Langsung ke konten utama

Saat Bencana Tak Menyadarkan Kita

“Belumkah datang kepada mereka berita penting tentang orang-orang yang sebelum mereka, (yaitu) kaum Nuh, 'Aad, Tsamud, kaum Ibrahim, penduduk Madyan dan negeri-negeri yang telah musnah? Telah datang kepada mereka rasul-rasul dengan membawa keterangan yang nyata, maka Allah tidaklah sekali-kali menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.”
(QS At Taubah: 70)

Selayaknya, hari itu adalah waktu libur yang menyenangkan. Pesisir pantai Aceh punya pesona menarik sebagaimana pantai lainnya di pesisir Samudera Indonesia. Pagi yang cerah. Menawarkan selera untuk bercengkerama dengan keluarga, sembari menikmati indahnya panorama pantai. Namun, malang tak dapat ditolak untung tak dapat diraih. Semuanya berubah menjadi peristiwa yang memilukan. Tiba-tiba bumi berguncang dahsyat, gempa mengundang panik semuanya. Belum sirna rasa terkejut itu, riuh rendah orang berteriak, “Air, air..., air datang!“ Kita selanjutnya menyaksikan ribuan mayat bergelimpangan, berbagai bangunan luluh-lantak, rata dengan tanah disapu air bah.
Tragedi gempa dan tsunami di Aceh dan Sumatera Utara adalah bencana kolosal yang menyita perhatian dunia. Para ahli menyatakan peristiwa tersebut sebagai bencana alam terbesar di zaman modern ini. Kita juga menyaksikan, betapa bencana di Aceh paling banyak membuat masyarakat tergerak memberi sumbangan. Kita semua terketuk, naluri kemanusiaan kita berbicara, turut bersimpati menanggung lara. Nurani kita berbicara Allah Yang Maha Perkasa tampak sedang menegur kita. Ada nuansa khusyu’ untuk berdoa, agar Allah menolong kita semua.
Bagi mereka yang merasakan langsung peristiwa dahsyat tersebut, nuansa pertaubatan itu begitu terasa. Seperti yang terjadi di Suak Timah, Samatiga, Meulaboh yang hampir tidak menyisakan sama sekali bangunan. Seperti disampaikan Majalah Tarbawi (5/02/05), di sana yang tersisa hanya sebuah tugu “Rencong“ setinggi lima meter. Seorang siswa SMA setempat menggoreskan kepedihan hatinya di tugu sebatang kara ini dengan bahasa Aceh. Kampung halamannya tinggal kenangan, di antara onggokan batu yang masih basah ia torehkan tulisan:
Suak Timah
desa yang saya sayangi
kita sekarang tauba/
Mari semua
26-12-0
ttd: Ipon
Kata tersebut seolah mewakili para korban bencana –juga kita semua—tentang pengakuan dosa dan kekuasaan Allah swt. Nurani kita berbicara, betapa hanya Allah yang layak kita mintai pertolongan dan ampunan.

