Langsung ke konten utama

Kebun yang Terbakar [Refleksi Kedermawanan]

Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih,(yaitu) pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: "Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu."
(QS At Taubah: 34-35)

Ini kisah tentang pemilik kebun yang diabadikan Al Qur’an. Mereka kaya raya. Namun bakhil. Bahkan sangat kikir. Mereka menetapkan tidak akan memberi untuk orang-orang miskin. Bahkan mereka menghalangi orang-orang yang tak punya itu sekadar untuk berjalan ke arah kebun mereka.
Ada kesalahan lain yang tidak kalah beratnya. Mereka terlalu yakin bahwa apa yang ia tanam pasti akan ia petik dengan sukses, tanpa mau menyadari bahwa ada kekuasaan Allah. Merekapun tak mau sekadar mengatakan “insya Allah.” Sesudahnya, itu menjadi cerita yang amat memilukan. Mari, kita simak penggalan kalimat utuhnya dari Al Qur’an.
“Lalu kebun itu diliputi malapetaka (yang datang) dari Tuhanmu ketika mereka sedang tidur. Maka jadilah kebun itu hitam seperti malam yang gelap gulita (karena terbakar hangus).” (QS Al Qalam: 19-20)
Tetapi mereka belum menyadari hal itu. Hingga datang pagi hari semuanya seakan masih seperti rencana mereka yang penuh suka cita.
“Lalu mereka panggil memanggil di pagi hari, ‘Pergilah di waktu pagi (ini) ke kebunmu jika kamu hendak memetik buahnya.’ ‘Pada hari ini janganlah kamu seorang miskin pun masuk ke dalam kebunmu.’
Dan berangkatlah mereka di pagi hari dengan niat menghalangi (orang-orang miskin) padahal mereka mampu (menolongnya).” (QS Al Qalam: 21-25)
Tetapi alangkah terkejutnya. Nyaris mereka tak percaya melihat kebun mereka yang hangus terbakar.
“Tatkala mereka melihat kebun itu, mereka berkata, ‘Sesungguhnya kita benar-benar orang-orang yang sesat (jalan), bahkan kita dihalangi (dari memperoleh hasilnya).” (QS Al Qalam: 26-27)
Lalu berkatalah seorang yang paling baik pikirannya di antara mereka, “Bukankah aku telah mengatakan kepadamu, hendaklah kamu bertasbih (kepada Tuhanmu).’ Mereka mengucapkan, ‘Maha Suci Tuhan kami, sesungguhnya kami adalah orang-orang zalim.’
Namun, sebagian dari mereka masih saja tidak sadar, kemudian menghadap ke sebagian yang lain seraya cela mencela. Mereka berkata, ‘Aduhai celakalah kita, sesungguhnya kita ini adalah orang-orang yang melampaui batas. Mudah-mudahan Tuhan kita memberikan ganti kepada kita dengan kebun yang lebih baik daripada itu, sesungguhnya kita mengharapkan ampunan dari Tuhan kita.’”
Begitulah kisah abadi yang ada di dalam surah Al Qalam: 17-33. Ahli sejarah menghubungkan peristiwa ini dengan kaum Saba’ dengan bendungan Iram-nya yang terkenal subur.

