Langsung ke konten utama

Alam yang Bertasbih

”Langit yang tujuh, bumi, dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.”
(TQS Al Israa: 44).

Datangnya air, bagi para petani, menjadi pertanda rezeki. Sedikit di awal musim penghujan, menjadi penanda bertanam di ladang. Melimpah di puncak bulan basah, berarti giliran untuk bertanam padi sawah. Begitulah. Siklus curah hujan itu menjadi harmoni kerja para petani. Semua terasa teratur, terjadwal, dan yang pasti, melahirkan harapan positif.
Namun, bagi para warga Jakarta, hujan tampaknya menjadi momok. Seperti yang terjadi awal bulan Februari ini. Hujan selama sehari, hal yang sebenarnya wajar di musim hujan, ternyata membawa petaka. Ribuan rumah terendam air bah. Banyak orang terjebak di jalanan yang macet total. Bandara Soekarno Hatta berhenti beroperasi—pertama kali dalam sejarah sejak bandara tersebut didirikan. Datangnya hujan, bagi para warga ibu kota, ternyata malah melahirkan rasa khawatir. Rasanya mudah mencari penyebab mengapa hal itu terjadi. Setiap diri kita pasti punya penilaian tentang hal tersebut. Mulai dari kepadatan penduduk, minimnya ruang terbuka hijau, dan seterusnya. Namun bagi kita, orang yang beriman, bencana alam tersebut penting dinaknai sebagai peringatan dari Allah. Kita lalai, lalu Allah timpakan musibah. ”Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (TQS Ar Ruum: 41).

Tentara Allah

Bencana banjir mengingatkan kita akan sejarah Nabi Nuh. Yaitu ketika Allah membinasakan orang-orang kafir melalui bencana alam yang ganas. Langit menumpahkan bermiliar kubik air. Deras, dan sangat deras. Tanah tak mampu mengisapnya. Bahkan air juga muncrat hebat dari dalam tanah. Disertai topan, bumi berubah menjadi hamparan air yang luas.
Di tengah gelombang yang bergulung itu, bahtera Nabi Nuh berlayar. Dari atas kapal Nabi Nuh mencoba memanggil Qan’an, anaknya yang berjuang melawan derasnya air, untuk ikut menumpang kapal.
”Anakku, naiklah ke kapal bersama kami dan janganlah kamu berada bersama orang-orang kafir,” seru Nabi Nuh penuh kasih.
”Tidak, aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat memeliharaku dari air bah,” jawab anaknya.
”Tidak ada yang melindungi hari ini dari azab Allah selain Allah (saja) Yang Maha Penyayang,” ujar Nabi Nuh mencoba meyakinkan anaknya. Tetapi Qan’an tetap pada pendiriannya. ”Dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya, maka jadilah anak itu termasuk orang-orang yang ditenggelamkan.” (TQS Huud:43).
Gelombang air yang ganas itu bisa bersahabat dengan dengan Nabi Nuh dan orang-orang yang beriman. Tetapi ia menjadi azab bagi mereka yang kafir. Gunung yang kokoh menjulang tinggi tidak peduli dengan nasib Qan’an dan orang-orang kafir lainnya. Apa yang menjadi rahasia penyebabnya?
Rahasianya adalah, karena gelombang dahsyat dan gunung itu sama-sama tentara Allah. Bahkan laut, hujan, angin topan, binatang buas, burung-burung, hingga serangga yang kecil merayap adalah tentara Allah yang perkasa. ”Dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (TQS Al Fath: 4). Para tentara itu tunduk dan patuh kepada Allah, bersahabat dengan orang-orang yang beriman, dan membenci orang-orang yang durhaka kepada-Nya.
Simaklah lebih jauh Al Qur’an. Kita akan bisa merasakan betapa alam semesta tidak saja gambaran tentang keindahan dan keselarasan. Tetapi pada saat yang sama, Al Qur’an juga menjabarkan bagaimana alam menampakkan kehebatannya sebagai tentara Allah. Sebagaimana Allah telah menghukum Fir’aun dan kaumnya. ”Maka Kami kirimkan kepada mereka taufan, belalang, kutu, katak, dan darah (air berubah menjadi darah) sebagai bukti yang jelas, tetapi mereka tetap menyombongkan diri dan mereka adalah kaum yang berdosa.” (TQS Al A’raaf: 133).
Memahami alam tidak akan pernah utuh tanpa mendudukkan eksistensinya sebagai tentara Allah. Dalam sejarah orang-orang salih, banyak kita temukan fakta bagaimana alam tunduk kepada perintah Allah untuk membela orang-orang yang beriman. Seperti api yang diperintah Allah untuk berubah dingin ketika digunakan Raja Namrud untuk membakar Nabi Ibrahim. Atau Laut Merah yang diperintah Allah untuk menjadi hamparan jalan yang nyaman bagi Nabi Musa dan para pengikutnya.
Di era modern, seperti dikisahkan oleh Dr. Abdullah Azzam di Afghanistan, banyak sekali bukti pembelaan Allah melalui tentaranya ketika kaum Muslimin berjuang mengusir tentara Soviet (1970-an). Abdullah Azzam menuliskan semua itu dalam buku Ayat-ayat Allah dalam Jihad Afghan (Ayaturrahman fi Jihadil Afghan). Hal yang sama juga terjadi di Bosnia, Chechnya, Palestina, maupun belahan bumi lainnya.

