Langsung ke konten utama

Pendidikan dan Ilmu yang Bermanfaat

“…akan tetapi (dia) berkata, ‘Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani (yang sempurna ilmu dan takwanya kepada Allah), karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu telah mempelajarinya.”
(QS Ali Imraan: 79)

Ini berita baik dari Qatar. Di negara Muslim yang makmur berkat minyak itu, anak-anak Indonesia selalu masuk dalam daftar pelajar terbaik di sekolah-sekolah. Sementara itu, para orang tuanya, para pekerja dari Indonesia, selalu masuk dalam daftar pekerja terbaik dan mulai merambah jabatan di tingkat manajemen puncak. Harumnya nama Indonesia di negeri itu, membuat banyak perusahaan minyak di sana selalu meminta tenaga kerja dari Indonesia. Setiap tahun mereka memerlukan 1700 tenaga ahli kita, dan kita hanya sanggup menyediakan 300 orang.
Kabar yang disampaikan Arys Hilman, wartawan Republika, melengkapi kabar baik sebelumnya. Olimpiade sains di Kazakhstan belum lama ini, remaja kita mengungguli pesaingnya dari Amerika, Jepang, Jerman, dan yang lainnya. Kita hanya kalah tipis dengan Cina yang menjadi juara pertama. Dalam berbagai olimpiade sains berskala internasional sebelumnya, remaja-remaja kita selalu berhasil menjadi juara. Ahli-ahli kita juga berjaya di pusat-pusat riset di Eropa, Jepang, AS, dan Korea. Bill Gates pun mempekerjakan 30-an orang-orang kita di kantor pusat Microsoft.
Beberapa fakta ini memberi simpulan bahwa kita memang cerdas dan selalu dapat bersaing di dunia internasional. Prestasi tersebut juga mengugurkan anggapan bahwa kita lemah potensi intelegensi. Kebodohan itu bukan “bawaan lahir.” Tetapi, mengapa kita tak kunjung tampil dalam deretan bangsa-bangsa maju dan sejahtera di dunia?
Kenyataan bahwa kita masih terpuruk dan bodoh secara kolektif (bersama), selayaknya menjadi perhatian kita semua.

Pendidikan Moral
Secara sederhana, kita dapat mengetengahkan masalah di atas sebagai persoalan manajemen. Ibarat sebuah perusahaan, kita memiliki sumber daya manusia bagus, namun tak terkelola baik. Hal inilah yang kemudian membuat tidak produktif..
Tetapi, lebih dari itu, kita penting mengetengahkan masalah ini dalam tinjauan keimanan. Ya. Cerdas berilmu itu baru mewakili satu sisi, nilai kemanfaatannya itulah yang kemudian melengkapi. Ini berhubungan dengan akhlak/moral. Ini menyangkut niat, maksud, dan tujuan tentang menuntut ilmu. Apakah diniatkan untuk ibadah dan memberi kemanfaatan orang lain secara luas, atau untuk tujuan yang lain.
Tujuan mulia itulah yang selanjutnya menjadikan ilmu itu berguna. Maka dari warisan kenabian, kita akan mendapati bahwa masalah pengetahuan itu selalu diawali dan ditujukan untuk pendidikan moral. “Sesungguhnya tidaklah aku diutus kecuali untuk memperbaiki akhlak (moral),” sabda Rasulullah saw..
Dr. Abdullah Nashih Ulwan, dalam bukunya ‘Tarbiyyatul Aulad fil Islam’(Pendidikan anak dalam Islam), menguraikan masalah pendidikan dengan menempatkan pendidikan sebagai masalah utama. Berdasar dalil naqli yang mengacu langsung kepada nash-nash Al Qur’an dan hadits yang sahih, serta bukti-bukti ilmiah dan rasional, Nashih Ulwan menekankan betapa pendidikan moral, pendidikan fisik, pendidikan kejiwaan, dan pendidikan sosial adalah satu kesatuan yang tidak boleh terpisahkan.
Saat ini, bisa jadi kita memetik buah pahit dari pendidikan yang mengabaikan moral. Inilah yang paling mungkin menjelaskan tentang berbagai anomali yang terjadi di negeri ini. Seperti pada saat awal krisis ekonomi, di tengah himpitan kesulitan mayoritas rakyat, jalan-jalan di Jakarta malah disesaki dengan mobil-mobil mewah keluaran terbaru. Atau, ketika kita mendapati begitu banyaknya peristiwa bunuh diri yang dilakukan oleh para siswa kala menghadapi kesulitan. Prestasi pendidikan itu hanya diperoleh segelintir orang, dari jutaan anak didik yang lain.
Pendidikan moral itu secara formal memang sudah diajarkan. Tetapi hal itu bukan untuk dihafalkan. Pendidikan moral itu bukan perkara teoritis. Ini juga bukan sekadar perkara pengetahuan yang disampaikan kepada mereka. Ini menyangkut aplikasi teknis dan keteladanan dari kita semua. Dalam hal ini, Allah telah menyinggung lewat firman-Nya, “Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan. Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.”(QS Ash Shaff: 2-3)

