Langsung ke konten utama

Kembali ke Syariah Islam

”Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.”
(QS Al Baqarah: 208).

Apa yang Anda bayangkan jika mendengar pernyataan tentang penerapan syariah (hukum) Islam? Kata-kata syariah Islam—juga Negara Islam, bukan hanya memasuki pembicaraan kontroversial (silang-pendapat). Bagi sebagian orang, syariah Islam bahkan menjadi ”momok” yang sangat ditakuti. Syariah Islam diidentikkan dengan potong tangan bagi pencuri, hukum rajam bagi yang berbuat selingkuh, hukum dera bagi pemabuk, dan semacamnya. Ada anggapan bahwa penerapan syariah Islam juga akan membuat wanita menjadi warga negara kelas kambing, dinomor duakan, tidak mendapat ruang yang leluasa di ruang publik, serta berbagai pembatasan yang lain.
Jika anggapan tentang syariah Islam seperti di atas masih kita punyai, rasanya kita perlu menyingkirkan dulu pemahaman tersebut. Terlalu sempit, jika syariah Islam hanya dipahami seperti itu. Kita penting menunjukkan bahwa Islam bukanlah seperti yang ditakuti oleh mereka yang belum paham Islam. Islam juga bukan ”agama anti kemajuan” sebagaimana digambarkan oleh musuh-musuh Islam yang hatinya mengidap penyakit; juga bukan seperti yang dilukiskan oleh media massa Barat yang mengekspos Islam dengan berbagai kebohongan. Islam adalah agama yang teduh, yang mengayomi seluruh umat manusia, tanpa kecuali. Justeru di bawah naungan Islam, manusia dapat hidup dengan aman dan damai.
Dewasa ini, perlahan namun pasti, sebenarnya kita dihadapkan pada kenyataan untuk semakin akrab dengan syariah Islam. Paling sederhana, kita dapat mengambil contoh jilbab. Rasanya tak ada lagi anggapan minor tentang jilbab di dunia modern ini. Ada banyak manfaat positif yang diperoleh dari pemakaian busana penutup aurat ini. Para wanita banyak memilih mengenakan jilbab dengan sukarela, tanpa paksaan.
Contoh yang lain, dunia perbankan. Telah banyak bermunculan bank syariah. Dari yang keseluruhan berdasar sistem syariah, atau yang membuka cabang/unit syariah. Bermula dari Bank Muamalat Indonesia (BMI), menyusul Bank Syariah Mandiri (BSM), dan Bank Syariah Mega Indonesia (BSMI). Deretan bank ternama seperti Bank BRI, BNI, Danamon, BII, Bukopin, HSBC, serta beberapa bank daerah, juga telah membuka unit syariah. Bank BCA dalam waktu dekat juga menyusul. Hampir tak ada beda fasilitas layanan yang diberikan oleh bank syariah. Bagi hasilnya kompetitif. Dengan mudah kita bisa melakukan tarik tunai di seluruh mesin ATM atau mesin debit. Bahkan, untuk beberapa tempat, ada kenyamanan tambahan yang bisa diperoleh di bank syariah: tak ada antrian panjang. Kebiasaan antri setoran berjam-jam di bank konvensinal (baca: bank riba) bisa ditinggalkan (Anak-anak muda dengan jenaka punya sindiran pas: Antri..? Capek dech...). Sebagai contoh, di Bank Muamalat setoran tunai bisa dilakukan di kantor pos. Kebijakan terbaru BI tentang office chanelling, juga menambah kemudahan bagi kita untuk melakukan setoran tunai di kantor-kantor bank konvensional. Tampaknya tak ada lagi alasan lagi bagi kita untuk menyanggah fatwa haram dari Majelis Ulama Indonesia tentang hukum menabung di bank konvensional.
Publik menerima sistem ekonomi syariah tanpa ada resistensi (penolakan) berarti. Media massa juga memberi apresiasi positif. Bahkan untuk ukuran lokal, koran Lampung Post sudah mempunyai rubrik khusus ekonomi syariah setiap pekan. Saat ini, tak hanya warga Muslim yang menjadi nasabah. Warga non-Muslim juga telah banyak yang menjadi nasabah bank syariah.
Jilbab dan ekonomi non-riba adalah salah satu bagian syariah Islam. Walhasil, sebenarnya saat ini kita telah melihat penerapan salah satu syariah Islam dengan mudah.

