Langsung ke konten utama

Tangan yang Tercium Bau Surga

"Dialah Dzat yang menjadikan bumi ini mudah buat kamu. Oleh karena itu berjalanlah (berusahalah) di permukaannya dan makanlah dari rejekinya."
(QS Al Mulk: 15)

Mari kita simak kisah Sa’d bin Muadz Al Anshari. Waktu itu Rasulullah pulang dari Tabuk. Beliau melihat tangan Sa’d yang menghitam dan melepuh. “Kenapa tanganmu?” tanya Rasulullah.
“Ini akibat palu dan sekop besi yang sering saya pergunakan untuk mencari nafkah bagi keluarga yang menjadi tanggunganku, ya Rasul,” jawab Sa’d.
Maka Rasulullah mengambil tangan Sa’d dan menciumnya. “Inilah tangan yang tidak akan pernah disentuh api neraka.”
Rasulullah dicium tangannya oleh para sahabatnya? Peristiwa seperti ini tampak bukan hal istimewa bila menilik kedudukan beliau yang mulia. Kesaksian ‘Urwah bin Mas’ud—yang kala itu masih musyrik—cukuplah sebagai bukti. Kata Urwah, “Demi Allah, tidaklah Rasulullah saw meludah kecuali ludah itu jatuh ke telapak tangan seorang di antara mereka lalu mengusapkan ke muka dan kulit mereka. Apabila dia (Rasulullah) memerintahkan sesuatu kepada mereka, mereka berebut melakukannya. Apabila dia berwudhu, mereka berebut untuk mendapatkan sisa air wudhunya. Apabila mereka berbicara dihadapannya, mereka berbicara dengan menundukkan kepala dan merendahkan suara demi menghormatinya.”
Dalam sirah, kita akan menemukan fakta bahwa tangan Rasulullah—dan benda bekas pakai beliau—sering diperebutkan oleh para sahabat untuk memperoleh berkahnya. Bahkan tabarruk (berharap berkah) dengan benda-benda bekas pakai Nabi saw. adalah perkara yang disyariatkan. Di dalam beberapa hadits sahih disebutkan bahwa para sahabat pernah bertabarruk dengan rambut, keringat, sisa air wudhu, dan ludah Rasulullah.

Etos Kerja
Rasulullah mencium tangan sahabatnya? Tentu ini terasa istimewa. Dalam sirah nabawiyah, ini merupakan peristiwa langka. Secara masyhur, kita hanya akan menemukan dua orang yang Rasulullah cium tangannya: pertama terhadap Sa’d dalam kisah di atas; kedua terhadap puterinya Fatimah dalam peristiwa yang serupa. Fatimah Az Zahra, karena kerap ditinggal suaminya—Ali bin Abi Thalib—berjuang, menggiling gandum sendiri sampai kepayahan dan tangannya sakit. Rasulullah menghibur puterinya, mencium tangannya, seraya mengajarkan wirid/zikir agar dibaca Fatimah bila mengiling gandum.
Rasulullah saw. yang tangannya biasa diperebutkan untuk dicium, ternyata malah mencium tangan Sa’d yang kasar. Aksi “demonstratif” Rasulullah seolah melampaui berjuta kata-kata untuk menghargai para pekerja kasar seperti Sa’d. Ya. Inilah bentuk penghargaan tinggi dari Rasulullah terhadap mereka yang bersusah-susah memenuhi nafkah hidupnya. Apa yang dilakukan Rasulullah dapat dicermati sebagai jawaban substansial untuk menghadapi permasalahan tenaga kerja (buruh) yang menghangat saat ini. Sebuah jawaban yang jauh dari sekadar memenuhi tuntutan normatif atas nama hukum dan undang-undang.

