“ Wahai orang-orang yang beriman, maukah kamu aku tunjukkan seuatu perniagaan yang dengan itu kamu dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih? (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nyadan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu jika mengetahui.” (QS As Shaff: 8)
“Tidak ada bayi lahir tanpa [keluar] darah.” Pada 1998 kalimat ini cukup populer di kalangan aktivis. Kata-kata tersebut mewakili sebuah keniscayaan tentang “harga” yang harus dibayar dari lahirnya perubahan. Seorang Ibu, demi lahirnya seorang bayi manis dambaannya, harus berkorban. Ada darah keluar yang turut menyertai proses persalinan. “Darah” tersebut kemudian diartikan sebagai resiko, akibat, atau konsekuensi logis dari sebuah perubahan.
Dalam khasanah kalangan sosialis-komunis —yang kebanyakan mereka atheis, tidak mengakui Tuhan—kita juga mengenal juga mengenal istilah martir (tumbal). Dalam mencapai tujuan, harus ada orang yang siap mati untuk berkorban (atau dikorbankan). Bila itu telah dilakukan, barulah revolusi sosial yang diinginkan itu terjadi/tercapai. Martir adalah orang-orang yang tidak (pernah) mengenyam hasil dari perjuangan.
Dalam kaitan pengorbanan ini, Islam mempunyai istilah mujahid. Mujahid adalah orang-orang yang mau berkorban lebih, siap mengorbankan nyawanya. Berbeda dengan faham sosialis-komunis, ada imbalan besar bagi para mujahid. Allah menjanjikan kemuliaan hidup mujahid berupa surga. Alam yang kekal setelah dunia.
Dalam Islam, kesiapan menjadi mujahid itu bahkan menjadi kewajiban setiap Muslim. Dalam sebuah hadits, diharamkan surga atas seorang Muslim bila dalam hidupnya tidak pernah terbersit hatinya untuk melakukan jihad. Artinya, kesiapan berkorban itu menjadi keharusan setiap Muslim tanpa kecuali.
Penegasan makna pengorbanan inilah yang secara khusus kita maknai dalam perayaan Idhul Adha/Idul Qurban. Secara “simbolik,”pengorbanan itu diwujudkan dengan penyembelihan hewan kurban. Idhul Adha tidak tidak bertautan jauh dengan Idul Fitri. Terapi jiwa lewat ibadah Ramadhan diharapkan akan menjadikan seorang Muslim bersih hatinya. Kebersihan hati tersebut harus punya perwujudan nyata lewat pengorbanan untuk orang lain. Maka, bila Idhul Fitri lebih kental dimensi ruhani, Idhul Qurban lebih kental dimensi sosialnya.
Berdasar pendapat para ulama salaf maupun khalaf, kita akan mendapati pelajaran betapa ibadah kurban itu begitu penting diamalkan kaum Muslimin. Bahkan kurban pun sebenarnya sudah dilakukan ketika Allah menurunkan manusia pertama ke dunia yaitu Nabiyullah Adam. Pada waktu itu Allah memerintahkan kepada dua orang anak Nabi Adam untuk melakukan ritual qurban. Salah satu anak Nabi Adam yaitu Habil, mendatangkan persembahan yang terbaik untuk diqurbankan, sedangkan Qabil mendatangkan persembahan yang terburuk yang menunjukkan ketidak ikhlasannya dalam melakukan kurban yang diperintahkan Allah , yang menyebabkan tidak diterimanya qurban yang dilakukannya, sedangkan yang diterima adalah qurban yang dilakukan Habil yang telah mendatangkan persembahan terbaik, dan apa yang dilakukan Habil menunjukkan keikhlasan dalam melaksanakan perintah kurban yang menjadikan kurbannya diterima disisi Allah. Kisah ini diceritakan dalam QS Al-Maidah ayat 27 :
''Bacakanlah kepada mereka kisah tentang dua anak Adam sesuai dengan sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan kurban, maka diterima (kurban) salah seorang di antara keduanya (Habil), dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Dia ( Qabil)berkata, Aku pasti membunuhmu. Dijawab (Habil), ”Sesungguhnya Allah hanya menerima (kurban) dari orang-orang yang bertaqwa.''
Kurban berasal dari kata qoroba, yang artinya mendekatkan diri. Istilah lainnya udhiyyah, mempersembahkan. Ritual kurban dalam Islam berarti menyembelih hewan ternak seperti sapi, unta dan kambing pada hari raya Idul Adha dan hari hari tasyriq dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah.
