Langsung ke konten utama

Orang-orang Kalah (Refleksi Pilkada Lampung 2008)

“Dan janganlah kamu tukar perjanjianmu dengan Allah dengan harga yang sedikit (murah), sesungguhnya apa yang ada di sisi Allah, itulah yang lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”
(TQS An Nahl: 95).

Lampung memilih. Pekan mendatang adalah saat bersejarah bagi masyarakat Lampung. Untuk kali pertama dalam sejarah, gubernur dipilih langsung. Lebih dari 5 juta rakyat akan menentukan pilihan, untuk masa depannya.
Pekan mendatang adalah saat-saat menegangkan. Terutama bagi mereka yang berlaga untuk menjadi orang pertama, di provinsi ini. Ya. Setelah sebelumnya menjalani hari-hari yang menguras tenaga dan biaya. Bilik suara seolah menjadi ujung cerita. Suka atau duka. Menang atau kalah. Manis atau tragis.
Saya ingin kisah berikut ini mendapat penghayatan mendalam. Sampai kemudian (semoga) perenungan itu mengarah pada pemaknaan kaaffah (integral, holistik), tentang sejatinya menang-kalah. Tidak hanya bagi mereka yang berkompetisi menjadi gubernur, tapi untuk kita semua. Bukan hanya di moment pilkada, tapi dalam keseharian kita.

