Langsung ke konten utama

Moral ‘Matematik’ Al Quran

“Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa, Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Quran yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Quran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.”
(TQS Al Baqarah: 2,23)

Bilangan sembilan belas (malaikat penjaga) dalam Surah Al Mudatsir: 30 mengundang penasaran Rasyad Khalifah. Apalagi dalam ayat berikutnya, Allah nyatakan bahwa bilangan tersebut akan menjadi ”cobaan bagi orang kafir” dan ”menambah keyakinan bagi orang beriman.” Melalui beberapa perhitungan matematis, Rasyad menemukan bahwa bilangan 19 itu ternyata bukti sekaligus jaminan keotentikan Al Quran.
Sebagian dari surat-surat Al Quran diawali dengan huruf-huruf abjad seperti: alif laam miim, yaa sin, qaf, alif laam miim shaad, dan sebagainya. Di antara ahli-ahli tafsir ada yang menyerahkan pengertiannya kepada Allah karena dipandang termasuk ayat-ayat mutasyaabihaat, dan ada pula yang menafsirkannya. Golongan yang menafsirkannya ada yang memandangnya sebagai nama surat, dan ada pula yang berpendapat bahwa huruf-huruf abjad itu gunanya untuk menarik perhatian para pendengar supaya memperhatikan Al Quran itu, dan untuk mengisyaratkan bahwa Al Quran itu diturunkan dari Allah dalam bahasa Arab yang tersusun dari huruf-huruf abjad.
Penemuan Rasyad memberi ”jawaban” baru tentang makna huruf-huruf hija'iyah yang terdapat pada ayat awal beberapa surah dalam Al Quran tersebut. Adanya huruf hija’iyah tersebut adalah semacam kunci jaminan tidak berlebih dan atau berkurang satu huruf pun dari kata-kata yang digunakan dalam surah Al-Quran. Kesemuanya habis terbagi 19, sesuai dengan jumlah huruf-huruf B(i)sm Ali(a)h Al-R(a)hm(a)n Al-R(a)him—huruf a dan i dalam kurung tidak tertulis dalam aksara bahasa Arab—yang mengawali setiap surah Al Quran.
Sebagai contoh, huruf qaf yang merupakan awal dari surah ke-50 (Surah Qaaf), ditemukan terulang sebanyak 57 kali atau 3 X 19. Huruf-huruf kaf, ha', ya', 'ain, shad, dalam Surah Maryam, ditemukan sebanyak 798 kali atau 42 X 19. Huruf nun yang memulai surah Al-Qalam, ditemukan sebanyak 133 atau 7 X 19. Kedua, huruf ya' dan sin pada Surah Yasin masing-masing ditemukan sebanyak 285 atau 15 X 19. Kedua huruf tha' dan ha' pada surah Thaaha masing-masing berulang sebanyak 342 kali, sama dengan 19 X 18.
Bilangan-bilangan ini, yang dapat ditemukan langsung dari celah ayat Al Quran, oleh Rasyad Khalifah, dijadikan sebagai bukti keotentikan Al Quran. Karena, seandainya ada ayat yang berkurang atau berlebih atau ditukar kata dan kalimatnya dengan kata atau kalimat yang lain, maka tentu perkalian-perkalian tersebut akan menjadi kacau.
Subhanallah, betapa istimewanya Al Quran. “Sesungguhnya Kami yang menurunkan Al Quran dan Kamilah Pemelihara-pemelihara-Nya” (TQS Al Hijr: 9). Ternyata ada ”kaidah matematis” yang turut menjaganya. Padahal kita ketahui, Al Quran turun secara bertahap dalam kurun waktu 22 tahun lebih dan diterima Rasulullah saw. sebagai “respon/jawaban” atas hal-hal yang dialaminya.
Seringkali Al Quran "turun" secara spontan, guna menjawab pertanyaan atau mengomentari peristiwa. Misalnya pertanyaan orang Yahudi tentang hakikat ruh. Pertanyaan ini dijawab secara langsung, dan tentunya spontanitas tersebut tidak memberi peluang untuk berpikir dan menyusun jawaban dengan redaksi yang indah apalagi teliti. Namun demikian, setelah Al Quran rampung diturunkan dan kemudian dilakukan analisis serta perhitungan tentang redaksi-redaksinya, ditemukanlah hal-hal yang sangat menakjubkan. Ditemukan adanya keseimbangan yang sangat serasi antara kata-kata yang digunakannya, seperti keserasian jumlah dua kata yang bertolak belakang.
Abdurrazaq Nawfal secara khusus menulis tentang makna dan keserasian kata Al Quran ini dalam tiga jilid buku. Di antara sekian banyak contoh tentang keseimbangan tersebut, salah satunya adalah keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan antonimnya (lawan kata). Di antarany adalah al-hayah (hidup) dan al-maut (mati), masing-masing sebanyak 145 kali; al-naf' (manfaat) dan al-madharrah (mudarat); al-shalihat (kebajikan) dan al-sayyi'at (keburukan), masing-masing 167 kali; al-infaq (infak) dengan al-ridha (kerelaan), masing-masing 73 kali.