Kebersamaan
Peradaban di zaman apapun, selalu menjadikan alam sebagai mitranya. Bahkan sebagian orang sampai menyembah dewa-dewa yang diyakini menguasai alam. Tentu, dalam pandangan Islam menuhankan alam adalah kesalahan. Tetapi hal tersebut menunjukkan betapa ada hubungan yang kuat antara Tuhan, fitrah manusia, dan alam.
Kebersamaan manusia dengan alam telah ditetapkan Allah sejak pertama kali penciptaannya. Bumi dan seluruh isinya memang diciptakan untuk manusia. (Simak QS Al Baqarah: 29). Sementara manusia sendiri ditetapkan Allah sebagai khalifah yang ditetapkan mengelola bumi ini. (Simak QS Al Baqarah: 30). Maka prinsip kebersamaan manusia dengan bumi dan alam semesta harus dibangun melalui poros keimanan. Artinya, manusia tidak boleh menyekutukan Allah, durhaka, apalagi melawannya. Sebagaimana alam semesta juga tunduk dan patuh kepada Allah. Dengan begitu, seorang mukmin bertemu dengan Allah dalam satu identitas yang sama: keimanan. Lihatlah misalnya, penjelasan Allah berikut. ”Senantiasa bertasbih kepada Allah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (TQS Al Jumu’ah: 1).
Para ilmuwan telah banyak mengungkapkan betapa alam berada dalam sebuah gerak yang harmonis. Harun Yahya, ilmuwan dari Turki, banyak mengungkapkan tentang kinerja alam yang akan mengantarkan kita pada keagungan Allah. Alam tertata dalam sebuah tekstur yang indah, harmonis, dan seimbang. Karenanya manusia dilarang keras membuat kerusakan di muka bumi, menghancurkan alam, mengacaukan ekosistem, dan melanggar prinsip-prinsip keseimbangan itu. ”Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (TQS Al A’raaf: 56).
Dalam seluruh makna di atas itulah kita menghayati, bahwa alam semesta adalah tentara Allah yang beriman dan patuh kepada-Nya. Karenanya kita harus bersahabat dengan mereka, dalam ikatan iman dan ihsan. Bukan sebaliknya, malah membuat kerusakan, dosa, dan bangga menumpuk dosa di atasnya. ”Tidaklah musibah itu turun, kecuali lantaran dosa. Dan tidaklah ia bisa diangkat kecuali dengan taubat, ” kata Ali r.a. menasehati kita.
Langkah tak bijak terhadap alam berdampak pemanasan global. Cuaca dan iklim susah diprediksi seperti dulu. Bencana alam mengintai kapan saja, di mana saja, dalam berbagai bentuk. Maka, kita tidak sedang menggurui para korban bencana di ibu kota negara itu. Kita hanya mengingati diri sendiri. Untuk mawas diri, bijak mengelola alam semesta. Agar ia tidak menjelma menjadi bencana, menjadi tentara Allah karena kedurhakaan kita. ***
[Tulisan ini merupakan arsip dari tulisan yang telah dipublikasikan di Buletin Sajada, Lembaga Amil Zakat Lampung Peduli, sejak 2005]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pemimpin Ruhani (Asa dari Gaza)

Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik. ( QS Al Ankabut: 69 ) Segala cara sudah ditempuh untuk membendung dakwah Muhammad. Semuanya tidak membuahkan hasil. Kepanikan kaum musyrikin Makkah mencapai puncaknya ketika keluarga besar Muhammad, Bani Hasyim dan Bani al-Muththalib, berkeras melindungi Muhammad. Mereka lalu berkumpul di kediaman Bani Kinanah dan bersumpah untuk tidak menikahi Bani Hasyim dan Bani Muththalib, tidak berjual beli dengan mereka, tidak berkumpul, berbaur, memasuki rumah ataupun berbicara dengan mereka hingga mereka menyerahkan Muhammad untuk dibunuh. Kesepakatan zalim itu mereka tulis dalam lembar perjanjian (shahifah) dan digantungkan di rongga Ka’bah. Pemboikotan itu berjalan 3 tahun. Stok makanan mereka habis. Sementara itu kaum musyrikin tidak membiarkan makanan apapun yang masuk ke Mekk...

Tragedi Ponari

S esungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka pasti Allah akan mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya adalah neraka. Tidak ada orang-orang zalim itu seorang penolong pun. (QS Al-Maidah: 72). Belum lepas dari ingatan dengan hebohnya Ryan Sang Penjagal, Jombang kembali menjadi perhatian. Puluhan ribu orang tumplek-blek , minta diobati oleh Ponari, anak yang dianggap memiliki batu sakti. Maka drama kolosal yang konyol itu berlangsung. Sembari digendong tangan kanan dicelupkan ke wadah air pasien yang antri, tangan kiri Ponari sibuk bermain game dari ponsel. “Ponari itu diberi kelebihan oleh Tuhan,” kata seorang wanita yang datang jauh dari Sidoarjo. Tokoh agama yang tak jelas aqidahnya, membolehkan datang ke tempat Ponari. Begitulah, tak sekadar konyol, ini menjadi drama memilukan. Empat nyawa melayang karena berdesak-desakan. Karena capek, Ponari dirawat di rumah sakit—bahkan ia tak mampu mengobati dirinya sendiri. Menyimak beritanya, saya dil...

Pemimpin sebagai Pelayan

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat . ( TQS An Nisa: 58 ). Di zaman khalifah Umar bin Khattab, pada tahun ke-17 Hijriyah pernah terjadi bencana kelaparan yang mengerikan. Penyebabnya, di seluruh semenanjung Arab (Hijaz) tidak turun hujan selama 9 bulan dan hujan abu dari gunung berapi. Tanah menjadi hitam gersang penuh abu dan mematikan segala tanaman di atasnya. Tahun tersebut dinamai “Tahun Abu” (Amar-Ramaadah). Hewan-hewan yang ada kurus kering, tetapi karena lapar mereka sembelih dengan rasa jijik saking begitu buruknya. Penduduk di pedalaman ramai-ramai mengungsi ke Madinah. Umar sendiri ikut mengurus makanan penduduk Madinah dan para pengungsi. Ia turut mengolah roti dengan zaitun untuk dijadikan roti kuah. S...