Langsung ke konten utama

Masa Depan yang Lebih Baik

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikannya berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, meneguhkan bagi mereka agama yang telah Dia ridhai, dan Dia benar-benar akan merubah keadaan ketakutan menjadi aman sentausa…”
(QS An Nuur: 55)

Senyum Ibu itu merekah ketika sekuntum bunga itu ia terima. Walau ia perlu menghentikan mobilnya, aksi simpatik di Bundaran Gajah (Bandar Lampung) menarik perhatiannya. ”Ini dalam rangka Peringatan Hari Antikorupsi Sedunia,” terang si pemberi bunga. Wajah si Ibu nampak berubah. ”Wah susah, nggak mungkin, ini sangat sulit, ” ujarnya seraya menggelengkan kepala.
Berfikir optimis, di tengah fakta buruk yang telah mendarah daging dan dilakukan sebagian besar orang, adalah sikap yang sulit dilakukan. Apalagi saat merasa berbagai upaya telah dilakukan dan gagal, akan mudah muncul pesimisme dan keputus-asaan. Usaha-usaha perbaikan dianggap laksana menggantang asap. Menghapus ”budaya” korupsi, seperti penggalan dialog di atas, merupakan salah satu contohnya. Sepertinya hanya mimpi jika masa depan (Indonesia) yang bebas korupsi.