Kemandirian

Dari kisah Sa’d di muka, kita juga penting memaknai tentang etos kerja dalam Islam. Rasulullah sangat memuliakan orang yang mau bekerja, apapun bentuknya—sejauh bukan perkara haram. Rasulullah menghapuskan semua fikiran yang menganggap hina terhadap orang yang bekerja. Beliau mengajarkan kepada sahabat-sahabatnya untuk menjaga harga diri dengan bekerja.
"Sungguh seseorang yang membawa tali, kemudian ia membawa seikat kayu di punggungnya lantas dijualnya, maka dengan itu Allah menjaga dirinya, adalah lebih baik daripada meminta-minta kepada orang lain, baik mereka yang diminta itu memberi atau menolaknya." (HR Bukhari dan Muslim).
Bekerja sama artinya menjauhkan diri dari bergantung kepada orang lain. Percaya kepada kemampuan diri sendiri untuk mencukupi kebutuhannya. Setiap diri mampu mandiri sejauh ada upaya untuk mewujudkannya. Ini telah menjadi ketentuan Allah, seperti dalam firman-Nya:
“Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.”(QS Ar Ra’d: 11).
Islam mencela orang-orang yang suka meminta-minta. Rasulullah memandang rendah orang yang hanya menggantungkan dirinya kepada bantuan orang lain. ''Siapa yang membuka pintu meminta-minta, maka Allah pasti akan membuka pintu kefakiran,” sabda Rasulullah yang diriwayatkan Ahmad dari Jabir bin Abdullah.
Tidak akan pernah kaya orang yang mengandalkan dari meminta-meminta, kecuali akan menambah kemiskinannya. Kekayaan itu bermula dari kemauan kuat untu tidak meminta-minta. “Siapa yang ber-'iffah (menjaga kehormatan diri, tidak meminta-minta), Allah akan menjaganya. Siapa yang mohon kecukupan kepada Allah, dia akan dicukupkan.'' tegas Rasulullah dalam hadits lanjutan riwayat Ahmad.
Menjadi kaya itu erat kaitannya dengan mentalitas. Begitulah, Islam mengetengahkan masalah kecukpan harta ini. Diawali dari menjaga kehormatan untuk tidak meminta-minta, maka simpul-simpul kekayaan itu terbuka.
Mentalitas kaya, untuk kemudian menjauhkan diri dari meminta-minta, tampaknya bukan sekadar masalah memenuhi kebutuhan pribadi atau keluarga. Ini juga menyangkut urusan bersama (kolektif) dalam membangun negeri ini.
Negeri kita ini bisa jadi mewakili sebuah ironi tentang mentalitas peminta-minta yang akut. Ini menyangkut kebijakan pembangunan yang selalu bertumpu pada utang. Seperti diungkapkan Revrisond Baswir, sejarah negara Indonesia ternyata tidak bisa dipisahkan dari kehadiran utang luar negeri. Walau secara internasional Indonesia baru diakui Desember 1949, proposal utang luar negeri ternyata telah diajukan pemerintah Indonesia sejak 1949. Sejak itu, setiap pergantian pemimpin pemerintahan selalu mewarisi utang dalam jumlah yang terus bertambah. Kebijakan pembangunan tidak banyak dilaksanakan tanpa bertumpu pada utang.
Maka, saat ini secara keseluruhan bangsa Indonesia memiliki utang luar negeri sebesar 78 miliar dolar AS. Jika ditambah dengan utang dalam negeri yang muncul 1998, sejumlah Rp 630 triliun, secara keseluruhan bangsa Indonesia memiliki utang 1300 triliun. Artinya, jika dibagi dengan jumlah penduduk, setiap manusia Indonesia rata-rata memikul utang dalam dan luar negeri sebesar Rp. 6,5 juta per kepala. Ini adalah catatan perjalanan bangsa yang penting menjadi perhatian kita semua. Betapa kemudian, setiap penyusunan APBN itu selalu dibebani dengan keharusan membayar utang tersebut.
Utang negara bisa jadi adalah potret diri kita semua. Tentang budaya kerja yang rendah, mentalitas peminta-minta, ataupun kemalasan yang telah berurat akar. Ya. Kita patut bercermin, jangan-jangan kita juga memberi sumbangsih masalah tersebut.
Kerja keras, apapun bentuknya, mendapat tempat mulia dalam Islam. Dalam sebuah hadis dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda, ''Siapa mencari dunia secara halal, membanting tulang demi keluarga dan cinta tetangga, maka pada hari kiamat Allah akan membangkitkannya dengan wajah berbinar layak rembulan bulan purnama.'' ***