Tantangan Al Quran

Al Quran mempunyai sekian banyak fungsi. Di antaranya adalah menjadi bukti kebenaran Nabi Muhammad saw. Salah satu bukti kebenaran tersebut dikemukakan dalam berbagai tantangan kepada para penentangnya. Melalui firman-Nya pada Rasulullah, Allah menantang siapa pun yang meragukan untuk menyusun semacam Al Quran secara keseluruhan (Simak TQS Ath Thur: 34). Ada juga tantangan untuk menyusun sepuluh surah semacam Al Quran (Simak TQS Huud:13) atau menantang mereka yang kafir untuk menyusun satu surah saja semacam Al Quran (Simak TQS Yunus:38).
Terkait tantangan tersebut, Al Quran menegaskan, ”Katakanlah (hai Muhammad) sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al Quran ini, niscaya mereka tidak akan mampu membuat yang serupa dengannya, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain” (TQS Israa: 88).
Seorang ahli berkomentar bahwa tantangan yang sedemikian lantang ini tidak dapat dikemukakan oleh seseorang kecuali jika ia memiliki satu dari dua sifat: gila atau sangat yakin.
Nabi Muhammad saw. sangat yakin akan wahyu-wahyu Alah tersebut. Lantas bagaimana dengan diri kita? Tanpa perlu ragu kita dapat mengiyakan pertanyaan ini untuk sama dengan Rasulullah saw. Begitulah. Seperti yang ditulis oleh almarhum Abdul-Halim Mahmud, mantan Syaikh Al-Azhar itu, "Para orientalis yang dari saat ke saat berusaha menunjukkan kelemahan Al-Quran, tidak mendapatkan celah untuk meragukan keotentikannya."

Kalkulasi ala Al Quran
Menghadirkan kembali ingatan tentang kebenaran Al Quran terasa penting adanya. Bertepatan dengan MTQ ke-35 (?) se-Provinsi Lampung yang pekan ini dilaksanakan di Bandar Lampung, kita ingin ada apresiasi lebih untuk menjadikan Al Quran sebagai sumber inspirasi dan pedoman hidup.Hidup secara pribadi, bermasyarakat, juga bernegara. Ya. Hari-hari yang serasa sulit kita lalui saat ini, salah satu penyebabnya, adalah belum adanya kesamaan landasan pedoman secara kolektif untuk menyelesaikan masalah. Atas dasar apa kita mengambil keputusan, sejauhmana landasan itu kita yakini dapat betul-betul menyelesaikan persoalan.
Al Quran telah menunjukkan banyak bukti yang membuatnya paling layak sebagai pedoman hidup—dalam bentuk ilmiah dan tinjauan sejarah. Kalkulasi matematis dan “logika angka” Al Quran seperti yang diungkapkan Rasyad Khalifah di muka, adalah salah satu bagian yang selayaknya meneguhkan keyakinan kita.
Kita seringkali dirundung kelemahan tatkala memikirkan betapa banyaknya pelaku kerusakan dibandingkan para pelaku kebaikan. Dalam fikiran kita, sedikitnya bilangan orang yang berbuat baik adalah pertanda kekalahan. Inilah ‘logika angka’ yang ditentang Al Quran. “Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mukmin untuk berjuang.. Jika ada dua puluh orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan seribu dari pada orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti.” (TQS AL Anfal: 65).
Ketika perjuangan menuntut pengorbanan harta (lewat kewajiban ZIS), ‘logika angka’ kita mengarahkan kita kepada sifat kikir. Bersedekah kita anggap akan mengurangi harta kita. Padahal, menyuburkan sedekah adalah bagian penting untuk melanggengkan kenikmatan harta tersebut, sewaktu kita masih di dunia maupun di akhirat kelak. “Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.” (TQS Al Baqarah: 245).
‘Logika angka’ dalam bersedekah ditegaskan dalam ayat berikutnya. “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (TQS Al Baqarah 261).
Sejarah cukup menjadi saksi bahwa ahli-ahli falak, kedokteran, kimia, ilmu pasti, dan lain-lain cabang ilmu pengetahuan, telah mencapai hasil yang mengagumkan di masa kejayaan Islam. Mereka itu adalah ahli-ahli dalam bidang tersebut sedang di saat yang sama mereka juga menjalankan kewajiban agama Islam dengan baik.Tiada pertentangan antara kepercayaan yang mereka anut dengan hasil penemuan mereka, yang dapat dikatakan baru ketika itu—bahkan sebagian dari hasil-hasil karya mereka masih dipelajari di negara-negara modern hingga sekarang ini. Al Qur’an adalah maha karya yang telah membimbing mereka menuju kejayaan.
Saat ini, sesungguhnya kita punya karunia yang luar biasa untuk dapat berjaya. Ini tinggal masalah pilihan untuk menjadikannya sebagai pedoman. Atau, kita malah masih terus berpaling, sebagaimana yang disinggung secara repetitif (berulang) dalam Al Qur’an, “Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang (masih) kamu dustakan?” (TQS Ar Rahman)***

