Langsung ke konten utama

Akar Aliran Sesat

“Tidaklah mungkin bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab, hikmah, dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: "Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah." Akan tetapi (dia berkata): "Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani (sempurna ilmu dan takwanya kepada Allah), karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.”
(TQS Al Imraan: 79).

Sore hari, sebanyak 88 jamaah Salamullah berkumpul di sebuah vila, di Megamendung, kawasan Puncak, Jawa Barat. Lia Aminuddin mengeluarkan maklumat. “Syaikh menyampaikan perintah Allah untuk menggunduli dan membakar sekujur tubuh kita,” kata Lia. Syaikh adalah sebutan untuk Malaikat Jibril yang diyakini Lia. Menggunduli rambut dan membakar tubuh, kata Lia kepada jamaahnya, merupakan “hisab” (perhitungan Allah) untuk membersihkan dosa.
Maka, berjalanlah “prosesi penyucian” itu. Setiap orang ditemani dua kawan sejenisnya. Semua rambut dan bulu di tubuh—mulai rambut kepala, alis, bulu mata, bulu ketiak, sampai (maaf ) bulu kemaluan—dibuat ludes. Dalam keadaan telanjang, seorang anggota jamaah mengoleskan spiritus pada bagian tubuhnya. Kemudian, jamaah lain membakar tubuh yang telah dilumuri bahan bakar tersebut dengan sumbu kompor.
Prosesi selanjutnya adalah berkumpul di ruangan besar yang dipilah sesuai dengan jenis kelamin. Di tengah ruangan itu tampak kobaran api setinggi satu setengah meter. Dalam keadaan telanjang bulat, mereka melewati dan melangkahi api yang tengah berjilat-jilat. Prosesipun berakhir. Walau tak ada yang luka bakar secara serius, tak urung kesakitan dirasakan oleh mereka yang jontor bibirnya, juga kemaluannya.
Peristiwa di awal tahun 2001 itu membuat masyarakat terperangah. Namun, bukan kali ini saja Lia Aminuddin membuat sensasi. Pada pertengahan 1998, ia mengaku sebagai Imam Mahdi, Maryam, dan mendapat wahyu dari malaikat Jibril. Lia juga menahbiskan seorang anaknya, Ahmad Mukti, sebagai Isa Al Masih.
Agaknya, Lia setali tiga uang dengan Ahmad Moshadeq yang marak dibicarakan orang akhir-akhir ini. Moshadeq mengaku dirinya memperoleh wahyu dari Allah dan mengaku menggantikan posisi Muhammad saw. Syahadat yang diajarkanpun berbeda, Asyhadu alla illaha ilallah, wa asyhadu anna Masih al Maud Rasul Allah. Maka kemudian, Jamaah Alqiyadah Al Islamiyah yang dipimpin Moshadeq, sebagaimana Jamaah Salamullah yang dipimpin Lia, dihukumi sesat oleh para ulama.

Godaan Menyimpang
Sesungguhnya mudah saja untuk melihat keganjilan ajaran Lia dan Moshadeq, sehingga kita sampai pada kesimpulan sesatnya ajaran mereka. Namun, apa yang menjadi penyebab awal kesesatan tersebut, penting kita cermati. Awalnya, bisa jadi tak ada niatan untuk menyimpang. Namun godaan di tengah jalan keimanan itulah yang kemudian menjadi masalah. Seperti Lia Aminudin, ia mengaku yang dialaminya adalah buah dari proses yang panjang. Pada 27 Oktober 1995, di tengah salat tahajud dan berdoa dengan khusyuk, badannya tiba-tiba menggigil. Ia merasa ada yang mendampingi. Ternyata pendamping itu memberi nasihat yang baik—berikutnya Lia menyebutnya sebagai malaikat Jibril. Dan..., mulailah penyimpangan itu terjadi. Setelah menyendiri selama 40 hari 40 malam di Cibungbulan Bogor, Moshadeq mengaku mendapat wahyu. Dan..., penyimpangan itupun terjadi.
Semoga Allah merahmati Syaikh Abdul Qadir Jaelani. Seorang guru yang lurus aqidahnya, tetapi saat ini kerap dikultuskan dan disalahartikan ajarannya oleh banyak orang dengan menisbatkan kisah-kisah palsu pada dirinya yang berlawanan dengan aqidah Islam.
Dalam sebuah riwayat, dikisahkan Syaikh Abdul Qadir Jaelani suatu malam bermunajat mendekatkan diri kepada Allah. Ulama yang tinggi ilmunya ini tiba-tiba melihat cahaya di atas mihrab yang sangat menyilaukan. Dari arah cahaya tersebut terdengan suara. ”Wahai Abdul Qadir, aku adalah Tuhanmu, apa yang telah aku haramkan bagimu telah aku halalkan.” Syaikh Abdul Qadir dibolehkan untuk tidak lagi shalat lima waktu, serta kewajiban syariat Islam yang lain.
Mendengar suara tersebut Syaikh tertegun. Setelah sadar dari kekagetannya beliau berguman dalam hati, ”Muhammad saw adalah Nabi dan Rasulullah terakhir, maka tidak mungkin Allah akan merubah syariatnya.”
Kemudian Abdul Qadir yakin bahwa cahaya yang datang itu bukan suara Tuhan melainkan iblis. Lalu beliau mengucapkan ta’awudz. Tiba-tiba cahaya itu terbakar sambil berkata, ”Sudah banyak orang yang telah aku perdayai, tetapi engkau luput dari tipu dayaku ini.”
Kisah tersebut menjadi pelajaran bagi kita untuk tidak mudah tertipu oleh bujuk rayu iblis. Iblis dan setan memang telah bersumpah senantiasa berupaya memperdaya dan membelokkan orang-orang beriman dari jalan Allah. ”Iblis menjawab: "Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus, kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat).” (TQS Al A’raaf: 16-17).
Syaikh Abdul Qadir Jaelani hampir terjerumus oleh bujuk rayu iblis dan menganggap dirinya sebagai pembawa risalah atau nabi/rasul baru. Berkat ilmu dan kedekatannya kepada Allah ia selamat dari godaan yang menyesatkan tersebut.