Haramnya Meminta-minta

Mencari nafkah hidup merupakan perintah agama. Dengan mencari nafkah, seseorang menjadi bisa mandiri dan tidak menggantungkan diri pada orang lain. Ketika muda, Rasulullah SAW adalah seorang pekerja yang sangat giat. Beliau menjual jasa menjadi gembala kambing kepada kaum kaya Makkah. Beliau juga menjualkan dagangan milik Khadijah ke Syam, untuk mendapatkan bagi hasil.
Lebih dari itu, bekerja tidak hanya sunah Rasulullah saw. tetapi juga nabi-nabi pendahulunya. Misalnya Nabi Daud a.s., ia mencari nafkah dari hasil pekerjaan tangannya sendiri, yakni melunakkan besi. Di tangan Daud a.s., besi tak ubahnya adonan dan lilin, ia membuatnya menjadi baju zirah (baju besi), kemudian menjualnya ke pasar untuk menghidupi diri dan keluarganya dari hasil penjualannya.
Allah swt. sangat cinta kepada orang yang bekerja. Sebagaimana diriwayatkan Thabrani dalam Al-Kabir, Rasulullah bersabda, ''Allah mencintai setiap Mukmin yang bekerja untuk keluarganya dan tidak menyukai Mukmin pengangguran, baik untuk pekerjaan dunia maupun akhirat.'' Sejalan dengan hal ini, orang yang mampu bekerja tetapi hanya berdiam diri tidak bekerja adalah haram. Yuf Qardhawi, dalam Fatwa-fatwa Kontemporer-nya menyatakan bahwa setiap muslim tidak halal bermalas-malas bekerja untuk mencari rezeki dengan dalih karena sibuk beribadah atau tawakkal kepada Allah, sebab langit ini tidak akan mencurahkan hujan emas dan perak.
Tidak halal juga seorang Muslim hanya menggantungkan dirinya kepada sedekah orang, padahal dia masih mampu berusaha untuk memenuhi kepentingan dirinya sendiri dan keluarga serta tanggungannya. Untuk itu Rasulullah s.a.w. bersabda, "Sedekah tidak halal buat orang kaya dan orang yang masih mempunyai kekuatan dengan sempurna." (HR Tirmidzi)
Sesuatu yang sangat ditentang oleh Nabi serta diharamkannya terhadap diri seorang muslim, yaitu meminta-minta kepada orang lain dengan mencucurkan keringatnya. Hal mana dapat menurunkan harga diri dan karamahnya padahal dia bukan terpaksa harus minta-minta.
Kepada orang yang suka minta-minta padahal tidak begitu memerlukan, Rasulullah s.a.w. pernah bersabda sebagai berikut: "Orang yang minta-minta padahal tidak begitu memerlukan, sama halnya dengan orang yang memungut bara api." (HR Baihaqi dan Ibnu Khuzaimah)
"Barangsiapa meminta-minta pada orang lain untuk menambah kekayaan hartanya tanpa sesuatu yang menghajatkan, maka berarti dia menampar mukanya sampai hari kiamat, dan batu dari neraka yang membara itu dimakannya. Oleh karena itu siapa yang mau, persedikitlah dan siapa yang mau berbanyaklah." (HR Tirmidzi)
"Senantiasa minta-minta itu dilakukan oleh seseorang di antara kamu, sehingga dia akan bertemu Allah, dan tidak ada di mukanya sepotong daging." (HR Bukhari dan Muslim)
Suara yang keras ini dicanangkan oleh Rasulullah, demi melindungi harga diri seorang muslim dan supaya seorang muslim membiasakan hidup yang suci serta percaya pada diri sendiri dan jauh dari menggantungkan diri pada orang lain.
Rasulullah saw. hanya memberikan kebolehan meminta-minta bila suatu kepentingan yang mendesak.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Qabishah, Rasulullah mengatakan bahwa meminta-minta itu tidak halal, kecuali untuk bagi salah satu dari tiga orang berikut. Pertama, seorang laki-laki yang menanggung beban yang berat, maka halallah baginya meminta-minta sehingga dia dapat mengatasinya kemudian sesudah itu dia berhenti.
Kedua, seorang laki-laki yang ditimpa suatu bahaya yang membinasakan hartanya, maka halallah baginya meminta-minta sehingga dia mendapatkan suatu standar untuk hidup. Ketiga, seorang laki-laki yang ditimpa suatu kemiskinan sehingga ada tiga dari orang-orang pandai dari kaumnya mengatakan: “Sungguh si anu itu ditimpa suatu kemiskinan, maka halallah baginya meminta-minta sehingga dia mendapatkan suatu standar hidup.
“Selain itu, meminta-minta hai Qabishah, adalah haram, yang melakukannya berarti makan barang haram,"tegas Rasulullah. (HR Muslim, Abu Daud dan Nasa'i).***