Asas Manfaat
Rasulullah saw. pernah memohon doa dan mengajarkannya untuk kita. "Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat.” Dari doa tersebut dapat kita pahami bahwa ada ilmu yang dipelajari tetapi tidak bermanfaat.
Jabir r.a. menyampaikan bahwa ilmu itu ada dua, yang bermanfaat dan tidak bermanfaat. Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu dari hati yang kemudian mengingatkan kepada Allah. Ilmu yang tidak bermanfaat adalah ilmu yang hanya keluar dari bibir yang digunakan untuk memenuhi nafsunya, serta jidal(debat).
Imam Ghazali dalam kitab Bidayatul Hidayah, memberi pesan kepada setiap hamba Allah yang rajin menuntut ilmu agar mengikhlaskan niat karena Allah semata. ”Janganlah sekali-kali engkau menuntut ilmu dengan maksud untuk bermegah-megahan, menyombongkan diri, berbantah-bantahan, menandingi, dan mengalahkan orang lain (lawan bicara), atau supaya orang mengagumimu. Jangan pula engkau menuntut ilmu untuk dijadikan sarana mengumpulkan harta kekayaan duniawi. Yang demikian itu akan merusak agama dan mudah membinasakan dirimu sendiri.”
”Barangsiapa menuntut ilmu yang biasanya ditujukan untuk mencari keridhaan Allah, tiba-tiba ia tidak mempelajarinya, kecuali hanya untuk mendapatkan harta duniawi, maka ia tidak akan memperoleh bau harumnya syurga pada hari kiamat,” kata Rasulullah saw.. (HR Abu Dawud).
Dalam hadits lain beliau bersabda, ”Janganlah kalian menuntut imu untuk membanggakannya terhadap para ulama dan untuk diperdebatkan di kalangan orang bodoh dan buruk perangainya. Jangan pula menuntut imu untuk penampilan dalam majelis dan untuk menarik perhatian orang-orang kepadamu. Barangsiapa seperti itu, maka baginya neraka.” (HR Tirmidzi dan Ibnu Majah).
”Seorang alim apabila menghendaki dengan ilmunya keridhaan Allah, maka ia akan ditakuti segalanya. Akan tetapi, jika ia bermaksud untuk menumpuk harta, maka ia akan takut dari segala sesuatu,”tegas Rasulullah saw.dalam riwayat lain (HR Ad-Dailami).
Dari perkara niat dan kemanfaatan ilmu, kita akan mendapati benang merah tentang pendidikan moral. Inilah yang menjadi titik tekan Islam. Masalah kesejahteraan, kemajuan, dan keunggulan secara bersama-sama itu erat kaitannya moral. Komitmen moral yang tinggi memungkinkan setiap orang untuk berbagi, peduli dengan urusan orang lain secara kolektif. Itulah yang memungkinkan tampil dalam deretan bangsa-bangsa maju dan sejahtera di dunia. ***

