Langsung ke konten utama

PEDULI GENERASI

“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak (generasi) yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (keselamatan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.”
(QS An Nissa: 9).

Keempat bocah itu merengek ingin pulang. Sudah berbilang bulan mereka menghuni dinginnya hotel prodeo. Mereka bukan sedang bermain petak umpet. Mereka sedang terlilit kasus hukum yang membuat miris perasaan. Bagi orang tua yang peka, kisah mereka membuat berdiri bulu kuduk.
Empat bocah itu adalah siswa kelas VI SD Negeri Gandusari, Trenggalek yang didakwa kasus pemerkosaan. Hasil pemeriksaan dan visum dokter membuktikan mereka telah menggilir teman perempuan mereka. Secara bersama-sama, berulangkali mereka lakukan sejak pertengahan Mei 2006.
Kisah kejahatan anak yang dikutip dari satu koran nasional ini hanya sebuah contoh potret buram generasi. Koran harian rasanya tak pernah jeda mengabarkan berita semacam ini. Yang tambah membuat miris, amat jarang penanganan hukum untuk kejahatan anak berujung positif. Penelitian Komnas Perlindungan Anak, mereka yang mempunyai riwayat kejahatan semasa kecilnya akan mengulanginya kala dewasa. Hukuman penjara malah mempercepat proses kematangannya menjadi penjahat sebenarnya.
Ini benar-benar mimpi buruk. Di negeri yang rakyatnya belum kunjung selesai dirundung kesulitan ekonomi, bayangan generasi yang rapuh moralnya menjadi masalah tambahan yang tak kalah runyam. Ini bukan lagi sekadar tuntutan kepintaran menyusun menu makan harian karena terbatasnya dana. Ini sudah menyangkut makin hilangnya rasa aman, bahkan untuk sekadar bermain anak-anak kita. Tak jarang ini menimbulkan kekagetan yang sangat. Ya, seperti kisah pilu dari koran lokal ini. Di sebuah kampung di Lampung Barat, seorang balita, sepulang TK diantar (digendong) anak belasan tahun. Namun, tengah jalan di sebuah kebun, balita tersebut diturunkan dari gendongan. Si balita diperkosa sampai pingsan. Ibunya yang memergoki, saking kagetnya, menyusul pingsan.
Mengapa kejahatan yang pelakunya anak-anak semakin marak terjadi? Yang pasti, perilaku mereka bukan muncul dari ruang yang kosong. Mereka mendapati ide dari menonton berita kriminal di TV dan VCD o yang amat mudah mereka dapat. Karakter imitatif (meniru) mereka menemukan tempat yang subur.

Degradasi

Ini cerita sedih yang lain. Pengarang senior perempuan NH Dini, sewaktu masih di Perancis, mendapat kiriman sebuah novel Indonesia (yang mendapat penghargaan karya sastra) dari mendiang Ramadhan KH. Novel tersebut. Karena tidak “kuat,” Ramadhan meminta NH Dini membaca novel tersebut. “Dan benar, saya juga hanya ‘kuat’ membaca beberapa lembar saja. Saya kemudian berfikir, apa bagusnya novel ini, kok sampai mendapat penghargaan?,” tutur NH Dini.
Saat ini, menurut NH Dini, ada yang ganjil dalam dunia sastra. Entah mengapa ada sekelompok penulis perempuan yang giat menulis cerita bergaya ografi. Seperti sudah tidak ada lagi rasa risi dan malu. NH Dini lebih terkejut lagi, ketika bertemu seorang rohaniawan, dia malah memuji novel tersebut. Keganjilan ini bertambah miris bila kita bandingkan dengan fenomena di negara lain. Di Malaysia, penulis yang mem okan karyanya adalah penulis pria. Kebalikannya di Indonesia. Penulis semacam itu mayoritas perempuan. “Wah, pengarang Indonesia berani-berani. Kok, mereka tidak malu,’ kata seorang kritikus Malaysia kepada Taufiq Ismail.
Dunia kepenulisan sastra, terjangkit virus ganas ografi. Dalam pidato kebudayaan di Taman Ismail Marzuki, akhir tahun lalu, Taufiq Ismail menengarai bahaya Gerakan Syahwat Merdeka. ”Ia tidak bersosok organisasi resmi dan tidak berdiri sendiri. Tetapi mereka bekerjasama melalui jaringan dunia, dengan kapital raksasa mendanai, ideologi gabungan yang melandasi, dan banyak media massa cetak dan elektronik menjadi pengeras suaranya,” tutur Taufiq. Hilangnya rasa malu telah mulai meruntuhkan bangunan bangsa. Tagihan rekening reformasi ternyata mahal sekali. Kebebasan berekspresi berdampak buruk pada perilaku masyarakat. ografi secara nyata memotivasi orang berperilaku kriminal.