[Tulisan ini merupakan arsip dari tulisan yang telah dipublikasikan di Buletin Sajada, Lembaga Amil Zakat Lampung Peduli, sejak 2005]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Saat Bencana Tak Menyadarkan Kita

“Belumkah datang kepada mereka berita penting tentang orang-orang yang sebelum mereka, (yaitu) kaum Nuh, 'Aad, Tsamud, kaum Ibrahim, penduduk Madyan dan negeri-negeri yang telah musnah? Telah datang kepada mereka rasul-rasul dengan membawa keterangan yang nyata, maka Allah tidaklah sekali-kali menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (QS At Taubah: 70) Selayaknya, hari itu adalah waktu libur yang menyenangkan. Pesisir pantai Aceh punya pesona menarik sebagaimana pantai lainnya di pesisir Samudera Indonesia. Pagi yang cerah. Menawarkan selera untuk bercengkerama dengan keluarga, sembari menikmati indahnya panorama pantai. Namun, malang tak dapat ditolak untung tak dapat diraih. Semuanya berubah menjadi peristiwa yang memilukan. Tiba-tiba bumi berguncang dahsyat, gempa mengundang panik semuanya. Belum sirna rasa terkejut itu, riuh rendah orang berteriak, “Air, air..., air datang!“ Kita selanjutnya menyaksikan ribuan mayat bergelimpangan, berbagai

PETAKA KUASA DUSTA

”Jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu-bapak dan kaum kerabatmu...Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” (TQS An Nisaa: 135). Ini kisah menurut La Fontaine dalam Fables et Epitres. Dunia margasatwa diserang wabah penyakit. Diduga wabah itu merupakan azab Tuhan karena kejahatan penghuni dunia itu. Baginda Singa, tokoh nomor satu di kerajaan rimba, dengan memelas mengakui, ”Akulah penyebab segala bencana ini. Pekerjaanku memakan warga yang lemah seperti domba dan kambing.” Serigala membantah. ”Bukan demikian, Baginda tidak salah.” Yang dilakukan singa adalah implikasi dari kekuasaan. Memakan warga adalah bagian resiko yang harus diambil dari kebijakan yang dibuat pemimpin. Seorang demi seorang dari pembesar margasatwa bergilir mengakui kesalahannya. Pengadilan selalu memutuskan mereka tak bersalah

“Robohnya Masjid Kami” [Kritik Memakmurkan Masjid]

“Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allah dalam masjid-masjid-Nya, dan berusaha untuk merobohkannya? Mereka itu tidak sepatutnya masuk ke dalamnya (masjid Allah), kecuali dengan rasa takut (kepada Allah). Mereka di dunia mendapat kehinaan dan di akhirat mendapat siksa yang berat.” (TQS Al Baqarah: 114) Masjid itu dindingnya dari tanah liat. Tiangnya batang kurma, lantainya pasir, dan atapnya pelepah kurma. Maka, di suatu hari kaum Anshar mengumpulkan harta dan mendatangi Rasulullah saw.. "Wahai Rasulullah, bangunlah masjid dan hiasilah seindah-indahnya dengan harta yang kami bawa ini. Sampai kapan kita harus salat di bawah pelepah kurma?" Rasulullah menjawab, "Aku ingin seperti saudaraku Nabi Musa, masjidku cukup seperti arisy (gubuk tempat berteduh) Nabi Musa a.s.” Dijelaskan oleh Hasan r.a. menjelaskan bahwa ukuran arisy Nabi Musa a.s. adalah bila Rasulullah saw. mengangkat tangannya maka atapnya akan tersentuh Hadits ya