Penyakit Sosial Modern
Penyimpangan Lia Aminuddin dan Ahmad Moshadeq sebenarnya bukan hal baru. Kelompok sempalan (splinter group) semacam ini telah kerap terjadi sebelumnya. Bukan hanya hanya di negara terbelakang dan miskin, fenomena kelompok keagamaan seperti itu juga marak di negara maju. Bahkan di negara maju, kelompok semacam ini lebih banyak. Inilah yang diamati Alvin Toffler sebagai gejala kultus. Alvin Toffler menyebutkan lebih dari 1000 (seribu) kelompok sekte keagamaan di Amerika Serikat, sebagai gejala kultus (cult). Gejala kultus adalah bentuk gerakan keagamaan yang dicirikan dengan sistem pengorganisasian yang ketat, absolutistik, disiplin, dan, dengan sendirinya kurang toleran dengan kelompok lain. Kultus biasanya berpusat pada ketokohan seorang pribadi yang menarik, berdaya pikat retorik yang memukau, yang secara sederhana menjanjikan keselamatan dan kebahagiaan. Seringkali hal ini diikuti dengan pemaksaan, ketertutupan, dan pengorbanan harta dan jiwa yang tidak proporsional. Sampai tingkat tertentu, fenomena kultus ini menjadi sangat antisosial, bahkan menjerumuskan pengikutnya pada psikologi ”ingin mati.” Di Amerika, ini seperti yang terjadi pada peristiwa bunuh diri massal pengikut kultus People’s Temple pimpinan Jim Jones di Guyana, atau pengikut David Koresh di Texas.
Apa yang menjadi penyebab sekte keagamaan (baca: aliran sesat) itu bermunculan? Menurut ilmuwan Alvin Toffler, ini adalah fenomena sosial dunia modern. Dampak negatif modernisasi seperti individualisme, saling acuh, tidak adanya kepedulian sosial, hilangnya struktur kemasyarakatan yang kokoh, dan kaburnya makna yang berlaku; mengakibatkan masyarakat larut dalam kesepian dan kekeringan ruhani. Keterasingan inilah yang kemudian membuat mereka tertarik pada kultus-kultus/sekte. Sebab, keterasingan (alienasi) menimbulkan kesepian mencekam, lalu merindukan perkawanan akrab dan hangat, serta mendambakan penjelasan/penegasan makna hidup. Hal ini seolah menemukan salurannya dalam sekte. Solidaritas dan kepedulian kelompok yang tinggi, serta persaudaraan yang hangat, adalah fenomena khas yang didapati dalam semua sekte keagamaan. Pukauan inilah yang membuat para pengikut sekte dapat begitu setia mematuhi ajaran pemimpinnya, dengan mengabaikan akal sehat dan pendapat mayoritas. Ini berlaku bahkan untuk mereka yang telah mengenyam pendidikan tinggi—seperti pengikut Lia Aminuddin yang berlatar belakang jurnalis, dosen, juga para teknokrat kaya.
Alhasil, fenomena aliran sesat bukan semata disebabkan keawaman ilmu pengetahuan/agama, tetapi lebih banyak karena hubungan dan kepedulian sosial yang rapuh.
Ahmad Moshadeq telah tobat. Lia pun telah dipenjara. Tapi bukan berarti ancaman sosial dari sekte sesat semacam itu usai. Ia telah menjadi bahaya laten. Lia Aminudin yang menyelesaikan masa kurungannya Oktober 2007 lalu, belum menunjukkan tanda bertobat. Bahkan, di Muarabongo, Jambi sebuah koran lokal (19 November 2007) mengabarkan tentang adanya seorang kepala sekolah yang mentahbiskan diri sebagai Nabi.