Proteksi

Dampak buruk tontonan yang tidak mendidik itu beragam. Ada yang langsung membuat seseorang melakukan kejahatan. Ada yang merusak pola fikir seseorang. Degradasi moral para penulis sastra, seperti yang dikeluhkan NH Dini, adalah dampak tidak langsung ografi yang sudah berkelindan di sekitarnya.
Di sebuah negeri yang disiplin sosial dan penegakan hukumnya lemah, kita tidak dapat banyak berharap dari orang lain. Kita tak bisa berharap dari UU ografi yang tak jelas kabarnya sampai saat ini. Ya. Ini menuntut kepedulian setiap pribadi. Sebelum nasi menjadi bubur, sebelum kejahatan itu benar-benar hadir di depan mata kita, sebelum anak-anak kita menjadi korban. Na’udzubillah, kita berlindung kepada Allah. Sulit dibayangkan, seandainya kejahatan seperti di atas menimpa anak-anak atau saudara kita.
Kita perlu menciptakan lingkungan yang kondusif bagi anak-anak kita. Matikanlah teve. Hidupkanlah ala kadarnya. Cobalah untuk semakin banyak berinteraksi langsung dengan anak-anak. Kita perlu bercengkerama dengan mereka, secara alamiah, bukan dari dagelan TV yang menonjolkan sensualitas dan konotasi jorok itu.
”Manusia itu anak lingkungannya.” Begitu bunyi sebuah atsar. Perilaku yang muncul dari seseorang itu sangat tergantung dengan siapa ia berinteraksi. Didikan orang tua kadang tak berarti banyak terhadap perlaku anak bila tidak diiringi dengan upaya menciptakan ruang bermainnya. Moralitas berbeda dengan intelektualitas. Jika ada prestasi belajar anak bisa didapat di ruang kelas sekolah, belum tentu dengan moralnya. Banyak sekolah yang menjadi momok bagi kebanyakan murid. Sekolah seringkali banyak membebani anak dengan PR atau tuntutan prestasi yang hanya terukur lewat nilai rapor. Ia mungkin pintar secara intelektual tetapi (bisa jadi) miskin secara moral.
Lingkungan sebenarnya bagi anak adalah rumah dan warga sekitarnya. Bila baik anggota masyarakat di lingkungan ia berinteraksi, itu adalah alamat kebaikan. Bila tidak, itu alamat keburukan. Maka ada tuntutan dari kita sendiri untuk menciptakannya. Kita tidak mungkin mengasingkan diri dari lingkungan sekitar. Kita harus terlibat untuk menciptakan lingkungan yang baik di sekitar kita, untuk puteri-puteri kita.
Ketika Rasulullah hijrah ke Madinah, beliau singgah di Quba. Waktu yang sebentar itu langsung dimanfaatkan Rasul untuk membangun masjid. Menurut Said Ramadhan Al Buthi, itu adalah ibrah (pelajaran) tentang keutamaan masjid sebagai dasar membangun peradaban.
Saat ini, ada satu lingkungan yang kondusif membangun moral generasi: masjid. Di sanalah ”ruang bermain” itu bisa dibuat. Lewat pengajaran baca tulis Al Quran, kegiatan pengajian remaja yang dikemas kreatif-atraktif, dan seterusnya. Dari sanalah ketergantungan terhadap televisi (dan media merusak yang lain) bisa dikurangi. Memakmurkan masjid—yang dipahami dengan cakupan kegiatannya yang luas/menyeluruh—menjadi kewajiban yang tak bisa ditawar. Generasi muda Islam harus akrab dengan masjid. Generasi tua (para pengurus masjiid dan jamaah) bertanggung-jawab mendukungnya. Berawal dari hal itu, insya Allah, masa depan generasi muda Islam yang amoral hanya menjadi mimpi buruk yang tak pernah menjadi kenyataan.***