Pendidikan Moral Sedari Dini

Perilaku seseorang itu sangat dipengaruhi oleh pengalaman hidup yang ia punyai. Apa yang ia dapatkan di suatu saat, akan terekam dan menjadi komponen yang turut mempengaruhi perilakunya di kemudian hari. Islam telah mengatur pendidikan moral ini secara detail sejak dalam keluarga. Sedari masih dalam kandungan pun, tuntunan agar lahir anak yang berbudi luhur telah diatur dalam Islam.
Memberi nama yang baik merupakan bagian penting dalam mendidik anak. ”Baguskanlah namamu, karena dengan nama itu kamu akan dipanggil pada hari kiamat nanti,” kata Rasulullah (HR Abu Dawud dan Ibnu Hibban).
Termasuk tuntunan Nabi mengganti nama yang jelek dengan nama yang baik. Beliau pernah mengganti nama seseorang 'Ashiyah (jelek) dengan Jamilah (cantik). Ketika seorang sahabat menyebutkan namanya ”Hazn” (duka cita), Nabi menggantinya dengan ”Farh” (suka cita). ”Al Mudhtaji” (yang terbaring) diganti oleh Nabi menjadi ”Al Munba’its” (yang bangkit). Orang yang namanya ”Harb” (perang) diubah Nabi menjadi ”Aslam” (damai), dan banyak lagi.
Para psikolog (ahli kejiwaan) menyatakan bahwa nama penting dalam pembentukan konsep diri. Secara tak sadar orang akan didorong untuk memenuhi citra (image, gambaran) yang terkandung di dalamnya. Ini disebut teori labelling (penamaan). Nama buruk akan membuat perilakunya buruk. Nama baik besar kemungkinan akan membuat perilakunya baik.
Konsep ketakwaan kepada Allah swt. harus dititikberatkan dalam mendidik anak. Takwa dalam arti taat segala perintah dan menjauhi segala larangan Allah. Salat lima waktu contohnya, anak-anak walaupun masih kecil seharusnya dididik mengerjakan salat agar saat dewasa nanti mereka memahami bahwa salat itu kewajiban yang tidak boleh ditinggalkan. Rasulullah saw. bersabda, ”Suruhlah anak-anak kamu mendirikan salat ketika umur mereka 7 tahun dan pukullah mereka ketika berumur 10 tahun sekiranya mereka enggan; dan pisahkan tempat tidur mereka.” Perkara kedisiplinan untuk menunaikan kewajiban penting ditegaskan sedari dini.
Bila kita simak lebih dalam, pendidikan moral sedari dini ini sesungguhnya lebih banyak bertumpu pada curahan kasih sayang orang tua yang selayaknya diberikan kepada anak.
Seorang pemuka kabilah, Al Aqra’ bin Habis suatu saat keheranan melihat perilaku Rasulullah yang mencium anaknya. Dia kemudian bertanya, ”Engkau mencium anakmu? Padahal aku mempunyai sepuluh orang anak. Tidak seorang pun yang pernah aku cium.” Maka jawab Rasulullah, ”Aku tidaklah seperti kamu. Bisa jadi karena Allah telah mencabut cinta dari jantungmu,” tegas Rasulullah yang mulia.
”Bukan termasuk umatku yang tidak menghormati orangtua dan tidak menyayangi anak kecil,” kata Nabi. Rasul juga berkata, ”Orang yang paling baik di antara kamu adalah orang yang paling penyayang kepada keluarganya, dan aku adalah orang yang paling sayang kepada keluargaku.”
Rasulullah mengungkapkan kasih sayang tidak saja secara verbal (dengan kata-kata) tapi juga dengan perbuatan. Pada suatu hari Umar menemukan Nabi merangkak di atas tanah, sementara dua anak kecil berada di atas punggungnya. Umar berkata, ” Hai anak, alangkah indahnya tungganganmu itu.” Yang ditunggangi menjawab, ”Alangkah indahnya para penunggangnya!” Suasana seperti itu menunjukkan betapa akrabnya Nabi saw dengan cucu-cucunya (Hasan dan Husain).
Pada tahun 1960-an, para psikolog terpesona dengan penelitian Harry Harlow. Dia memisahkan anak-anak monyet dari ibunya. Kemudian, dia mengamati pertumbuhannya. Monyet-monyet itu ternyata menunjukkan perilaku yang mengenaskan: selalu ketakutan, tak dapat menyesuaikan diri, dan rentan terhadap berbagai penyakit. Setelah monyet-monyet itu besar dan melahirkan bayi lagi, mereka menjadi ibu-ibu yang galak dan berbahaya. Mereka acuh tak acuh kepada anak dan seringkali melukai mereka.
Kata psikolog itu adalah sakit kejiwaan akibat kondisi tanpa ibu (maternal deprivation). Pada manusia situasi tersebut juga terjadi tatkala terjadi konflik keluarga (perceraian), juga sedikitnya perhatian karena kesibukan kerja orang tua. Orang tua tak sempat lagi bercanda dengan anak-anak mereka, berkumpul ngobrol dengan hangat, atau memeluk dan mencium mereka dalam keakraban.
Kasih sayang yang langsung kita buktikan, berdampak penting bagi perkembangan jiwa anak. Inilah salah satu bagian penting yang telah diajarkan Islam dala pendidikan moral sedari dini. ***