***
Pada suatu hari Nabi Isa a.s. berjalan dengan seorang temannya. Sampai di tepi sungai, istirahatlah mereka membuka perbekalan. Ada tiga potong roti terhidang. Isa satu potong, satu potong untuk temannya, tersisa satu potong. Kemudian ketika Nabi Isa pergi minum ke sungai dan kembali, roti yang sepotong itu tidak ada. Kelebihannya sebagai Nabi, sebenarnya Isa a.s. tahu siapa yang mengambil.
Beliau bertanya kepada temannya, "Siapakah yang telah mengambil sepotong roti tadi?"
Jawab temannya itu, "Aku tidak tahu."
Jawaban tersebut dibiarkan Nabi Isa. Keduanya meneruskan perjalanan. Tiba-tiba mereka mendapati rusa dengan kedua anaknya. Salah satu dari anak rusa itu lalu disembelih dan dibakar. Setelah dimakan berdua, lalu Nabi Isa menyuruh anak rusa yang telah dimakan itu supaya hidup kembali. Maka hiduplah ia dengan izin Allah. Kemudian Nabi Isa bertanya, "Demi Allah, yang memperlihatkan kepadamu bukti kekuasaan-Nya itu, siapakah yang mengambil sepotong roti itu?"
Jawabnya, "Aku tidak tahu."
Kemudian keduanya meneruskan perjalanan hingga sampai ke tepi sungai, lalu Nabi Isa memegang tangan temannya itu dan mengajaknya berjalan di atas air hingga sampai ke seberang. "Demi Allah, yang memperlihatkan kepadamu bukti ini, siapakah yang mengambil sepotong roti itu?"
Jawabannya, tetap tidak tahu.
Ketika sampai di sebuah padang, Nabi Isa mengumpulkan kerikil dalam tiga kantung. Lalu Nabi Isa berdoa, "Jadilah emas dengan izin Allah." Tiba-tiba kerikil itu berubah menjadi emas. Nabi Isa berkata, "Untukku satu kantung, dan kamu satu kantung, sedang satu kantung lagi untuk untuk orang yang mengambil roti."
Ternyata, temannya itu mengaku, "Akulah yang mengambil roti itu."
Lantas Nabi Isa a.s. berkata, "Ambillah semua bagian ini untukmu." Keduanya pun berpisah.
Tak lama kemudian orang itu didatangi dua orang yang tampak berperangai jahat. Berikutnya, teman Nabi Isa a.s. itu menawarkan kompromi untuk membagi tiga kantung emas tadi. Dua orang itu setuju.
Karena perbekalan habis, mereka sepakat mencari makan. Salah seorang dari mereka ke pasar berbelanja makanan. Ternyata timbul niatan jahat orang yang berbelanja itu. "Untuk apa membagi emas itu, lebih baik makanan ini saya isi racun biar keduanya mati, dan emas ini menjadi milikku sendiri." Makanan itu pun dibubuhinya racun.
Sementara itu, yang berdua menunggu ternyata juga menyusun persekongkolan jahat. "Untuk apa kita membagi emas bertiga. Jika ia datang lebih baik kita bunuh saja, dan emas ini kita bagi dua." Saat datang, dibunuhlah yang membeli makanan. Lalu ketika keduanya makan, matilah keduanya keracunan.
Tinggallah harta itu di hutan, sedang mereka mati semua.
Ketika Nabi Isa a.s. berjalan di hutan dan menemukan kantung emas itu, ia berkata kepada sahabat-sahabatnya, "Inilah contoh sejatinya dunia, maka berhati-hatilah kamu kepadanya."
***
Begitulah riwayat ketamakan. Selama yang dituruti itu adalah keinginan hawa nafsunya, dari situlah ketamakan menjadi pangkal tragedi. Ketika motivasi dunia menjadi dasar amalan, yang muncul adalah jiwa-jiwa rapuh yang akan mengukir sendiri kekalahannya. Di awal proses berlaga, atau bahkan ketika “kemenangan” (misalnya, dukungan suara dalam pilkada) itu dapat diraih.
Jika dihadapkan pada kebesaran Allah—seperti mukjizat Isa a.s. dalam kisah di muka, atau mukjizat Allah yang lain yang banyak saat ini—banyak yang tak ambil peduli. Bahkan ketika kebesaran Allah itu diingatkan dalam berbagai bentuk, tetap saja tak tergerak hatinya. Entah di mana, nilai kejujuran itu ia tempatkan. Kebohongan dan keculasan dianggap biasa. Bingkai ibadah itu tak menjadi dasar aktivitas.
Kalau kemudian harus jujur, hanya motif “kantung emas” yang menjadi dasar. Ia ingin mendapat dunia, maka kemudian ia terlihat lebih alim. Ia hadir dalam majelis-majelis pengajian, sesuatu yang sebelumnya mungkin tak pernah ia kerjakan. Sengaja ia gunakan simbol-simbol agama, mengutip ayat Al Quran dan Hadits, sekadar mencari simpati. Agaknya, inilah yang disinggung Allah sebagai “menjual dengan harga sedikit.”
“Sesungguhnya orang-orang yang menukar janji (nya dengan) Allah dan sumpah-sumpah mereka dengan harga yang sedikit, mereka itu tidak mendapat bagian (pahala) di akhirat, dan Allah tidak akan berkata-kata dengan mereka dan tidak akan melihat kepada mereka pada hari kiamat dan tidak (pula) akan mensucikan mereka. Bagi mereka azab yang pedih.”(TQS Ali Imraan: 77).
Tampilan kebaikan itu hanya kamuflase. Niat dalam hati, siapa yang tahu?
Niat memegang peran mendasar dalam semua hal. “Sesungguhnya seluruh amal itu tergantung kepada niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai niatnya. Oleh karena itu, barangsiapa yang berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang berhijrah karena (untuk mendapatkan) dunia atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya itu kepada apa yang menjadi tujuannya (niatnya).” (HR Bukhari-Muslim).
Maka kisah menang-kalah, sebagaimana dalam hadist tersebut, ternyata bukan pada hasil (akhir) yang dicapai. Tetapi pada awal, pada niat yang mendasari langkah kita. Berdasar niat, itulah capaian itu kita tuju.
Niat yang benar karena Allah, akan menimbulkan kekuatan berlipat. Meskipun ”kemenangan” (= dukungan suara, harta dunia) tak dapat kita raih saat ini. Ini hanyalah waktu, pasti akan Allah menangkan di kesempatan yang lain. Atau hal itu menjadi investasi kita di surga. Kita bukankah pahala Allah itu sebaik-baik balasan dan kemenangan?
Semestinya, bilik suara tak boleh menjadi ujung cerita. Tentang kisah tragis. Seperti dialami seorang calon Bupati di Ponorogo. Kekalahan pilkada membuatnya gelap mata, membohongi kolega dengan cek palsu, pecahnya keluarga, sampai berujung dirinya menjadi pesakitan di rumah sakit jiwa.
Semestinya, bilik suara tak boleh menjadi ujung cerita. Tentang berakhirnya kemenangan nurani. Ketika nanti, gubernur terpilih, mendasari kemenangan untuk menuruti ketamakan. Jabatan hanya ajang berebut harta. Sampai kemudian, masa depan hanya sepenggal cerita tentang berlarut-larutnya dengan kemiskinan.
Nabi Isa a.s. telah memberi pelajaran berharga. Tentang kehati-hatian menghadapi gemerlap dunia. Agar kemudian kita tidak ”mati bersama.” ***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Saat Bencana Tak Menyadarkan Kita