Kepekaan Sosial
Seorang sahabat bertanya, ”Ya, Rasulullah, apakah agama itu?” Rasulullah menjawab, ”Akhlak yang baik.” Pertanyaan dan jawaban yang sama itu berulang tiga kali. Ketika kali keempat, sahabat masih mengulang pertanyaan yang sama, Rasulullah berkata, ”Belum jugakah engkau mengerti? Agama itu akhlak yang baik, sebagai misal, janganlah engkau marah.” (At Targhib wa al-Tarhib).
”Akhlak yang baik” adalah makna general dari hubungan sosial yang paripurna. Maka, bila Anda ingin turut andil dalam menanggulangi ”aliran sesat” tersebut, agama kita telah memberi jawabannya. Salah satunya: menjalin hubungan sosial dengan akhlak yang baik sehingga muncul persaudaraan yang hangat, sepenanggungan, yang kemudian menghindarkan orang dari kesepian sosial yang dapat menjerumuskan dirinya dari pukauan keintiman kultus/sekte aliran sesat. ***

[Tulisan ini merupakan arsip dari tulisan yang telah dipublikasikan di Buletin Sajada, Lembaga Amil Zakat Lampung Peduli, sejak 2005]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Saat Bencana Tak Menyadarkan Kita

“Belumkah datang kepada mereka berita penting tentang orang-orang yang sebelum mereka, (yaitu) kaum Nuh, 'Aad, Tsamud, kaum Ibrahim, penduduk Madyan dan negeri-negeri yang telah musnah? Telah datang kepada mereka rasul-rasul dengan membawa keterangan yang nyata, maka Allah tidaklah sekali-kali menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (QS At Taubah: 70) Selayaknya, hari itu adalah waktu libur yang menyenangkan. Pesisir pantai Aceh punya pesona menarik sebagaimana pantai lainnya di pesisir Samudera Indonesia. Pagi yang cerah. Menawarkan selera untuk bercengkerama dengan keluarga, sembari menikmati indahnya panorama pantai. Namun, malang tak dapat ditolak untung tak dapat diraih. Semuanya berubah menjadi peristiwa yang memilukan. Tiba-tiba bumi berguncang dahsyat, gempa mengundang panik semuanya. Belum sirna rasa terkejut itu, riuh rendah orang berteriak, “Air, air..., air datang!“ Kita selanjutnya menyaksikan ribuan mayat bergelimpangan, berbagai

PETAKA KUASA DUSTA

”Jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu-bapak dan kaum kerabatmu...Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” (TQS An Nisaa: 135). Ini kisah menurut La Fontaine dalam Fables et Epitres. Dunia margasatwa diserang wabah penyakit. Diduga wabah itu merupakan azab Tuhan karena kejahatan penghuni dunia itu. Baginda Singa, tokoh nomor satu di kerajaan rimba, dengan memelas mengakui, ”Akulah penyebab segala bencana ini. Pekerjaanku memakan warga yang lemah seperti domba dan kambing.” Serigala membantah. ”Bukan demikian, Baginda tidak salah.” Yang dilakukan singa adalah implikasi dari kekuasaan. Memakan warga adalah bagian resiko yang harus diambil dari kebijakan yang dibuat pemimpin. Seorang demi seorang dari pembesar margasatwa bergilir mengakui kesalahannya. Pengadilan selalu memutuskan mereka tak bersalah

“Robohnya Masjid Kami” [Kritik Memakmurkan Masjid]

“Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allah dalam masjid-masjid-Nya, dan berusaha untuk merobohkannya? Mereka itu tidak sepatutnya masuk ke dalamnya (masjid Allah), kecuali dengan rasa takut (kepada Allah). Mereka di dunia mendapat kehinaan dan di akhirat mendapat siksa yang berat.” (TQS Al Baqarah: 114) Masjid itu dindingnya dari tanah liat. Tiangnya batang kurma, lantainya pasir, dan atapnya pelepah kurma. Maka, di suatu hari kaum Anshar mengumpulkan harta dan mendatangi Rasulullah saw.. "Wahai Rasulullah, bangunlah masjid dan hiasilah seindah-indahnya dengan harta yang kami bawa ini. Sampai kapan kita harus salat di bawah pelepah kurma?" Rasulullah menjawab, "Aku ingin seperti saudaraku Nabi Musa, masjidku cukup seperti arisy (gubuk tempat berteduh) Nabi Musa a.s.” Dijelaskan oleh Hasan r.a. menjelaskan bahwa ukuran arisy Nabi Musa a.s. adalah bila Rasulullah saw. mengangkat tangannya maka atapnya akan tersentuh Hadits ya