[Tulisan ini merupakan arsip dari tulisan yang telah dipublikasikan di Buletin Sajada, Lembaga Amil Zakat Lampung Peduli, sejak 2005]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Saat Bencana Tak Menyadarkan Kita

“Belumkah datang kepada mereka berita penting tentang orang-orang yang sebelum mereka, (yaitu) kaum Nuh, 'Aad, Tsamud, kaum Ibrahim, penduduk Madyan dan negeri-negeri yang telah musnah? Telah datang kepada mereka rasul-rasul dengan membawa keterangan yang nyata, maka Allah tidaklah sekali-kali menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (QS At Taubah: 70) Selayaknya, hari itu adalah waktu libur yang menyenangkan. Pesisir pantai Aceh punya pesona menarik sebagaimana pantai lainnya di pesisir Samudera Indonesia. Pagi yang cerah. Menawarkan selera untuk bercengkerama dengan keluarga, sembari menikmati indahnya panorama pantai. Namun, malang tak dapat ditolak untung tak dapat diraih. Semuanya berubah menjadi peristiwa yang memilukan. Tiba-tiba bumi berguncang dahsyat, gempa mengundang panik semuanya. Belum sirna rasa terkejut itu, riuh rendah orang berteriak, “Air, air..., air datang!“ Kita selanjutnya menyaksikan ribuan mayat bergelimpangan, berbagai

PETAKA KUASA DUSTA

”Jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu-bapak dan kaum kerabatmu...Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” (TQS An Nisaa: 135). Ini kisah menurut La Fontaine dalam Fables et Epitres. Dunia margasatwa diserang wabah penyakit. Diduga wabah itu merupakan azab Tuhan karena kejahatan penghuni dunia itu. Baginda Singa, tokoh nomor satu di kerajaan rimba, dengan memelas mengakui, ”Akulah penyebab segala bencana ini. Pekerjaanku memakan warga yang lemah seperti domba dan kambing.” Serigala membantah. ”Bukan demikian, Baginda tidak salah.” Yang dilakukan singa adalah implikasi dari kekuasaan. Memakan warga adalah bagian resiko yang harus diambil dari kebijakan yang dibuat pemimpin. Seorang demi seorang dari pembesar margasatwa bergilir mengakui kesalahannya. Pengadilan selalu memutuskan mereka tak bersalah

“Robohnya Masjid Kami” [Kritik Memakmurkan Masjid]

“Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allah dalam masjid-masjid-Nya, dan berusaha untuk merobohkannya? Mereka itu tidak sepatutnya masuk ke dalamnya (masjid Allah), kecuali dengan rasa takut (kepada Allah). Mereka di dunia mendapat kehinaan dan di akhirat mendapat siksa yang berat.” (TQS Al Baqarah: 114) Masjid itu dindingnya dari tanah liat. Tiangnya batang kurma, lantainya pasir, dan atapnya pelepah kurma. Maka, di suatu hari kaum Anshar mengumpulkan harta dan mendatangi Rasulullah saw.. "Wahai Rasulullah, bangunlah masjid dan hiasilah seindah-indahnya dengan harta yang kami bawa ini. Sampai kapan kita harus salat di bawah pelepah kurma?" Rasulullah menjawab, "Aku ingin seperti saudaraku Nabi Musa, masjidku cukup seperti arisy (gubuk tempat berteduh) Nabi Musa a.s.” Dijelaskan oleh Hasan r.a. menjelaskan bahwa ukuran arisy Nabi Musa a.s. adalah bila Rasulullah saw. mengangkat tangannya maka atapnya akan tersentuh Hadits ya