Balasan yang Cepat
Kebun yang indah, tanaman yang dibanggakan, akan dipetik esok hari, ternyata hangus lenyap ditelan api. Hanya dalam semalam saja. Niatan buruk untuk tidak berbagi itu telah menjadi kejahatan akut. Mereka lalai bahwa yang menyuburkan dan membuat tanaman itu berbuah adalah Allah. Mereka tidak mau memberi pada orang miskin. Maka, jadilah semuanya hilang.
Balasan itu memang seringkali datang begitu cepat, bahkan hanya satu malam. Lebih lanjut kisah tersebut diberi penegasan oleh Allah sebagai balasan di dunia. “Seperti itulah azab (dunia). Dan sesungguhnya azab akherat lebih besar jika mereka mengetahui.” (QS Al Qalam: 33)
Begitulah. Setiap lelaku dan perbuatan manusia itu ibarat tanaman. Model dan jenis seperti apa perbuatan yang kita tanam, seperti itulah hasil yang akan kita petik. Bila baik maka baik. Bila buruk maka buruk. Dan memang itulah prinsip dasarnya.
Buah tanaman adalah cerita lain tentang hukum berbalas. Apa yang kita petik dari amal, tingkah laku, dan pilihan sikap kita, adalah balasan dari itu semua. “Barang siapa berbuat kebaikan sebesar dzarrah, niscaya ia akan melihat balasannya. Dan barang siapa berbuat kejahatan sebasar dzarrah pun, akan melihat balasannya.” (QS Al Zalzalah: 7-8). Maka, kesadaran bahwa perbuatan itu berbalas, harus memenuhi pikiran dan hati kita. Sebab pada akhirnya, tanggung jawab itu tidak di ambil orang lain.
Unsur tiba-tiba dalam soal balasan, atas yang baik atau yang buruk merupakan prinsip besar yang ditegaskan Allah swt..”Maka apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di waktu matahari sepenggalah naik ketika mereka sedang bermain? Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga). Tiadalah yang merasa aman dari azab Allah kecuali orang-orang yang merugi.”(QS Al A’raaf: 97-99)
Karenanya, bila kita melakukan perbuatan buruk, kecil atau besar, kita harus segera memperbaiki diri. Sebelum segalanya menjadi lebih kacau. Sebelum keburukan itu melahirkan keburukan baru lainnya. Sebelum segalanya menjadi terlambat, lantaran balasan dan siksaan Allah datang lebih cepat dari kesadaran untuk berubah dan memperbaiki diri.
Senantiasa, harus ada kesadaran mendalam bahwa segalanya akan berbalas, bahkan dalam waktu yang mungkin begitu cepat. Rasulullah memberi kabar kepada kita, di antara azab yang Allah segerakan datangnya, adalah perilaku zalim/tidak pedulinya kita pada dhuafa. Atau secara kolektif (bersama-sama) azab itu datang atas ketidak pedulian kita kepada orang miskin itu. ”Suatu kaum yang menolak membayar zakat niscaya Allah akan menurunkan cobaan kepada mereka berupa masa paceklik.” (HR Thabrani). Ya, zakatlah bentuk kepedulian kita kepada dhuafa, yang menjadi sendi pokok (rukun) agama kita.
Bila ada azab yang disegerakan Allah karena perilaku salah, maka ada balasan kebaikan yang pasti disegerakan. Inilah pengharapan yang dibolehkan, walaupun kita kadang kurang menyadari apa balasan tersebut.
Pengharapan di saat berbuat baik, kata Ibnu Qayyim dalam Madaarijus Salikin, adalah tempat persinggahan yang agung, tinggi dan mulia, yang merupakan inti perjalanan kepada Allah. Karena itu ia sangat penting karena kita tidak pernah tahu ibadah dan amal apa saja yang diterima Allah swt., maka itu perlu ditanamkan untuk mengiringi amal yang kita lakukan. Seperti ketika Rasulullah mengajarkan kepada kita agar kita tidak membiarkan makanan yang sedang kita makan tersisa sedikitpun, karena kita tidak tahu makanan mana yang mengandung keberkahan. Maka dalam beramalpun harus demikian.
Amal itu akan berbalas, dalam waktu yang begitu cepat. Harus ada keyakinan mendalam akan balasan Allah yang mengiringi amal yang ikhlas. Seperti keyakinan Ali bin Abu Thalib ra. yang memberikan buah delima yang dibelinya untuk Fatimah ra., isterinya yang tengah hamil itu, kepada seorang peminta-minta.
Ketika Ali sudah di rumah seorang laki-laki datang mengetuk pintu dan menyerahkan delima sebanyak sembilan buah kepadanya. Kata Ali kepada lelaki itu, ”Benarkah delima ini untukku?” ”Benar,” jawab lelaki itu. ”Kalau benar untukku tentu bukan sembilan buah, tapi sepuluh,” kata Ali dengan yakin. Lelaki tersebut, yang tidak lain adalah malaikat lalu mengeluarkan sebuah delima lagi dari saku jubahnya yang sengaja disembunyikannya, dan diterima Ali dengan penuh rasa syukur.
Ali bin Abi Thalib yakin bahwa Allah akan membalas perbuatan baiknya, dan balasan itu sesuai dengan janji-Nya, yaitu sepuluh kali lipat bukan sembilan.
Kesadaran harus terus kita asah. Termasuk kesadaran akan balasan Allah yang mungkin datang begitu cepat. Agar hidup kita tak menjadi kisah kebun-kebun ranum yang terbakar hanya semalam itu.