Solusi Pembangunan
Mengetengahkan penerapan syariah Islam—dengan cara yang bijak—penting terus kita lakukan. Banyak permasalahan dalam kehidupan bermasyarakat dan negara yang perlu penyelesaian menyeluruh (komprehensif). Penerapan ekonomi Islam dapat kita usung sebagai bagian dalam menghadirkan penyelesaian tersebut.
Kemiskinan dan pengangguran adalah problem yang belum terselesaikan (berkurang) sampai saat ini. Seperti pada pekan-pekan seputar peringatan hari kemerdekaan RI yang lalu. Enam puluh dua tahun merdeka, ditandai dengan kesulitan warga mendapat minyak tanah. Warga antri, mengular sampai berjam-jam, untuk sekadar mendapat 5 liter minyak tanah. Di Lampung, masalah kemiskinan juga menjadi problem krusial. Belum lama, provinsi ini malah ’mengukir prestasi’ sebagai daerah termiskin kedua di Sumatera. Berdasarkan data yang ada, tingkat kemiskinan tahun 2006 mencapai angka 39,5 persen, lebih tinggi daripada angka kemiskinan tahun 2005 yang mencapai 35,1 persen. Belum terlihat trend positif di tahun 2007.
Kalau kita mau merenungkan kembali perjalanan bangsa ini, maka sesungguhnya penyebab utama keterpurukan ini adalah akibat jauhnya kita dari tuntunan ajaran Allah swt. Kita sudah terlalu sering bermain-main dengan ayat-ayat-Nya. Sekaranglah saatnya untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan seraya menjalankan hukum-Nya.
Sekaranglah momentum yang tepat untuk merefleksikan ajaran Islam dalam pembangunan ekonomi bangsa ke depan. Harus disadari bahwa sistem kapitalis telah gagal menciptakan kesejahteraan yang hakiki. Bunga (riba), sebagai "nyawa" sistem ekonomi modern, justru menjadi sumber utama penyebab mandeknya sektor riil. Ia adalah sumber penyebab terkonsentrasinya kekayaan di tangan segelintir kelompok (perhatikan TQS Ar Rum: 39 dan TQS Al-Hasyr: 7).
Bunga juga merupakan penyebab keluarnya uang dari peredaran. Padahal, peredaran uang adalah ibarat peredaran darah dalam tubuh kita. Ketika pembuluh darah mengalami berbagai sumbatan dan penyempitan, maka akan menimbulkan berbagai penyakit dalam tubuh. Dengan bunga, orang akan lebih terdorong untuk menyimpan uangnya di bank atau sektor keuangan daripada menginvestasikannya di sektor riil.
Ini fakta menyakitkan. Dunia perbankan kita sebenarnya banyak yang hanya ”berternak uang” melalui Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Ratusan triliun uang hanya diparkir dengan disimpan di SBI untuk mendapat bunganya. Amat sedikit uang yang disalurkan ke masyarakat lewat sektor riil. Sebagai bukti, penyaluran kredit selama tahun 2006 hanya 14,1 persen. Di sisi lain pendapatan bunga perbankan nasional dari SBI selama tahun 2006 tumbuh 125 persen, dari Rp8,03 triliun menjadi 18,09 triliun. Menurut Gubernur Bank Indonesia (BI) Burhanuddin Abdullah, per Februari 2007 saja, posisi SBI telah menempati angka 237 triliun rupiah.
Dana yang menganggur tersebut harus dibayar bunganya oleh BI dengan tingkat bunga 9 persen. Setiap tahun setidaknya ada beban bunga sekitar Rp27 triliun yang harus dibayar BI. Ironis sekali memang, di satu sisi perbankan menikmati peningkatan keuntungan, sementara negara melalui BI harus membayar bunga. Padahal, pada sisi lain kita melihat betapa banyak warga masyarakat yang haus akan lapangan pekerjaan. Itu hanya bisa didapat apabila ada kegiatan ekonomi dan salah satu yang seharusnya bisa ikut memutar roda ekonomi adalah dana yang ada di perbankan.