Jumhur ulama berpendapat hukum ibadah qurban adalah sunnah muakad, yaitu sunnah yang sangat dianjurkan. Imam Malik dan Syafii menyatakan makruf bagi yang mampu melakukannya tapi meninggalkannya. Bahkan madzhab Hanafi menyatakan wajib bagi yang mampu berdasar hadits, “Siapa yang memiliki kelapangan tapi tidak menyembelih qurban, janganlah mendekati tempat shalat kami.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah dan Al-Hakim menshahihkannya).
Dilakukan Semua Orang
Dalam dimensinya yang luas, seperti kurban dari sayur mayur dalam kisah Qabil-Habil, berkurban ini seyogianya menjadi amalan/praktik ibadah setiap Muslim. Namun, mengajak untuk peduli, memberi bantuan kepada orang lain, sering memunculkan pertanyaan, ”Bagaimana saya bisa membantu orang lain? Saya sendiri dalam kondisi kurang dan membutuhkan?”
Rasulullah justeru menanamkan nila sedekah ini pada saat seseorang sulit melakukannya.
Suatu hari datang seorang laki-laki kepada Rasulullah dan bertanya, “Ya Rasulullah, sedekah apa yang paling besar pahalanya?” Rasululah SAW mengatakan, “Engkau bersedekah Sedangkan engkau sedang dalam kondisi membutuhkan, takut miskin, dan punya obsesi menjadi kaya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Seperti menyimak kisah ibu dan anak dalam Aiko and Her Cousin Kenichi, sebuah kumpulan kisah-kisah inspiratif. Kita simak dialog di bawah ini.
“Anak-anak di taman bilang kita miskin. Benarkah itu, Bu? Apakah kemiskinan itu, Bu?” tanya sang anak.
“Tidak, kita tidak miskin, Aiko,” jawab sang Ibu.
“Lantas, apakah kemiskinan itu?” Aiko bertanya lagi.
“Miskin itu berarti tidak mempunyai sesuatu apapun untuk diberikan kepada orang lain,” terang Ibunya. Aiko agak terkejut.
“Oh? Tetapi kita memerlukan semua barang yang kita punyai, apakah yang dapat kita berikan?” katanya menyelidik.
“Kau ingatkah perempuan pedagang keliling yang kesini minggu yang lalu. Kita memberinya sebagian dari makanan kita kepadanya. Karena ia tidak mendapat tempat menginap di kota, ia kembali ke sini dan kita memberinya tempat tidur.”
“Kita menjadi bersempit-sempitan,” jawab Aiko.
Tapi sang Ibu tak kalah sigap. “Dan kita sering memberikan sebagain dari sayuran kita kepada keluarga Watari, bukan?” katanya.
“Ibulah yang memberinya. Hanya saya sendiri yang miskin. Saya tak punya apa-apa untuk kuberikan kepada orang lain,” tukas Aiko.
Sang ibu tersenyum dan mengarahkan pandangan teduh kepada anaknya. “Oh, kau punya. Setiap orang mempunyai sesuatu untuk diberikan kepada orang lain. Pikirkanlah hal itu dan kamu akan menemukan sesuatu.
Tak lama setelah itu, sang anak pun menemukan jawabannya.
“Bu! Aku mempunyai sesuatu untuk aku berikan. Aku dapat memberikan cerita-ceritaku kepada teman-teman. Aku dapat memberikan kepada mereka cerita-cerita dongeng yang aku dengar dan baca di sekolah.”
Ibu dan anak itu, telah meneguhkan sebuah kesadaran mendalam tentang makna memberi. Setiap kita sesungguhnya bisa memberi. Berbagi kebahagiaan untuk orang lain. Inilah yang diajarkan Islam sebagaimana termaktub dalam ayat Al Qur’an.
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekadar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.”(QS Ath Thalaq: 7).