Kebangkitan Islam
Sikap optimisme terhadap masa depan Islam juga menghadapi kendala seperti di atas. Banyak fakta yang kurang menggembirakan dialami oleh umat Islam. Islam yang lebih baik, disegani umat yang lain, menjadi pemimpin peradaban di masa mendatang, adalah impian musykil dalam pandangan banyak orang.
Namun, berbagai kecenderungan/fenomena yang muncul pada beberapa masa terakhir ini tampak penting dicermati. Masa depan Islam tampak akan lebih baik. Islam sedang mengalami kebangkitan lagi.
Kebangkitan agama dan demokratisasi, sebagaimana dinyatakan John L. Esposito (1995), adalah dua fenomena paling penting dalam dasawarsa terakhir abad kedua puluh. Tak kurang Naisbitt dan Aburdene dalam bukunya Megatrends 2000, juga menyebut tentang bangkitnya kembali kehidupan beragama di Abad ke-21. Futorolog (ahli pemerkira masa depan) tersebut mengungkapkan tentang spiritualitas umat manusia yang akan mencapai puncaknya pada abad ke-21.
Ada beberapa hal yang dapat kita sebut sebagai icon dan fakta kebangkitan Islam saat ini.
Pertama, keberadaan ajaran agama (doktrin religius) yang dijadikan sebagai identitas/simbol sosial. Jilbab tampak mewakili fenomena ini. Jilbab yang dikenakan oleh para muslimah dapat kita sebut sebagai fenomena yang baru. Sepuluh tahun yang lalu, kita menyaksikan bahwa mereka yang memakai jilbab adalah golongan minoritas di masyarakat. Bahkan di seluruh negeri-negeri Muslim, jilbab menjadi barang asing yang hanya dipakai oleh orang tua atau mereka yang punya status sosial tertentu di masyarakat—mereka yang sudah melaksanakan haji misalnya. Namun saat ini, jilbab dengan mudahnya kita temui dikenakan para muslimah bukan hanya di forum pengajian keislaman, tapi juga di kantor, sekolah umum, kampus perguruan tinggi, dan tempat-tempat umum lain.
Sudut pandang budaya, bahwa alasan mengenakan busana muslimah bukan atas pertimbangan doktrin religius an sich adalah hal yang cukup menarik. Di kalangan muslimah Mesir sebagaimana diteliti oleh Esposito (1992), pemakaian jilbab banyak didasari atas motif mencari identitas sosial bagi para Muslimah. Fenomena ini juga sama terjadi di Iran dan Yordan. Berdasarkan wawancara berbagai harian dengan pemuda-pemudi yang menggunakan jilbab di Universitas Teheran dan di Universitas Yordan, mereka mengakui mengenakan pakaian tersebut—dengan seringkali melawan pendapat ibu dan nenek mereka yang berkeberatan–bukan karena alasan-alasan agama semata. Busana tersebut memberi mereka suatu identitas. Jadi, melalui jilbab mereka tahu siapa diri mereka, dalam ‘blue jeans’ mereka tidak tahu identitas pribadi mereka (GH Jansen,1981).
Di Indonesia, fenomena tersebut nampaknya tak jauh berbeda. Diawali dari kelompok-kelompok kajian agama di kampus, yang dahulunya juga tak luput dari fitnah dan rintangan, jilbab selanjutnya menjadi trend yang menunjukkan pertambahan terus menerus. Sebagaimana di negeri-negeri muslim yang lain, jilbab adalah fenomena perkotaan, yaitu kesadaran religius yang identik dengan komunitas terdidik, kelompok menengah Muslim, dan status sosial yang mapan. Jilbab menjadi trend di kalangan mahasiswa di perguruan tinggi, bahkan para selebritis/artis. Maka selanjutnya ini menimbulkan kesan—dengan keragaman jilbab yang mereka kenakan—bahwa mereka tetap bisa tampil elegan, modis, ramah, dan “modern” jauh dari kesan ”kampungan.”
Masyarakat kampus perguruan tinggi negeri (PTN), sebagaimana kesan penulis, tampak sebagai kelompok yang paling apresiatif dalam hal kesadaran religius ini. Muslimah yang berjilbab (mulai) tampak menjadi mayoritas dibandingkan yang tidak mengenakan jilbab, terutama di fakultas eksakta (ilmu pasti). Hal ini juga diikuti dengan maraknya berbagai kajian keislaman, daurah (pelatihan), dan nasyid (musik religius yang sarat pesan-pesan moral dengan ekspresi khas). Secara nyata, hal ini telah mengubah citra kampus ”sekuler” (baca: sekolah umum, bukan sekolah agama), feodal dan hedonis, menjadi “pesantren modern.” Kampus terasa menjadi lebih Islami, egaliter, sederhana, dan religius. Kesadaran budaya semacam ini layaknya oase di tengah maraknya ografi yang sering membuat prihatin.
Kedua, identitas dan simbol-simbol religius dalam ranah politik. Kesadaran agama diatas nampaknya tidak hanya menyentuh aspek kultural saja. Sebagaimana dinyatakan Esposito, kesadaran untuk mengenakan jilbab para muslimah di Iran adalah permulaan penting dalam revolusi Iran yang menyebabkan tumbangnya rezim Reza Pahlevi. Pemahaman normatif tentang nilai komprehensif Islam nampaknya menyentuh seluruh aspek. Agama juga merambah ranah pemerintahan (negara). Dan hal ini secara simultan dapat ditemui di seluruh negeri-negeri Muslim. Kemenangan FIS— partai yang disebut kalangan Barat sebagai partai kaum fundamentalis Islam—dalam Pemilu di Al Jazair, Partai Refah di Turki, penerapan syariat Islam di Sudan, adalah beberapa contoh realitas kontemporer tentang kiprah nyata Islam politik.
Yang menarik, kemenangan partai-partai tersebut adalah buah dari dukungan dan simpati masyarakat yang menilai kiprah mereka bukan karena alasan-alasan ideologis/agama semata, tetapi lebih karena karena aksi-aksi nyata mereka dalam pembelaan rakyat dan pembangunan negara. Kelompok Islam ini adalah representasi dari apa yang disebut sebagai kelompok ”neorevivalis Islam.” Berbasis kuat di kalangan terpelajar, mereka mempunyai soliditas kerja tim yang kuat. Mereka menjadi pelopor dalam aksi-aksi sosial, bencana alam, dan kegiatan kemasyarakatan yang lain. Bahkan, seringkali mereka lebih cepat dari pemerintah dalam pengorganisasian bantuan. Kemenangan JDP (Justice and Development Party), partai yang merupakan metamorfosis Partai Refah di Turki, didukung oleh aksi-aksi simpatik kelompok neorevivalis Islam itu. Kelompok neorevivalis Islam di Indonesia ini tampak mudah ditemui di kalangan Islam muda terpelajar.
Ketiga, keberadaan sistem ekonomi syariah yang berkembang dinamis dan sudah menyentuh berbagai bentuk transaksi ekonomi. Secara normatif Islam mempunyai sistem ekonomi yang mengatur prinsip-prinsip dasar muamalah yang dibolehkan dan dilarang. Haramnya riba, adalah masalah dasar yang diatur oleh Islam tapi kesulitan dalam implementasinya. Tahun 1950-an, ungkap Chapra (1999), keberadaan sistem ekonomi syariah baru ada dalam wacana-wacana akademis yang belum mempunyai perwujudan riil. Sepuluh tahun terakhir, bank-bank syariah ternyata menunjukkan perkembangan pesat. Dari sekadar arus pinggiran dalam aktivitas ekonomi perbankan, bank syariah ternyata berubah menjadi alternatif bagi paradigma ekonomi yang berkeadilan. Indonesia walaupun relatif ketinggalan dibandingkan dengan negeri Muslim yang lain, juga menunjukkan perkembangan pesat. Fatwa tentang bunga bank yang dahulunya dianggap halal (ataupun makruf) karena alasan-alasan darurat, sekarang Majelis Ulama Indonesia (MUI) dengan tegas menyatakan bahwa bunga bank itu haram. Keberadaan lembaga pengelola zakat yang himpunannya terus meningkat dari waktu ke waktu juga dapat disebut sebagai buah kebangkitan dari ekonomi syariah.
Ketiga fenomena di atas, bila kita cermati mendalam, akan melahirkan simpulan bahwa masa depan Islam pasti akan lebih baik. Tidak ada alasan untuk bersikap pesimis. Dan, pada dasarnya, Islam memang tidak membolehkan pemeluknya bersikap pesimis. Ya. Bukankah jika tidak sukses di dunia, sebagai mukmin, ada sukses akhirat yang akan kekal selamanya? ***