Judul II:

Mengokohkan Tradisi Berbagi

Kisah tentang pemilik kebun-kebun yang ranum yang terbakar hanya satu malam itu, mengingatkan kita pada kewajiban zakat yang harus ditunaikan. Allah menjelaskan lewat peristiwa itu tentang keharusan berbagi atas rejeki yang kita punyai dengan fakir miskin.
Zakat sesungguhnya memiliki banyak hikmah dan pengaruh positif yang jelas, baik bagi harta yang dizakati, bagi orang yang mengeluarkannya, dan bagi masyarakat Islam. Bagi harta yang dikeluarkan zakatnya, bisa menjadikannya bersih, berkembang oenuh berkah, terjaga dari berbagai bencana, dan dilindungi oleh Allah dari kerusakan, keterlantaran, dan kesia-siaan. Bagi yang mengeluarkannya, Allah akan mengampuni dosanya, mengangkat derajatnya, memperbanyak kebajikannya, dan menyenbuhkan dari sifat kikir, rakus, egois dan kapitalis.
Bagi masyarakat Islam, zakat bisa mengatasi aspek penting dalam permasalah kehidupan masayarakat Muslim, terutama bila mengetahui pengelolaannya dengan baik. Anak-anak yatim yang tidak punya harta sama sekali dan tidak ada yang memberinya nafkah; orang fakir yang tidak punya harta untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri, isteri, dan anak-anaknya; orang-orang bangkrut yang dililit utang dan tidak sanggup membayarnya; dan para penuntut ilmu yang tidak punya biaya; mereka akan selalu memandang harta oranng-orang kaya dengan pandangan iri dan dengki, dengan hati yang sangat kecewa dan benci, jika hak-hak Allah atas harta tersebut tidak diberikan. Mereka akan punya rasa dendam kepada orang-orang kaya.
Tetapi jika harta hasil zakat itu dibagi-bagikan kepada orang-orang yang berhak menerimanya, sehingga orang fakir, orang miskin, anak yatim, orang yang melarat, dan yang lainnya merasa tercukupi kebutuhannya, niscaya mereka menengadahkan tangannya kepada Allah untu mendoakan orang-orang kaya yang dermawan. Batin mereka merasa puas, dan hati mereka bersih dari sifat dengki. Akibatnya, mereka menjadi penolong bagi masyarakat yang memelihara dan menjamin keamanan bagi mereka. Mereka tidak suka menghancurkan, memberontak untuk menentangnya, dan melakukan pengrusakan. Tidak ada peluang bagi propaganda negatif untuk mendikte danmengausainya dari segala lapisan, karena selain sudah ada keadilan serta jaminan kesejahteraan, kesenjangan sosial sudah bisa ditekan sedemikian rupa dan bisa dimaklumi oleh mereka.
Bila kita simak berbagai permasalahan sosial saat ini, sesungguhnya hal itu muncul dari kecemburuan sosial antara si kaya dan si miskin. Untuk tingkat yang sangat akut, hal itu meledak menjadi kerusuhan massa yang merugikan banyak kalangan. Zakat sejatinya juga disyariatkan Allah untuk menghindari bencana seperti ini.
Ketika Islam menyuruh untuk mendermakan harta, dalam waktu bersamaan Islam mendorong kepada yang bersangkutan agar menyadari bahwa harta tersebut pada hakikatnya adalah harta milik Allah. Dalam hal ini Allah hanya menjadikannya sebagai khalifah untuk menguji keimanannya. Dan Allah juga memberitahukan bahwa sebagian harta itu sejatinya adalah milik kelompok-kelompok tertentu dari masyarakat yang tidak sanggup bekerja, atau yang sanggup bekerja tetapi penghasilan yang mereka peroleh tidak mencukupi keburuhan mereka.
Firman Allah, ”Dan mengapa kalian tidak menafkahkan (sebagian harta kalian), di jalan Allah, padahal Allahlah yang mewarisi (mempunyai) langit dan bumi.” (QS Al Hadid: 10). Karenanya, bagi orang yang berzakat juga Allah ingatkan bahwa saat berzakat sejatinya ia sedang berhubungan dengan Allah sehingga tidak perlu mengharapkan pembalasan samasekai dari orang yang ia beri zakat.
Allah berfirman, ”Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, maka Allah akan melipatgandakan (balasan) pinjaman itu untuknya dan ia akan memperoleh pahala yang banyak. (QS Al Hadid: 11). ***