“Belumkah datang kepada mereka berita penting tentang orang-orang yang sebelum mereka, (yaitu) kaum Nuh, 'Aad, Tsamud, kaum Ibrahim, penduduk Madyan dan negeri-negeri yang telah musnah? Telah datang kepada mereka rasul-rasul dengan membawa keterangan yang nyata, maka Allah tidaklah sekali-kali menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (QS At Taubah: 70) Selayaknya, hari itu adalah waktu libur yang menyenangkan. Pesisir pantai Aceh punya pesona menarik sebagaimana pantai lainnya di pesisir Samudera Indonesia. Pagi yang cerah. Menawarkan selera untuk bercengkerama dengan keluarga, sembari menikmati indahnya panorama pantai. Namun, malang tak dapat ditolak untung tak dapat diraih. Semuanya berubah menjadi peristiwa yang memilukan. Tiba-tiba bumi berguncang dahsyat, gempa mengundang panik semuanya. Belum sirna rasa terkejut itu, riuh rendah orang berteriak, “Air, air..., air datang!“ Kita selanjutnya menyaksikan ribuan mayat bergelimpangan, berbagai

PETAKA KUASA DUSTA

”Jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu-bapak dan kaum kerabatmu...Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” (TQS An Nisaa: 135). Ini kisah menurut La Fontaine dalam Fables et Epitres. Dunia margasatwa diserang wabah penyakit. Diduga wabah itu merupakan azab Tuhan karena kejahatan penghuni dunia itu. Baginda Singa, tokoh nomor satu di kerajaan rimba, dengan memelas mengakui, ”Akulah penyebab segala bencana ini. Pekerjaanku memakan warga yang lemah seperti domba dan kambing.” Serigala membantah. ”Bukan demikian, Baginda tidak salah.” Yang dilakukan singa adalah implikasi dari kekuasaan. Memakan warga adalah bagian resiko yang harus diambil dari kebijakan yang dibuat pemimpin. Seorang demi seorang dari pembesar margasatwa bergilir mengakui kesalahannya. Pengadilan selalu memutuskan mereka tak bersalah

“Robohnya Masjid Kami” [Kritik Memakmurkan Masjid]

“Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allah dalam masjid-masjid-Nya, dan berusaha untuk merobohkannya? Mereka itu tidak sepatutnya masuk ke dalamnya (masjid Allah), kecuali dengan rasa takut (kepada Allah). Mereka di dunia mendapat kehinaan dan di akhirat mendapat siksa yang berat.” (TQS Al Baqarah: 114) Masjid itu dindingnya dari tanah liat. Tiangnya batang kurma, lantainya pasir, dan atapnya pelepah kurma. Maka, di suatu hari kaum Anshar mengumpulkan harta dan mendatangi Rasulullah saw.. "Wahai Rasulullah, bangunlah masjid dan hiasilah seindah-indahnya dengan harta yang kami bawa ini. Sampai kapan kita harus salat di bawah pelepah kurma?" Rasulullah menjawab, "Aku ingin seperti saudaraku Nabi Musa, masjidku cukup seperti arisy (gubuk tempat berteduh) Nabi Musa a.s.” Dijelaskan oleh Hasan r.a. menjelaskan bahwa ukuran arisy Nabi Musa a.s. adalah bila Rasulullah saw. mengangkat tangannya maka atapnya akan tersentuh Hadits ya