Yang tak kalah runyam, bukan cuma perbankan yang menyimpan dana di SBI, sejumlah pemda di tanah air juga telah menitipkan dananya di SBI karena tergiur dengan keuntungan tersebut. Sehingga dengan kondisi yang demikian maka bisa dipastikan untuk pembangunan fisik dan ekonomi di daerah berbagai daerah akan ikut terhambat. Dana yang seharusnya diperuntukkan dalam membiayai berbagai pembangunan dan diharapkan dapat berperan aktif dalam mendongkrak perekonomian daerah dan nasional tidak dapat direalisasikan efektif.
Maka menjadi maklumlah kita, mengapa Islam sangat mencela pelaku riba (bunga). ”Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (TQS Al Baqarah: 275).
Ketika ulama menerangkan yang dimaksud perbuatan keji (faahisyah) dalam QS Al Imraan: 135 yang berkaitan dengan QS Al Baqarah: 275, faahisyah ialah dosa besar yang mana mudharatnya tidak hanya menimpa diri sendiri tetapi juga orang lain, yaitu zina dan riba. Begitulah, sistem riba dalam Islam dikategorikan sebagai perbuatan keji yang punya efek buruk kepada orang lain.
Berbeda dengan bagi hasil. Dalam sistem ini orang akan dipacu untuk terus berinvestasi karena return atau laba yang akan ia terima sangat tergantung pada investasi yang dilakukannya. Bahkan menabung di bank syariah, terutama dalam bentuk deposito dan tabungan mudarabah (bagi hasil), merupakan salah satu bentuk investasi. Akad-akad dalam praktek keuangan syariah pada hakekatnya merupakan akad-akad di sektor riil.
Tidak mungkin mudarabah dan musyarakah (keikutsertaan investasi) akan eksis kalau tidak ada jenis usaha riil yang dilakukan. Tidak mungkin pula akad mudarabah akan terlaksana kalau tidak ada barang riil yang diperjualbelikan. Begitu pula dengan akad-akad lainnya. Sektor keuangan akan selalu bersesuaian dengan sektor riil. Maju mundurnya sektor keuangan sangat ditentukan oleh maju tidaknya sektor riil. Filosofi yang sama tidak akan pernah kita temukan pada konsep ekonomi konvensional.
Prof. Didin Hafidhudin mempunyai keyakinan bahwa mengembangkan ekonomi syariah merupakan satu-satunya jawaban untuk mengeluarkan bangsa ini dari keterpurukan ekonomi. Menilik buruknya praktik sistem konvensional, rasanya hal tersebut tak berlebihan. Problem keterpurukan umat saat ini adalah faktor ekonomi. Saat ekonomi bangkit, maka kejayaan umat itu tinggal menunggu waktu. Dan, Islam sudah punya resep untuk bangkit dari keterpurukan ini.
Perlahan tapi pasti, diawali dari aspek sosial dan ekonomi, syariah Islam tampak menjadi bagian yang akrab dan ramah dalam keseharian kita. Kita berharap, ini juga menjadi penting bagi masyarakat luas untuk menerima syariah Islam secara keseluruhan. Kita ingin ada penilaian jujur dan pemihakan pada seluruh hukum-hukum yang bersandar wahyu Allah. Saat ini, kita juga dihadapkan pada masalah kejahatan dan berbagai perilaku kriminal yang pelik. Hukum positif tak menunjukkan dampak yang berarti. Para mantan napi (residivis) malah banyak yang semakin jahat setelah keluar dari Lembaga Pemasayarakatan (LP). Tanpa perlu menyebut sumber informasinya, kita rasanya sudah mafhum, bahwa penjara (LP) malah menjadi sekolah kejahatan. Jaringan pengedar narkoba (bahkan pabriknya!) berada dan dikendalikan dari penjara. Banyak yang tidak merasa jera setelah menjalani hukuman. ”Kerasnya” hukum Islam seperti qishaash atau rajam, semoga bisa lebih dipahami dalam rangka menimbulkan efek jera dan bentuk antisipatif.
”Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.” (TQS Al Baqarah: 179). ***


