflase) untuk memberikan manfaat sesaat. Sekali lagi, memberi manfaat kepada orang lain itu menyangkut upaya serius, bukan menggampangkan masalah, serta tidak berimbas negatif untuk pada sisi yang lain atau masa yang akan datang.
Negeri kita ini barangkali mewakili sebuah ironi tentang upaya memberi manfaat kepada orang lain. Ini menyangkut jalan pintas (=ketidaksungguhan) dalam menentukan kebijakan pembangunan, yang selalu bertumpu pada utang. Seperti diungkapkan Revrisond Baswir, sejarah kebangsaan Indonesia ternyata tidak bisa dipisahkan dari kehadiran utang luar negeri. Walau secara internasional Indonesia baru diakui Desember 1949, proposal utang luar negeri ternyata telah diajukan pemerintah Indonesia sejak 1949. Sejak itu, setiap pergantian pemimpin pemerintahan selalu mewarisi utang dalam jumlah yang terus bertambah. Kebijakan pembangunan (baca: memberi manfaat kepada orang lain) ditentukan dengan cara-cara yang tidak serius, cenderung menggampangkan masalah, tidak mau berpayah-payah. Dan, berutang memang cara mudah untuk mendapatkan uang dalam membiayai pembangunan.
Maka, saat ini secara keseluruhan bangsa Indonesia memiliki utang luar negeri sebesar 78 miliar dolar AS. Jika ditambah dengan utang dalam negeri yang muncul 1998, sejumlah Rp 630 triliun, secara keseluruhan bangsa Indonesia memiliki utang 1300 triliun. Artinya, jika dibagi dengan jumlah penduduk, setiap manusia Indonesia rata-rata memikul utang dalam dan luar negeri sebesar Rp. 6,5 juta per kepala. Ini adalah catatan perjalanan bangsa yang suram. Betapa kemudian, setiap penyusunan APBN itu selalu dibebani dengan keharusan membayar utang tersebut.
Dari Abu Thalhah, selayaknya kita juga memaknai dengan seksama tentang cara memberikan manfaat/pertolongan itu. Dalam banyak hal, apapun kondisinya, memberi pertolongan menyangkut kemampuan yang kita punyai sendiri. Keluarga Abu Thalhah hanya mempunyai satu porsi makanan. Itulah yang mereka berikan. Walau mereka harus rela untuk semalam menahan lapar, tidak ada konsekuensi lain yang harus ditanggung sesudahnya—kecuali pahala dari Allah tentunya.
Bandingkan dengan yang terjadi di negeri ini. Rasanya, sulit kita mendapati orang-orang yang mau prihatin, bersusah-susah dalam rangka memberi sumbangsih terbaik untuk negeri ini. Kebijakan berbasis kemandirian itu nyaris menjadi mimpi, atau sebatas konsepsi tanpa implementasi.

Bersegera
Pelajaran tentang kedermawanan ini juga akan banyak kita temui dari Rasulullah, guru Abu Thalhah. Seperti ketika seorang wanita menghadiahi Rasulullah sebuah selendang indah. Rasulullah gembira menerima pemberian itu. Beliau memang memerlukan selendang itu. Langsung dikenakanlah selendang itu.
Seorang sahabat berkomentar, “Alangkah indahnya selendang itu ya Rasululah, bolehkah aku memintanya?” Para sahabat gusar mendengar permintaan kurang sopan itu. Namun, dengan ringan Rasulullah berkata, “Oh, silahkan, ambillah,” seraya melepas selendang dan memberikannya.
Dalam kesempatan yang lain Rasulullah berbagi kegembiraan dengan sahabat yang lain.”Lihatlah, alangkah indahnya baju yang kupakai ini. Tiba-tiba seorang Arab Badui menyela, “Wahai Rasulullah, baju tersebut buat aku saja.”
Tanpa pikir panjang Rasulullah segera melepas baju barunya lalu memberikan kepada si Badui. Sebagai pengganti, Rasulullah cukup meminta menjahit kain dengan motif yang sama.
Dari Abu Thalhah, juga dari Rasulullah saw. kita punya cermin keteladanan yang dapat digunakan oleh siapa saja. Bagi kita secara pribadi, kelompok masyarakat, juga untuk mereka yang kebetulan menempati jabatan dalam pemerintahan. Memberi manfaat kepada orang lain itu selayaknya disegerakan dalam setiap kodisi yang kita punyai. Juga dilandasi kesungguhan seraya memastikan bahwa kebaikan itu tidak berdampak kepada keburukan yang lain. ***