Pengakuan yang Terlupakan

Peristiwa tersebut di atas sengaja diulas kembali. Disadari atau tidak, peristiwa tersebut barangkali tinggal menjadi kenangan yang tidak lagi membekas di hati kita. Bagi mereka yang merasakan langsung, kehilangan tempat tinggal dan sanak saudara tentu peristiwa pilu yang sulit dilupakan. Namun, bagi kita yang hanya melihat peristiwa tersebut dari berita teve dan surat kabar, kesibukan atau permasalahan lain dalam kehidupan kita sering tidak sempat lagi untuk mengingat peritiwa tersebut. Tentu, bukan untuk mengingatnya sebagai peristiwa besar, lantas terlarut dalam kesedihan.Tetapi, untuk mengambil ibrah darinya. Untuk memaknai bahwa bencana tersebut adalah teguran bagi kita semua, atau kejadian yang sama bisa menimpa kita di sini, tanpa sanggup kita menolaknya. Kita penting memetik hikmah peristiwa tersebut, agar kita bisa menjawab dengan bijak saat ditanya, apa yang telah kita persiapkan untuk menghadapinya?
Kesulitan yang menimpa biasanya lebih sering mengingatkan kita pada Sang Pencipta. Saat tidak ada lagi orang yang dapat kita mintai pertolongan, secara otomatis kita akan menadahkan tangan, memohon pertolongan kepada Allah saja.
Kita perlu serba bertanya pada diri kita, saat bencana itu usai, apakah mengingat Allah—dalam artinya yang luas-- masih menjiwai aktivitas kita. Ada kekhawatiran, jangan-jangan kitalah yang disinggung Allah, sebagai orang yang mengingat Allah saat sulit, tapi melupakannya saat usai dari kesulitan. “Dan apabila kamu ditimpa bahaya di lautan niscaya hilanglah siapa yang kamu seru kecuali Dia (Allah), maka tatkala Dia menyelamatkan kamu ke daratan, kamu berpaling. Dan manusia itu adalah selalu tidak berterima kasih (QS Al Israa’: 67).
Secara lebih rinci, hal tersebut juga disinggung Allah di ayat yang lain: “Dialah Tuhan yang menjadikan kamu dapat berjalan di daratan, (berlayar) di lautan. Sehingga apabila kamu berada di dalam bahtera, dan meluncurlah bahtera itu membawa orang-orang yang ada di dalamnya dengan tiupan angin yang baik, dan mereka bergembira karenanya, datanglah angin badai, dan (apabila) gelombang dari segenap penjuru menimpanya, dan mereka yakin bahwa mereka telah terkepung (bahaya), maka mereka berdoa kepada Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya semata-mata. (Mereka berkata): "Sesungguhnya jika Engkau menyelamatkan kami dari bahaya ini, pastilah kami akan termasuk orang-orang yang bersyukur." Maka tatkala Allah menyelamatkan mereka, tiba-tiba mereka membuat kezaliman di muka bumi tanpa (alasan) yang benar...“ (QS Yunus: 22-23).

Kesadaran yang Terlambat

Kita perlu serba bertanya, apakah kesadaran untuk menarik pelajaran dari bencana yang menimpa, ada dalam diri kita. Kenistaan ini lazim muncul ketika seseorang gagal menarik pelajaran. Seperti orang yang keras hatinya, tatkala bencana alam hanya menjadi barang tontonan (reality show). Ketika bencana menyusul terjadi di Nias, ia malah membandingkan bahwa bencana tersebut kalah besar dengan yang di Aceh. Kegagalan juga muncul ketika bencana semata-mata dipahami sebagai fenomena alam. Pada gilirannya, muncul pribadi-pribadi keras kepala yang tak dapat sedikitpun memahami peringatan Allah.
Fir’aun dan kaumnya adalah contoh sempurna tentang pribadi yang keras kepala. Misi dakwah yang disampaikan dengan bijak oleh Musa malah membuatnya takabur. Maka Allah menurunkan kemarau panjang dan kekurangan buah-buahan agar mereka bisa memikirkan. Tapi, tatkala kemudahan itu mereka dapatkan mereka mengklaim sebagai usaha mereka sendiri. Ketika kesulitan menimpa, mereka menimpakan kesialan itu kepada Musa a.s. dan kaumnya. Peringatan Musa a.s. malah dianggap sebagai sihir oleh mereka.
Maka selanjutnya, seperti dikisahkan dalam buku-buku sirah, juga di Injil (Perjanjian Lama), Allah secara berurutan menimpakan kepada mereka taufan, lalu hama belalang yang memenuhi penjuru negeri, kutu, katak, dan air yang berubah menjadi darah (QS Al A’raf : 130-135). Namun semuanya tetap tidak menyadarkan meraka dan mereka tetap menyombongkan diri. Sampai kemudian keras kepala tersebut harus diakhiri dengan kebinasaan mereka.
Kisah Fir’aun bisa jadi cermin buruk bagi kita. Kita menyaksikan bencana yang datang bertubi-tubi di negeri ini. Adakah semuanya menyadarkan kita untuk mengadakan perbaikan?
Lebih dari itu, kisah Fir’aun juga cermin tentang kesadaran yang terlambat. Al Qur’an juga mengisahkan betapa selanjutnya Fir’aun juga harus kalah dengan nuraninya sendiri dan mengakui kekuasaan Allah.
“Dan Kami memungkinkan Bani Israil melintasi laut, lalu mereka diikuti oleh Fir'aun dan bala tentaranya, karena hendak menganiaya dan menindas (mereka); hingga bila Fir'aun itu telah hampir tenggelam berkatalah dia: "Saya percaya bahwa tidak ada Tuhan melainkan Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israil, dan saya termasuk orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)." (QS Yunus: 91)
Kesadaran dan ampunan punya dimensinya tersendiri. Saat peringatan itu telah datang silih berganti, namun kita lamban untuk sadar diri, maka kesadaran yang muncul di akhir peringatan hanya akan menistakan. Tidak akan ada ampunan. Ada batas toleransi. Ada kata terlambat, sebagaimana Fir’aun tetap harus dihukum karena kedurhakaanya, walaupun ada pengakuan jujur di sakaratul maut-nya.
“Maka pada hari ini Kami selamatkan badanmu (Fir’aun) supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang sesudahmu dan sesungguhnya kebanyakan dari manusia lengah dari tanda-tanda kekuasaan Kami (QS Yunus: 92).
***