[Tulisan ini merupakan arsip dari tulisan yang telah dipublikasikan di Buletin Sajada, Lembaga Amil Zakat Lampung Peduli, sejak 2005]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ramadhan: Saatnya Hijrah

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (TQS Ar Ruum: 30). Ini kabar gembira dari istana Cankaya, Istambul, Turki. Selasa (28/8) Abdullah Gul dilantik menjadi presiden ke-11 Turki. Istimewanya, ia didampingi oleh isteri yang berjilbab. Hayrunnisa Gul adalah Ibu Negara Turki pertama yang memakai jilbab. “Jilbab hanya menutupi kepala, bukan otak saya,” tegas ibu yang dikenal cerdas, berpenampilan hangat, elegan, dan menghindari sorotan media massa ini (Republika, 29/8). Jilbab memang sempat menjadi alasan untuk menjegal pencalonan Abdullah Gul. Turki, negara sekuler (memisahkan agama dalam pemerintahan) yang dibentuk Kemal Ataturk ini secara resmi memang masih melarang jilbab dipakai di instansi pemerintah. Kaum sekuler menilai jilbab tak patut menghiasi Istana Cankaya yang diangga...

Pemimpin Ruhani (Asa dari Gaza)

Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik. ( QS Al Ankabut: 69 ) Segala cara sudah ditempuh untuk membendung dakwah Muhammad. Semuanya tidak membuahkan hasil. Kepanikan kaum musyrikin Makkah mencapai puncaknya ketika keluarga besar Muhammad, Bani Hasyim dan Bani al-Muththalib, berkeras melindungi Muhammad. Mereka lalu berkumpul di kediaman Bani Kinanah dan bersumpah untuk tidak menikahi Bani Hasyim dan Bani Muththalib, tidak berjual beli dengan mereka, tidak berkumpul, berbaur, memasuki rumah ataupun berbicara dengan mereka hingga mereka menyerahkan Muhammad untuk dibunuh. Kesepakatan zalim itu mereka tulis dalam lembar perjanjian (shahifah) dan digantungkan di rongga Ka’bah. Pemboikotan itu berjalan 3 tahun. Stok makanan mereka habis. Sementara itu kaum musyrikin tidak membiarkan makanan apapun yang masuk ke Mekk...

Kapan Kita Berhenti Merokok? (Haramnya Rokok)

Dan janganlah kamu membinasakan diri kamu sendiri; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. ( TQS An Nisa’: 29 ) Hadir dalam acara syukuran haji tetangga, saya mendengar kisah menarik tentang ”razia” di Masjid Nabawi, Madinah. Di pintu masuk ke masjid, ada para penjaga yang mengawasi datangnya jamaah. Bila mendapati jamaah yang merokok, mereka menegur keras, ”Haram, haram!” seraya merampas rokok. Jauh hari sebelum fatwa MUI, ulama di Arab Saudi telah menetapkan haramnya rokok. Ketetapan tersebut ditindaklanjuti, salah satunya, dengan pelarangan di masjid. Jumhur ulama di berbagai negara di Timur Tengah, juga Malaysia dan Brunei Darussalam; telah memfatwakan keharaman rokok. Cepat atau lambat—kebetulan, Indonesia termasuk yang terlambat—rokok akan menjadi masalah yang menjadi perhatian penting para ulama. Menurut Ahmad Sarwat (pengelola rubrik konsultasi syariah situs eramuslim.com), awalnya memang belum ada ulama yang mengharamkan rokok, kecuali hanya memakruhkan. Namun das...