[Tulisan ini merupakan arsip dari tulisan yang telah dipublikasikan di Buletin Sajada, Lembaga Amil Zakat Lampung Peduli, sejak 2005]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Saat Bencana Tak Menyadarkan Kita

“Belumkah datang kepada mereka berita penting tentang orang-orang yang sebelum mereka, (yaitu) kaum Nuh, 'Aad, Tsamud, kaum Ibrahim, penduduk Madyan dan negeri-negeri yang telah musnah? Telah datang kepada mereka rasul-rasul dengan membawa keterangan yang nyata, maka Allah tidaklah sekali-kali menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (QS At Taubah: 70) Selayaknya, hari itu adalah waktu libur yang menyenangkan. Pesisir pantai Aceh punya pesona menarik sebagaimana pantai lainnya di pesisir Samudera Indonesia. Pagi yang cerah. Menawarkan selera untuk bercengkerama dengan keluarga, sembari menikmati indahnya panorama pantai. Namun, malang tak dapat ditolak untung tak dapat diraih. Semuanya berubah menjadi peristiwa yang memilukan. Tiba-tiba bumi berguncang dahsyat, gempa mengundang panik semuanya. Belum sirna rasa terkejut itu, riuh rendah orang berteriak, “Air, air..., air datang!“ Kita selanjutnya menyaksikan ribuan mayat bergelimpangan, berbagai

PETAKA KUASA DUSTA

”Jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu-bapak dan kaum kerabatmu...Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” (TQS An Nisaa: 135). Ini kisah menurut La Fontaine dalam Fables et Epitres. Dunia margasatwa diserang wabah penyakit. Diduga wabah itu merupakan azab Tuhan karena kejahatan penghuni dunia itu. Baginda Singa, tokoh nomor satu di kerajaan rimba, dengan memelas mengakui, ”Akulah penyebab segala bencana ini. Pekerjaanku memakan warga yang lemah seperti domba dan kambing.” Serigala membantah. ”Bukan demikian, Baginda tidak salah.” Yang dilakukan singa adalah implikasi dari kekuasaan. Memakan warga adalah bagian resiko yang harus diambil dari kebijakan yang dibuat pemimpin. Seorang demi seorang dari pembesar margasatwa bergilir mengakui kesalahannya. Pengadilan selalu memutuskan mereka tak bersalah

“Robohnya Masjid Kami” [Kritik Memakmurkan Masjid]

“Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allah dalam masjid-masjid-Nya, dan berusaha untuk merobohkannya? Mereka itu tidak sepatutnya masuk ke dalamnya (masjid Allah), kecuali dengan rasa takut (kepada Allah). Mereka di dunia mendapat kehinaan dan di akhirat mendapat siksa yang berat.” (TQS Al Baqarah: 114) Masjid itu dindingnya dari tanah liat. Tiangnya batang kurma, lantainya pasir, dan atapnya pelepah kurma. Maka, di suatu hari kaum Anshar mengumpulkan harta dan mendatangi Rasulullah saw.. "Wahai Rasulullah, bangunlah masjid dan hiasilah seindah-indahnya dengan harta yang kami bawa ini. Sampai kapan kita harus salat di bawah pelepah kurma?" Rasulullah menjawab, "Aku ingin seperti saudaraku Nabi Musa, masjidku cukup seperti arisy (gubuk tempat berteduh) Nabi Musa a.s.” Dijelaskan oleh Hasan r.a. menjelaskan bahwa ukuran arisy Nabi Musa a.s. adalah bila Rasulullah saw. mengangkat tangannya maka atapnya akan tersentuh Hadits ya