Langsung ke konten utama

Optimisme tentang Masa Depan Islam[1]

Kebangkitan agama dan demokratisasi, sebagaimana dinyatakan John L. Esposito (1995), adalah dua fenomena paling penting dalam dasawarsa terakhir abad kedua puluh. Tak kurang Naisbitt dan Aburdene dalam Megatrends 2000, juga menyebut tentang bangkitnya kembali kehidupan beragama. Futorolog tersebut mengungkapkan tentang spiritualitas umat manusia yang akan mencapai puncaknya pada abad ke-21. Naisbitt dan Aburdene juga menyebut tentang kebangkitan Islam.
Ada beberapa hal yang dapat kita sebut sebagai icon dan identitas kebangkitan Islam secara riil. Pertama, keberadaan simbol-simbol religius yang dijadikan sebagai identitas sosial. Jilbab tampak mewakili fenomena ini. Jilbab yang dikenakan oleh para muslimah dapat kita sebut sebagai fenomena yang relatif baru. Satu dasawarsa yang lalu, kita melihat bahwa mereka yang memakai jilbab adalah golongan minoritas di masyarakat. Bahkan di seluruh negeri-negeri muslim, jilbab menjadi barang asing yang hanya dipakai oleh orang tua atau mereka yang punya status sosial tertentu di masyarakat—mereka yang sudah melaksanakan haji misalnya. Saat ini, jilbab dengan mudahnya kita temui dikenakan para muslimah bukan hanya di forum pengajian keislaman, tapi juga di kantor, sekolah umum, kampus perguruan tinggi, dan tempat-tempat lain.
Sudut pandang sosiologis, bahwa alasan mengenakan busana muslimah bukan atas pertimbangan doktrin religius an sich adalah hal yang cukup menarik. Di kalangan muslimah Mesir sebagaimana diteliti oleh Esposito (1992), pemakaian jilbab lebih banyak didasari atas motif mencari identitas sosial bagi para Muslimah. Fenomena ini juga sama terjadi di Iran dan Yordan. Berdasarkan wawancara berbagai harian dengan pemuda-pemudi yang menggunakan jilbab di Universitas Teheran dan di Universitas Yordan, mereka mengakui mengenakan pakaian tersebut—dengan seringkali melawan pendapat ibu dan nenek mereka yang berkeberatan–bukan karena alasan-alasan agama tetapi baju tersebut memberi mereka suatu identitas. Jadi, melalui mereka tahu siapa diri mereka, dalam ‘blue jeans’ mereka tidak tahu identitas pribadi mereka (GH Jansen,1981).
Di Indonesia, fenomena tersebut nampaknya tak jauh berbeda. Diawali dari kelompok-kelompok kajian agama di kampus, yang dahulunya juga tak luput dari fitnah dan rintangan, jilbab selanjutnya menjadi trend yang menunjukkan pertambahan signifikan. Sebagaimana di negeri-negeri muslim yang lain, jilbab adalah fenomena perkotaan, yaitu kesadaran religius yang identik dengan komunitas terdidik, kelompok menengah Muslim, dan status sosial yang mapan. Jilbab menjadi trend di kalangan mahasiswa di perguruan tinggi, bahkan para selebritis. Maka selanjutnya ini menimbulkan kesan—dengan keragaman jilbab yang mereka kenakan—bahwa mereka tetap bisa tampil elegan, modis, ramah, dan “modern” jauh dari kesan ”kampungan.”
Masyarakat kampus perguruan tinggi negeri (PTN), sebagaimana kesan penulis, tampak sebagai kelompok yang paling apresiatif dalam hal kesadaran religius ini. Muslimah yang berjilbab (mulai) tampak menjadi mayoritas dibandingkan yang tidak mengenakan jilbab, terutama di fakultas eksakta. Hal ini juga diikuti dengan maraknya kajian-kajian keislaman, daurah-daurah (pelatihan), nasyid (musik religius yang sarat dengan pesan-pesan moral, biasanya acapela). Secara nyata, hal ini telah mengubah citra kampus ”sekuler” (baca: umum, bukan sekolah agama), feodal dan hedonis, menjadi “pesantren modern.” Kampus terasa menjadi lebih Islami, egaliter, sederhana, dan religius. Kesadaran kultural semacam ini nampak menimbulkan optimisme, layaknya oase di tengah fenomena ografi yang sering membuat gerah berbagai kalangan.