[Tulisan ini merupakan arsip dari tulisan yang telah dipublikasikan di Buletin Sajada, Lembaga Amil Zakat Lampung Peduli, sejak 2005]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ramadhan: Saatnya Hijrah

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (TQS Ar Ruum: 30). Ini kabar gembira dari istana Cankaya, Istambul, Turki. Selasa (28/8) Abdullah Gul dilantik menjadi presiden ke-11 Turki. Istimewanya, ia didampingi oleh isteri yang berjilbab. Hayrunnisa Gul adalah Ibu Negara Turki pertama yang memakai jilbab. “Jilbab hanya menutupi kepala, bukan otak saya,” tegas ibu yang dikenal cerdas, berpenampilan hangat, elegan, dan menghindari sorotan media massa ini (Republika, 29/8). Jilbab memang sempat menjadi alasan untuk menjegal pencalonan Abdullah Gul. Turki, negara sekuler (memisahkan agama dalam pemerintahan) yang dibentuk Kemal Ataturk ini secara resmi memang masih melarang jilbab dipakai di instansi pemerintah. Kaum sekuler menilai jilbab tak patut menghiasi Istana Cankaya yang diangga...

Pemimpin Ruhani (Asa dari Gaza)

Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik. ( QS Al Ankabut: 69 ) Segala cara sudah ditempuh untuk membendung dakwah Muhammad. Semuanya tidak membuahkan hasil. Kepanikan kaum musyrikin Makkah mencapai puncaknya ketika keluarga besar Muhammad, Bani Hasyim dan Bani al-Muththalib, berkeras melindungi Muhammad. Mereka lalu berkumpul di kediaman Bani Kinanah dan bersumpah untuk tidak menikahi Bani Hasyim dan Bani Muththalib, tidak berjual beli dengan mereka, tidak berkumpul, berbaur, memasuki rumah ataupun berbicara dengan mereka hingga mereka menyerahkan Muhammad untuk dibunuh. Kesepakatan zalim itu mereka tulis dalam lembar perjanjian (shahifah) dan digantungkan di rongga Ka’bah. Pemboikotan itu berjalan 3 tahun. Stok makanan mereka habis. Sementara itu kaum musyrikin tidak membiarkan makanan apapun yang masuk ke Mekk...

Kapan Kita Berhenti Merokok? (Haramnya Rokok)

Dan janganlah kamu membinasakan diri kamu sendiri; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. ( TQS An Nisa’: 29 ) Hadir dalam acara syukuran haji tetangga, saya mendengar kisah menarik tentang ”razia” di Masjid Nabawi, Madinah. Di pintu masuk ke masjid, ada para penjaga yang mengawasi datangnya jamaah. Bila mendapati jamaah yang merokok, mereka menegur keras, ”Haram, haram!” seraya merampas rokok. Jauh hari sebelum fatwa MUI, ulama di Arab Saudi telah menetapkan haramnya rokok. Ketetapan tersebut ditindaklanjuti, salah satunya, dengan pelarangan di masjid. Jumhur ulama di berbagai negara di Timur Tengah, juga Malaysia dan Brunei Darussalam; telah memfatwakan keharaman rokok. Cepat atau lambat—kebetulan, Indonesia termasuk yang terlambat—rokok akan menjadi masalah yang menjadi perhatian penting para ulama. Menurut Ahmad Sarwat (pengelola rubrik konsultasi syariah situs eramuslim.com), awalnya memang belum ada ulama yang mengharamkan rokok, kecuali hanya memakruhkan. Namun das...