[Tulisan ini merupakan arsip dari tulisan yang telah dipublikasikan di Buletin Sajada, Lembaga Amil Zakat Lampung Peduli, sejak 2005]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Saat Bencana Tak Menyadarkan Kita

“Belumkah datang kepada mereka berita penting tentang orang-orang yang sebelum mereka, (yaitu) kaum Nuh, 'Aad, Tsamud, kaum Ibrahim, penduduk Madyan dan negeri-negeri yang telah musnah? Telah datang kepada mereka rasul-rasul dengan membawa keterangan yang nyata, maka Allah tidaklah sekali-kali menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (QS At Taubah: 70) Selayaknya, hari itu adalah waktu libur yang menyenangkan. Pesisir pantai Aceh punya pesona menarik sebagaimana pantai lainnya di pesisir Samudera Indonesia. Pagi yang cerah. Menawarkan selera untuk bercengkerama dengan keluarga, sembari menikmati indahnya panorama pantai. Namun, malang tak dapat ditolak untung tak dapat diraih. Semuanya berubah menjadi peristiwa yang memilukan. Tiba-tiba bumi berguncang dahsyat, gempa mengundang panik semuanya. Belum sirna rasa terkejut itu, riuh rendah orang berteriak, “Air, air..., air datang!“ Kita selanjutnya menyaksikan ribuan mayat bergelimpangan, berbagai

PETAKA KUASA DUSTA

”Jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu-bapak dan kaum kerabatmu...Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” (TQS An Nisaa: 135). Ini kisah menurut La Fontaine dalam Fables et Epitres. Dunia margasatwa diserang wabah penyakit. Diduga wabah itu merupakan azab Tuhan karena kejahatan penghuni dunia itu. Baginda Singa, tokoh nomor satu di kerajaan rimba, dengan memelas mengakui, ”Akulah penyebab segala bencana ini. Pekerjaanku memakan warga yang lemah seperti domba dan kambing.” Serigala membantah. ”Bukan demikian, Baginda tidak salah.” Yang dilakukan singa adalah implikasi dari kekuasaan. Memakan warga adalah bagian resiko yang harus diambil dari kebijakan yang dibuat pemimpin. Seorang demi seorang dari pembesar margasatwa bergilir mengakui kesalahannya. Pengadilan selalu memutuskan mereka tak bersalah

“Robohnya Masjid Kami” [Kritik Memakmurkan Masjid]

“Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allah dalam masjid-masjid-Nya, dan berusaha untuk merobohkannya? Mereka itu tidak sepatutnya masuk ke dalamnya (masjid Allah), kecuali dengan rasa takut (kepada Allah). Mereka di dunia mendapat kehinaan dan di akhirat mendapat siksa yang berat.” (TQS Al Baqarah: 114) Masjid itu dindingnya dari tanah liat. Tiangnya batang kurma, lantainya pasir, dan atapnya pelepah kurma. Maka, di suatu hari kaum Anshar mengumpulkan harta dan mendatangi Rasulullah saw.. "Wahai Rasulullah, bangunlah masjid dan hiasilah seindah-indahnya dengan harta yang kami bawa ini. Sampai kapan kita harus salat di bawah pelepah kurma?" Rasulullah menjawab, "Aku ingin seperti saudaraku Nabi Musa, masjidku cukup seperti arisy (gubuk tempat berteduh) Nabi Musa a.s.” Dijelaskan oleh Hasan r.a. menjelaskan bahwa ukuran arisy Nabi Musa a.s. adalah bila Rasulullah saw. mengangkat tangannya maka atapnya akan tersentuh Hadits ya