Kedua, identitas dan simbol-simbol religius dalam ranah politik. Kesadaran agama diatas nampaknya tidak hanya menyentuh aspek kultural saja. Sebagaimana dinyatakan Esposito, kesadaran untuk mengenakan jilbab para muslimah di Iran adalah permulaan penting dalam revolusi Iran yang menyebabkan tumbangnya rezim Reza Pahlevi. Pemahaman normatif tentang nilai komprehensif Islam nampaknya menyentuh seluruh aspek. Agama juga merambah ranah politik. Dan hal ini secara simultan dapat ditemui di seluruh negeri-negeri Muslim. Kemenangan FIS— partai yang disebut kalangan Barat sebagai partai kaum fundamentalis Islam—dalam Pemilu di Al Jazair, Partai Refah di Turki, penerapan syariat Islam di Sudan, adalah beberapa contoh realitas kontemporer tentang kiprah nyata Islam politik.
Yang menarik, kemenangan partai-partai tersebut adalah buah dari dukungan dan simpati masyarakat yang menilai kiprah mereka bukan karena alasan-alasan ideologis semata, tetapi lebih karena karena aksi-aksi nyata mereka dalam pembelaan rakyat dan pembangunan negara. Kelompok Islam politik ini adalah representasi dari kelompok neorevivalis Islam. Berbasis kuat di kalangan terpelajar, mereka mempunyai soliditas kerja tim yang kuat. Mereka menjadi pelopor dalam aksi-aksi sosial, bencana alam, dan kegiatan kemasyarakatan yang lain. Bahkan, seringkali mereka lebih cepat dari pemerintah dalam pengorganisasian bantuan. Kemenangan JDP (Justice and Development Party), partai yang merupakan metamorfosis Partai Refah di Turki, didukung oleh aksi-aksi simpatik kelompok neorevivalis Islam itu. Di Indonesia, fenomena ini tampaknya tidak jauh berbeda dengan keberadaan PKS (Partai Keadilan Sejahtera) yang mempunyai basis kuat di kalangan Islam muda terpelajar.
Dukungan kepada PKS tampak akan terus terjadi bila asumsi bahwa PKS adalah representasi kelompok neorevivalis di Indonesia ini benar. Karena, hal ini adalah fenomena nyata yang sudah didahului oleh partai Islam dengan basis serupa di negeri-negeri Muslim yang lain.
Ketiga, keberadaan sistem ekonomi syariah yang berkembang dinamis dan sudah menyentuh sisi praksis ekonomi. Secara normatif Islam mempunyai sistem ekonomi yang mengatur prinsip-prinsip dasar muamalah yang dibolehkan dan dilarang. Haramnya riba, adalah masalah dasar yang diatur oleh Islam tapi kesulitan dalam implementasinya. Tahun 1950-an, ungkap Chapra (1999), keberadaan sistem ekonomi syariah baru ada dalam wacana-wacana akademis yang belum mempunyai perwujudan riil. Satu dasawarsa terakhir, bank-bank syariah ternyata menunjukkan perkembangan pesat. Dari sekadar arus pinggiran dalam aktivitas ekonomi perbankan, bank syariah ternyata berubah menjadi alternatif bagi paradigma ekonomi yang berkeadilan. Indonesia walaupun relatif ketinggalan dibandingkan dengan negeri Muslim yang lain, juga menunjukkan perkembangan pesat. Fatwa tentang bunga bank yang dahulunya dianggap halal (ataupun makruf) karena alasan-alasan dharury, belakangan MUI dengan tegas menyatakan bahwa bunga bank itu haram.
Beberapa fenomena di atas nampak semakin mengukuhkan wacana kebangkitan Islam. Kembali mengutip Esposito, hal itu menciptakan realitas-realitas baru yang mempengaruhi hubungan Islam dan demokrasi. Sekulerisasi menjadi semakin tidak relevan di seluruh negeri Muslim. Kasus-kasus di Mesir, Iran, Al Jazair, Sudan, Pakistan, dan Malaysia, menunjukkan dengan jelas kenyataan ini. Bahkan sistem politik yang paling sekuler, seperti Turki, telah menyaksikan Islamisasi wacana politik yang berlangsung secara bertahap dan signifikan.Gerakan-gerakan kebangkitan agama berjalan seiring dan memperkuat pembentukan sistem politik yang lebih demokratis. Kita berharap, buah kebaikan dari ”renaisans (kebangkitan kembali) Islam” itu dapat kita petik, dalam waktu yang tidak begitu lama. Wallahu’alam bishshawwab.