Ragam Bentuk Pemberian

Islam mempunyai banyak sekali instrumen yang memungkinkan kita dapat memberi sumbangsih kebaikan bagi setiap orang. Konsep universal dalam Islam, bahwa kita diciptakan hanya untuk beribadah (QS…?, membuat segala sesuatu dapat bernilai kebaikan. Sejauh hal itu diniatkan untuk beribadah, terlepas berapapun ukuran dan volumenya, Allah akan menilainya sebagai pahala.
Zakat adalah instrumen pemberian yang diwajibkan bagi orang yang kelebihan hartanya (melampau nishab). Tetapi bagi orang yang pas-pasan (belum melampaui nishab) ada juga instrumen lain yaitu infak dan sedekah. Hal ini tentu tidak kurang nilai manfatnya bila dapat dilaksanakan secara bersama oleh umat Islam. Bisa jadi infak sedekah tersebut hanya “uang receh” tatepi bila banyak dan terakumulasi maka akan memberikan kemanfaatan yang tidak sedikit.
Tidak ada yang boleh dipandang remeh (inferior) terkait amalan kebaikan itu. Derajatnya sama dimata Allah sejauh diniatkan dengan ikhlas dan sungguh-sungguh (sebagai capaian maksimal yang bisa kita perbuat).
Pelajaran tentang rasa rendah diri (inferior) yang terkait dengan amalan ini seperti yang terjadi dalam pengaduan beberapa sahabat kepada Rasulullah dalam hadits riwayat Muslim berikut.
“Wahai Rasulullah, orang-orang kaya lebih banyak mendapat pahala, mereka mengerjakan salat sebagaimana kami bersalat, dan mereka berpuasa sebagaimana kami berpuasa. Dan mereka bersedekah(=zakat) dengan kelebihan harta mereka.
Maka Rasulullah bersabda, “Bukankah Tuhan telah menjadikan sesuatu bagimu untuk bersedekah? Sesungguhnya tiap-tiap tasbih, tahmid, dan tahlil adalah sedekah. Dan melarang daripada kemungkaran adalah sedekah. Mendatangi isterimu juga sedekah.”
Merekapun berkata, Wahai Rasulullah, apakah jika seorang di antara kami mengikuti syahwatnya (dengan mendatangi isterinya), adakah ia mendapat pahala karenanya?
Maka Rasulullah menjawab,”Tahukah engkau jika seorang menumpahkan syahwatnya pada yang haram tidakkah berdosa ia? Maka demikian pula apabila ia menempatkan syahwatnya pada yang halal adalah pahala baginya.”
Alangkah indahnya bila Islam itu dijalankan para pemeluknya. Ya. Tidak ada yang bernilai sia-sia dalam setiap aktivitas kita. Allah mengharuskan hal itu dalam niatan karena Allah (ibadah) yang kemudian itu akan bernilai kebaikan. Koridor ibadah akan membuat segala hal itu tetap berjalan semestinya. Inilah hikmah yang membuat “bersenang-senang” (seperti mendatangi isteri itu) tidak menjerumuskan kita pada perbuatan maksiat.
Begitu besarnya nilai dari aktivitas untuk memberi kemanfaatan bagi yang lain, Islam mewajibkan sedekah ini bagi setiap pemeluknya. Tentu tetap dalam garisnya yang proporsional, sesuai dengan kemampuannya masing-masing.
“Tiap-tiap anggota badan dari manusia wajib atasnya sedekah. Tiap hari apabila terbit matahari engkau damaikan antara dua orang (yang berselisih) itu adalah sedekah; menolong orang berkenaan dengan tunggangannya itu adalah sedekah; dan kata-kata yang baik adalah sedekah; setiap langkah untuk berjalan (menuju masjid) untuk salat adalah sedekah; dan menyingkirkan sesuatu rintangan dari jalan adalah sedekah. (H. Mutafaqun alaih). ***