Alangkah indahnya bila suruhan memberi dalam Islam itu dijalankan para pemeluknya. Kita akan hidup dalam sebuah harmoni yang bermartabat. Semangat memberi akan menjadikan diri setiap muslim produktif. Tidak akan ada lagi orang miskin. Ya. Miskin harta itu memang berawal dari miskin jiwa, yang membuat orang malas, tidak produktif dan bergantung kepada orang lain. ***
[Tulisan ini merupakan arsip dari tulisan yang telah dipublikasikan di Buletin Sajada, Lembaga Amil Zakat Lampung Peduli, sejak 2005]
“Tidak ada bayi lahir tanpa [keluar] darah.” Pada 1998 kalimat ini cukup populer di kalangan aktivis. Kata-kata tersebut mewakili sebuah keniscayaan tentang “harga” yang harus dibayar dari lahirnya perubahan. Seorang Ibu, demi lahirnya seorang bayi manis dambaannya, harus berkorban. Ada darah keluar yang turut menyertai proses persalinan. “Darah” tersebut kemudian diartikan sebagai resiko, akibat, atau konsekuensi logis dari sebuah perubahan.
Dalam khasanah kalangan sosialis-komunis —yang kebanyakan mereka atheis, tidak mengakui Tuhan—kita juga mengenal juga mengenal istilah martir (tumbal). Dalam mencapai tujuan, harus ada orang yang siap mati untuk berkorban (atau dikorbankan). Bila itu telah dilakukan, barulah revolusi sosial yang diinginkan itu terjadi/tercapai. Martir adalah orang-orang yang tidak (pernah) mengenyam hasil dari perjuangan.
Dalam kaitan pengorbanan ini, Islam mempunyai istilah mujahid. Mujahid adalah orang-orang yang mau berkorban lebih, siap mengorbankan nyawanya. Berbeda dengan faham sosialis-komunis, ada imbalan besar bagi para mujahid. Allah menjanjikan kemuliaan hidup mujahid berupa surga. Alam yang kekal setelah dunia.
Dalam Islam, kesiapan menjadi mujahid itu bahkan menjadi kewajiban setiap Muslim. Dalam sebuah hadits, diharamkan surga atas seorang Muslim bila dalam hidupnya tidak pernah terbersit hatinya untuk melakukan jihad. Artinya, kesiapan berkorban itu menjadi keharusan setiap Muslim tanpa kecuali.
Penegasan makna pengorbanan inilah yang secara khusus kita maknai dalam perayaan Idhul Adha/Idul Qurban. Secara “simbolik,”pengorbanan itu diwujudkan dengan penyembelihan hewan kurban. Idhul Adha tidak tidak bertautan jauh dengan Idul Fitri. Terapi jiwa lewat ibadah Ramadhan diharapkan akan menjadikan seorang Muslim bersih hatinya. Kebersihan hati tersebut harus punya perwujudan nyata lewat pengorbanan untuk orang lain. Maka, bila Idhul Fitri lebih kental dimensi ruhani, Idhul Qurban lebih kental dimensi sosialnya.
Berdasar pendapat para ulama salaf maupun khalaf, kita akan mendapati pelajaran betapa ibadah kurban itu begitu penting diamalkan kaum Muslimin. Bahkan kurban pun sebenarnya sudah dilakukan ketika Allah menurunkan manusia pertama ke dunia yaitu Nabiyullah Adam. Pada waktu itu Allah memerintahkan kepada dua orang anak Nabi Adam untuk melakukan ritual qurban. Salah satu anak Nabi Adam yaitu Habil, mendatangkan persembahan yang terbaik untuk diqurbankan, sedangkan Qabil mendatangkan persembahan yang terburuk yang menunjukkan ketidak ikhlasannya dalam melakukan kurban yang diperintahkan Allah , yang menyebabkan tidak diterimanya qurban yang dilakukannya, sedangkan yang diterima adalah qurban yang dilakukan Habil yang telah mendatangkan persembahan terbaik, dan apa yang dilakukan Habil menunjukkan keikhlasan dalam melaksanakan perintah kurban yang menjadikan kurbannya diterima disisi Allah. Kisah ini diceritakan dalam QS Al-Maidah ayat 27 :
''Bacakanlah kepada mereka kisah tentang dua anak Adam sesuai dengan sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan kurban, maka diterima (kurban) salah seorang di antara keduanya (Habil), dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Dia ( Qabil)berkata, Aku pasti membunuhmu. Dijawab (Habil), ”Sesungguhnya Allah hanya menerima (kurban) dari orang-orang yang bertaqwa.''
Kurban berasal dari kata qoroba, yang artinya mendekatkan diri. Istilah lainnya udhiyyah, mempersembahkan. Ritual kurban dalam Islam berarti menyembelih hewan ternak seperti sapi, unta dan kambing pada hari raya Idul Adha dan hari hari tasyriq dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah.