Suplemen Pelatihan Jurnalistik dan Kehumasan ROHIS SMA se-Bandar Lampung, Ahad 3 Desember 2006












[1] Suplemen Pelatihan Jurnalistik dan Kehumasan ROHIS SMA se-Bandar Lampung, Ahad 3 Desember 2006

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Saat Bencana Tak Menyadarkan Kita

“Belumkah datang kepada mereka berita penting tentang orang-orang yang sebelum mereka, (yaitu) kaum Nuh, 'Aad, Tsamud, kaum Ibrahim, penduduk Madyan dan negeri-negeri yang telah musnah? Telah datang kepada mereka rasul-rasul dengan membawa keterangan yang nyata, maka Allah tidaklah sekali-kali menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (QS At Taubah: 70) Selayaknya, hari itu adalah waktu libur yang menyenangkan. Pesisir pantai Aceh punya pesona menarik sebagaimana pantai lainnya di pesisir Samudera Indonesia. Pagi yang cerah. Menawarkan selera untuk bercengkerama dengan keluarga, sembari menikmati indahnya panorama pantai. Namun, malang tak dapat ditolak untung tak dapat diraih. Semuanya berubah menjadi peristiwa yang memilukan. Tiba-tiba bumi berguncang dahsyat, gempa mengundang panik semuanya. Belum sirna rasa terkejut itu, riuh rendah orang berteriak, “Air, air..., air datang!“ Kita selanjutnya menyaksikan ribuan mayat bergelimpangan, berbagai

PETAKA KUASA DUSTA

”Jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu-bapak dan kaum kerabatmu...Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” (TQS An Nisaa: 135). Ini kisah menurut La Fontaine dalam Fables et Epitres. Dunia margasatwa diserang wabah penyakit. Diduga wabah itu merupakan azab Tuhan karena kejahatan penghuni dunia itu. Baginda Singa, tokoh nomor satu di kerajaan rimba, dengan memelas mengakui, ”Akulah penyebab segala bencana ini. Pekerjaanku memakan warga yang lemah seperti domba dan kambing.” Serigala membantah. ”Bukan demikian, Baginda tidak salah.” Yang dilakukan singa adalah implikasi dari kekuasaan. Memakan warga adalah bagian resiko yang harus diambil dari kebijakan yang dibuat pemimpin. Seorang demi seorang dari pembesar margasatwa bergilir mengakui kesalahannya. Pengadilan selalu memutuskan mereka tak bersalah

“Robohnya Masjid Kami” [Kritik Memakmurkan Masjid]

“Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allah dalam masjid-masjid-Nya, dan berusaha untuk merobohkannya? Mereka itu tidak sepatutnya masuk ke dalamnya (masjid Allah), kecuali dengan rasa takut (kepada Allah). Mereka di dunia mendapat kehinaan dan di akhirat mendapat siksa yang berat.” (TQS Al Baqarah: 114) Masjid itu dindingnya dari tanah liat. Tiangnya batang kurma, lantainya pasir, dan atapnya pelepah kurma. Maka, di suatu hari kaum Anshar mengumpulkan harta dan mendatangi Rasulullah saw.. "Wahai Rasulullah, bangunlah masjid dan hiasilah seindah-indahnya dengan harta yang kami bawa ini. Sampai kapan kita harus salat di bawah pelepah kurma?" Rasulullah menjawab, "Aku ingin seperti saudaraku Nabi Musa, masjidku cukup seperti arisy (gubuk tempat berteduh) Nabi Musa a.s.” Dijelaskan oleh Hasan r.a. menjelaskan bahwa ukuran arisy Nabi Musa a.s. adalah bila Rasulullah saw. mengangkat tangannya maka atapnya akan tersentuh Hadits ya