[Tulisan ini merupakan arsip dari tulisan yang telah dipublikasikan di Buletin Sajada, Lembaga Amil Zakat Lampung Peduli, sejak 2005]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Saat Bencana Tak Menyadarkan Kita

“Belumkah datang kepada mereka berita penting tentang orang-orang yang sebelum mereka, (yaitu) kaum Nuh, 'Aad, Tsamud, kaum Ibrahim, penduduk Madyan dan negeri-negeri yang telah musnah? Telah datang kepada mereka rasul-rasul dengan membawa keterangan yang nyata, maka Allah tidaklah sekali-kali menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (QS At Taubah: 70) Selayaknya, hari itu adalah waktu libur yang menyenangkan. Pesisir pantai Aceh punya pesona menarik sebagaimana pantai lainnya di pesisir Samudera Indonesia. Pagi yang cerah. Menawarkan selera untuk bercengkerama dengan keluarga, sembari menikmati indahnya panorama pantai. Namun, malang tak dapat ditolak untung tak dapat diraih. Semuanya berubah menjadi peristiwa yang memilukan. Tiba-tiba bumi berguncang dahsyat, gempa mengundang panik semuanya. Belum sirna rasa terkejut itu, riuh rendah orang berteriak, “Air, air..., air datang!“ Kita selanjutnya menyaksikan ribuan mayat bergelimpangan, berbagai

PETAKA KUASA DUSTA

”Jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu-bapak dan kaum kerabatmu...Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” (TQS An Nisaa: 135). Ini kisah menurut La Fontaine dalam Fables et Epitres. Dunia margasatwa diserang wabah penyakit. Diduga wabah itu merupakan azab Tuhan karena kejahatan penghuni dunia itu. Baginda Singa, tokoh nomor satu di kerajaan rimba, dengan memelas mengakui, ”Akulah penyebab segala bencana ini. Pekerjaanku memakan warga yang lemah seperti domba dan kambing.” Serigala membantah. ”Bukan demikian, Baginda tidak salah.” Yang dilakukan singa adalah implikasi dari kekuasaan. Memakan warga adalah bagian resiko yang harus diambil dari kebijakan yang dibuat pemimpin. Seorang demi seorang dari pembesar margasatwa bergilir mengakui kesalahannya. Pengadilan selalu memutuskan mereka tak bersalah

“Robohnya Masjid Kami” [Kritik Memakmurkan Masjid]

“Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allah dalam masjid-masjid-Nya, dan berusaha untuk merobohkannya? Mereka itu tidak sepatutnya masuk ke dalamnya (masjid Allah), kecuali dengan rasa takut (kepada Allah). Mereka di dunia mendapat kehinaan dan di akhirat mendapat siksa yang berat.” (TQS Al Baqarah: 114) Masjid itu dindingnya dari tanah liat. Tiangnya batang kurma, lantainya pasir, dan atapnya pelepah kurma. Maka, di suatu hari kaum Anshar mengumpulkan harta dan mendatangi Rasulullah saw.. "Wahai Rasulullah, bangunlah masjid dan hiasilah seindah-indahnya dengan harta yang kami bawa ini. Sampai kapan kita harus salat di bawah pelepah kurma?" Rasulullah menjawab, "Aku ingin seperti saudaraku Nabi Musa, masjidku cukup seperti arisy (gubuk tempat berteduh) Nabi Musa a.s.” Dijelaskan oleh Hasan r.a. menjelaskan bahwa ukuran arisy Nabi Musa a.s. adalah bila Rasulullah saw. mengangkat tangannya maka atapnya akan tersentuh Hadits ya