Jumhur ulama berpendapat hukum ibadah qurban adalah sunnah muakad, yaitu sunnah yang sangat dianjurkan. Imam Malik dan Syafii menyatakan makruf bagi yang mampu melakukannya tapi meninggalkannya. Bahkan madzhab Hanafi menyatakan wajib bagi yang mampu berdasar hadits, “Siapa yang memiliki kelapangan tapi tidak menyembelih qurban, janganlah mendekati tempat shalat kami.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah dan Al-Hakim menshahihkannya).
Dilakukan Semua Orang
Dalam dimensinya yang luas, seperti kurban dari sayur mayur dalam kisah Qabil-Habil, berkurban ini seyogianya menjadi amalan/praktik ibadah setiap Muslim. Namun, mengajak untuk peduli, memberi bantuan kepada orang lain, sering memunculkan pertanyaan, ”Bagaimana saya bisa membantu orang lain? Saya sendiri dalam kondisi kurang dan membutuhkan?”
Rasulullah justeru menanamkan nila sedekah ini pada saat seseorang sulit melakukannya.
Suatu hari datang seorang laki-laki kepada Rasulullah dan bertanya, “Ya Rasulullah, sedekah apa yang paling besar pahalanya?” Rasululah SAW mengatakan, “Engkau bersedekah Sedangkan engkau sedang dalam kondisi membutuhkan, takut miskin, dan punya obsesi menjadi kaya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Seperti menyimak kisah ibu dan anak dalam Aiko and Her Cousin Kenichi, sebuah kumpulan kisah-kisah inspiratif. Kita simak dialog di bawah ini.
“Anak-anak di taman bilang kita miskin. Benarkah itu, Bu? Apakah kemiskinan itu, Bu?” tanya sang anak.
“Tidak, kita tidak miskin, Aiko,” jawab sang Ibu.
“Lantas, apakah kemiskinan itu?” Aiko bertanya lagi.
“Miskin itu berarti tidak mempunyai sesuatu apapun untuk diberikan kepada orang lain,” terang Ibunya. Aiko agak terkejut.
“Oh? Tetapi kita memerlukan semua barang yang kita punyai, apakah yang dapat kita berikan?” katanya menyelidik.
“Kau ingatkah perempuan pedagang keliling yang kesini minggu yang lalu. Kita memberinya sebagian dari makanan kita kepadanya. Karena ia tidak mendapat tempat menginap di kota, ia kembali ke sini dan kita memberinya tempat tidur.”
“Kita menjadi bersempit-sempitan,” jawab Aiko.
Tapi sang Ibu tak kalah sigap. “Dan kita sering memberikan sebagain dari sayuran kita kepada keluarga Watari, bukan?” katanya.
“Ibulah yang memberinya. Hanya saya sendiri yang miskin. Saya tak punya apa-apa untuk kuberikan kepada orang lain,” tukas Aiko.
Sang ibu tersenyum dan mengarahkan pandangan teduh kepada anaknya. “Oh, kau punya. Setiap orang mempunyai sesuatu untuk diberikan kepada orang lain. Pikirkanlah hal itu dan kamu akan menemukan sesuatu.
Tak lama setelah itu, sang anak pun menemukan jawabannya.
“Bu! Aku mempunyai sesuatu untuk aku berikan. Aku dapat memberikan cerita-ceritaku kepada teman-teman. Aku dapat memberikan kepada mereka cerita-cerita dongeng yang aku dengar dan baca di sekolah.”
Ibu dan anak itu, telah meneguhkan sebuah kesadaran mendalam tentang makna memberi. Setiap kita sesungguhnya bisa memberi. Berbagi kebahagiaan untuk orang lain. Inilah yang diajarkan Islam sebagaimana termaktub dalam ayat Al Qur’an.
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekadar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.”(QS Ath Thalaq: 7).
Alangkah indahnya bila suruhan memberi dalam Islam itu dijalankan para pemeluknya. Kita akan hidup dalam sebuah harmoni yang bermartabat. Semangat memberi akan menjadikan diri setiap muslim produktif. Tidak akan ada lagi orang miskin. Ya. Miskin harta itu memang berawal dari miskin jiwa, yang membuat orang malas, tidak produktif dan bergantung kepada orang lain. ***
[Tulisan ini merupakan arsip dari tulisan yang telah dipublikasikan di Buletin Sajada, Lembaga Amil Zakat Lampung Peduli, sejak 2005]
Komentar