Negeri yang Musnah dalam Sejarah

Antara abad ke satu dan ke dua Masehi, ada sebuah kerajaan di sebelah selatan Jazirah Arabia. Air mengalir ke ibukota dari sumber air yang jaraknya sepuluh hari perjalanan. Mereka membangun sistem irigasi yang canggih untuk ukuran masanya. Sejarah mencatat bendungan yang mereka bangun sebagai bendungan Ma’arib. Dari bendungan ini dialirkan air ke rumah-rumahdan kebun-kebun. Begitu suburnya sehingga dikisahkan jika seorang perempuan meninggalkan rumahnya untuk memenuhi keperluannya sambil membawa bakul di atas kepalanya, maka sebelum ia sampai ke tempat tujuannya, bakulnya sudah penuh dengan buah-buahan yang jatuh dari pepohonan di pinggir jalan. Beberapa orang Nabi diutus untuk mengingatkan mereka agar bersyukur atas nikmat Allah. Namun mereka berpaling dari peringatan para Rasul itu, bahkan mereka mengggunakan kemakmuran itu untuk memuaskan nafsu mereka. Allah kemudian merusakkan bendungan. Air bah dahsyat melanda kota-kota mereka. Kebun-kebun subur berubah menjadi kebun yang gersang. Al Qur’an mengabadikan kisah ini dalam Surah Saba’: 15-19.
Negeri Saba’ adalah pelajaran. Negeri yang makmur berubah miskin karena dosa-dosa penduduknya. Kisah tentang negeri yang dilanda bencana bahkan sampai musnah karenanya, banyak kita temui di dalam Al Qur’an. Hal ini menegaskan bahwa bencana alam yang dahsyat, yang melebihi Aceh, mudah saja terjadi bila Allah menghendaki. Banjir pada zaman Nabi Nuh, musnahnya kaum Nabi Luth, kaum Nabi Shaleh (Tsamud), kaum nabi Huud (’Aad), adalah sederet kaum yang musnah karena mengingkari Allah.
Sampai saat ini bukti-bukti peninggalan kaum yang musnah itu masih dapat kita temui. Ini sebagai bukti bahwa kisah tersebut bukan sekedar dikarang oleh Muhammad dalam Al Qur’an. Ini seperti yang dinyatakan dalam Firman Allah, ”Itu adalah sebahagian dan berita-berita negeri (yang telah dibinasakan) yang Kami ceritakan kepadamu (Muhammad); di antara negeri-negeri itu ada yang masih kedapatan bekas-bekasnya dan ada (pula) yang telah musnah” (QS Huud :100). Harun Yahya (nama pena dari Adnan Ochtar) seorang ilmuwan Turki, banyak meyumbangkan bukti ilmiah berupa buku-buku dan film dokumenter tentang negeri-negeri yang dikisahkan Al Qur’an, ynag saat ini juga diteliti para ahli (arkeolog).
Sebagai contoh, peninggalan kaum Nabi Luth yang diazab karena berperilaku menyimpang dengan melakukan fashiyah (homoseksual), dapat diketemukan buktinya di Laut Mati (Yordania). Peristiwa gempa bumi dahsyat, letusan gunung api yang disertai hujan batu belerang yang meleleh, tergambar jelas dari penampakan daerah di sekitar Laut Mati. Sifat khusus dari Laut Mati adalah kandungan garamnya yang sangat tinggi, kepekatannya hampir mencapai 30%. Oleh karena itu, tidak ada organisme hidup, semacam ikan atau lumut, yang dapat hidup di dalam danau ini. Disebut " Laut Mati" disebabkan masalah ini. Di bawah permukaan air, dengan jelas tampak gambaran bentuk hutan yang diawetkan oleh kandungan garam Laut Mati yang sangat tinggi. Batang dan akar di bawah air yang berwarna hijau berkilauan tampak sangat kuno. Itu adalah Lembah Siddim, salah satu bagian dari kota Sodom dan Gomorrah (tempat kaum Nabi Luth), di mana pepohonan ini dahulu kala bermekaran daunnya menutupi batang dan ranting merupakan salah satu tempat terindah di daerah ini. Sisa-sisa dari kota yang terkubur ke dalam danau, dapat juga ditemukan di tepian danau (harunyahya.com/indo).
Begitulah, Al Qur’an mengisahkan tentang negeri yang musnah agar kita dapat memetik pelajaran darinya. Bahkan, Allah juga menyuruh kita mengadakan safar (perjalanan) di muka bumi untuk memperhatikan kaum-kaum yang dibinasakan Allah ini. ”Sesungguhnya telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah Allah; Karena itu berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul) (QS Al Imraan: 137). ”Katakanlah: ”Berjalanlah di muka bumi, kemudian perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan itu." (QS Al An’am:11). ***
[Tulisan ini merupakan arsip dari tulisan yang telah dipublikasikan di Buletin Sajada, Lembaga Amil Zakat Lampung Peduli, sejak 2005]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PETAKA KUASA DUSTA

”Jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu-bapak dan kaum kerabatmu...Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” (TQS An Nisaa: 135). Ini kisah menurut La Fontaine dalam Fables et Epitres. Dunia margasatwa diserang wabah penyakit. Diduga wabah itu merupakan azab Tuhan karena kejahatan penghuni dunia itu. Baginda Singa, tokoh nomor satu di kerajaan rimba, dengan memelas mengakui, ”Akulah penyebab segala bencana ini. Pekerjaanku memakan warga yang lemah seperti domba dan kambing.” Serigala membantah. ”Bukan demikian, Baginda tidak salah.” Yang dilakukan singa adalah implikasi dari kekuasaan. Memakan warga adalah bagian resiko yang harus diambil dari kebijakan yang dibuat pemimpin. Seorang demi seorang dari pembesar margasatwa bergilir mengakui kesalahannya. Pengadilan selalu memutuskan mereka tak bersalah

“Robohnya Masjid Kami” [Kritik Memakmurkan Masjid]

“Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allah dalam masjid-masjid-Nya, dan berusaha untuk merobohkannya? Mereka itu tidak sepatutnya masuk ke dalamnya (masjid Allah), kecuali dengan rasa takut (kepada Allah). Mereka di dunia mendapat kehinaan dan di akhirat mendapat siksa yang berat.” (TQS Al Baqarah: 114) Masjid itu dindingnya dari tanah liat. Tiangnya batang kurma, lantainya pasir, dan atapnya pelepah kurma. Maka, di suatu hari kaum Anshar mengumpulkan harta dan mendatangi Rasulullah saw.. "Wahai Rasulullah, bangunlah masjid dan hiasilah seindah-indahnya dengan harta yang kami bawa ini. Sampai kapan kita harus salat di bawah pelepah kurma?" Rasulullah menjawab, "Aku ingin seperti saudaraku Nabi Musa, masjidku cukup seperti arisy (gubuk tempat berteduh) Nabi Musa a.s.” Dijelaskan oleh Hasan r.a. menjelaskan bahwa ukuran arisy Nabi Musa a.s. adalah bila Rasulullah saw. mengangkat tangannya maka atapnya akan tersentuh Hadits ya