[Tulisan ini merupakan arsip dari tulisan yang telah dipublikasikan di Buletin Sajada, Lembaga Amil Zakat Lampung Peduli, sejak 2005]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PETAKA KUASA DUSTA

”Jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu-bapak dan kaum kerabatmu...Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” (TQS An Nisaa: 135). Ini kisah menurut La Fontaine dalam Fables et Epitres. Dunia margasatwa diserang wabah penyakit. Diduga wabah itu merupakan azab Tuhan karena kejahatan penghuni dunia itu. Baginda Singa, tokoh nomor satu di kerajaan rimba, dengan memelas mengakui, ”Akulah penyebab segala bencana ini. Pekerjaanku memakan warga yang lemah seperti domba dan kambing.” Serigala membantah. ”Bukan demikian, Baginda tidak salah.” Yang dilakukan singa adalah implikasi dari kekuasaan. Memakan warga adalah bagian resiko yang harus diambil dari kebijakan yang dibuat pemimpin. Seorang demi seorang dari pembesar margasatwa bergilir mengakui kesalahannya. Pengadilan selalu memutuskan mereka tak bersalah

“Robohnya Masjid Kami” [Kritik Memakmurkan Masjid]

“Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allah dalam masjid-masjid-Nya, dan berusaha untuk merobohkannya? Mereka itu tidak sepatutnya masuk ke dalamnya (masjid Allah), kecuali dengan rasa takut (kepada Allah). Mereka di dunia mendapat kehinaan dan di akhirat mendapat siksa yang berat.” (TQS Al Baqarah: 114) Masjid itu dindingnya dari tanah liat. Tiangnya batang kurma, lantainya pasir, dan atapnya pelepah kurma. Maka, di suatu hari kaum Anshar mengumpulkan harta dan mendatangi Rasulullah saw.. "Wahai Rasulullah, bangunlah masjid dan hiasilah seindah-indahnya dengan harta yang kami bawa ini. Sampai kapan kita harus salat di bawah pelepah kurma?" Rasulullah menjawab, "Aku ingin seperti saudaraku Nabi Musa, masjidku cukup seperti arisy (gubuk tempat berteduh) Nabi Musa a.s.” Dijelaskan oleh Hasan r.a. menjelaskan bahwa ukuran arisy Nabi Musa a.s. adalah bila Rasulullah saw. mengangkat tangannya maka atapnya akan tersentuh Hadits ya

Saat Bencana Tak Menyadarkan Kita

“Belumkah datang kepada mereka berita penting tentang orang-orang yang sebelum mereka, (yaitu) kaum Nuh, 'Aad, Tsamud, kaum Ibrahim, penduduk Madyan dan negeri-negeri yang telah musnah? Telah datang kepada mereka rasul-rasul dengan membawa keterangan yang nyata, maka Allah tidaklah sekali-kali menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (QS At Taubah: 70) Selayaknya, hari itu adalah waktu libur yang menyenangkan. Pesisir pantai Aceh punya pesona menarik sebagaimana pantai lainnya di pesisir Samudera Indonesia. Pagi yang cerah. Menawarkan selera untuk bercengkerama dengan keluarga, sembari menikmati indahnya panorama pantai. Namun, malang tak dapat ditolak untung tak dapat diraih. Semuanya berubah menjadi peristiwa yang memilukan. Tiba-tiba bumi berguncang dahsyat, gempa mengundang panik semuanya. Belum sirna rasa terkejut itu, riuh rendah orang berteriak, “Air, air..., air datang!“ Kita selanjutnya menyaksikan ribuan mayat bergelimpangan, berbagai