Langsung ke konten utama

Agama sebagai Rahmat Alam Semesta

"Tidaklah sikap lemah lembut memasuki sesuatu, kecuali pasti menghiasinya. Dan tidaklah kekerasan itu memasuki sesuatu, kecuali pasti menodainya."
(Al Hadits)

Azahari. Tampaknya, nama itulah yang paling banyak disebut orang dan ditulis media massa, dua pekan yang lalu. Akhir hidupnya yang berjalan dramatis itulah yang membuatnya menarik untuk terus menjadi berita.
Kita patut prihatin, gelar teroris--yang dikaitkan dengan Islam--yang disematkan kepadanya, menjadi kesempatan emas bagi orang-orang yang suka menghina dan mendiskreditkan Islam. "Beginilah kalau orang Islam taat kepada agamanya, berbahaya bagi negara." Seolah-olah itulah yang ingin mereka katakan lewat media massa yang ada. Tak urung, masyarakat awam pun banyak yang terpengaruh dan menghubungkan ketaatan beragama dengan pembenaran atas perilaku kekerasan.
Jikalau benar Azahari melakukan kekerasan dan mendasari aktivitasnya atas nama Islam, kita patut memberi banyak catatan. Kita mungkin tidak meragukan lagi keikhlasannya, tetapi cara-cara kekerasan yang dilakukannya tentu tidak dapat begitu saja dibenarkan.
Kekerasan sesungguhnya hanya akan menjerumuskan agama ini dalam kubang keburukan atau mengulang kisah buruk yang pernah terjadi dalam sejarah Islam. Seperti yang pernah menimpa golongan Khawarij di masa-masa awal Islam, dimana orang-orangnya sangat teguh melaksanakan syiar-syiar ibadah, seperti puasa, qiyamul-lail (tahajud), dan membaca Al Qur'an. Mereka didatangi penyakit ini dari kerusakan dalam pemikiran mereka, bukan dari kerusakan hati.
Keburukan mereka telah dihiasi oleh setan, sehingga mereka melihatnya sebagai kebaikan. Usaha mereka telah hilang dalam kehidupan dunia, sedangkan mereka merasa telah melakukan perbuatan baik. Oleh karena itu, Rasulullah saw. mensifati mereka dengan sabdanya, "Salah seorang dari kamu akan memandang remeh salatnya, qiyamul lail-nya, dan bacaan Al Qur'annya bila dibandingkan dengan salat mereka, qiyamul lail mereka, dan bacaan Al Qur'an mereka. Namun bersamaan dengan ini, Rasulullah melukiskan mereka dengan mengatakan, "Mereka telah keluar dari agama, sebagaimana keluarnya anak panah dari busurnya." Kesalahan mereka adalah ketika mereka dengan mudah memberi vonis kafir kepada orang-orang yang menurutnya tidak menjalankan Islam dengan benar.
Apa yang terjadi pada kelompok Khawarij di masa lalu, sepertinya juga terjadi pada generasi saat ini. Menurut Syaikh Yusuf Qardhawi, generasi penerus mereka ini adalah kelompok yang yang disebut sebagai jamaah at-takfir wa al-hijrah. Mereka mengafirkan semua orang yang melakukan kemaksiatan, terus menerus melakukannya, dan tidak bertobat darinya.
Mereka juga mengafirkan rakyat, karena mereka rela kepada para penguasa dan mengikuti mereka dalam berhukum kepada hukum yang tidak diturunkan Allah.
Mereka juga mengafirkan para ulama dan lainnya, karena ulama itu tidak mengafirkan penguasa dan rakyat. Barangsiapa tidak mengafirkan orang kafir, maka ia kafir. Mereka juga mengafirkan siapa saja yang menerima pikiran mereka , tapi tidak masuk ke dalam jamaahnya
Ada hadist sahih yang diriwayatkan dari Usamah bin Zaid bahwa barangsiapa telah mengucapkan "Laa ilaha ilallah" berarti telah masuk agama Islam. Darah dan hartanya dilindungi, sekalipun ia mengucapkan kalimat itu karena takut dan dalam rangka melindungi dirinya dari pembunuhan yang dilakukan orang Muslim. Segala perhitungannya menjadi wewenang Allah, sedangkan kita hanya berhak menilai aspek lahir saja. Oleh karena itu, Nabi Muhammad sangat mencela tindakan Usamah ketika membunuh seseorang dalam pertempuran setelah mengucapkan syahadat. Beliau bertanya dalam nada marah, "Kau bunuh ia setelah mengucapkan Laa ilaha ilallah?" Usamah menjawab, "Ia mengucapkan semata-mata untuk melindungi diri dari tebasan pedang!" Beliau bersabda, "Mengapa tidak kau belah dadanya sekalian? Apa yang kamu lakukan terhadap kalimat Laa ilaha ilallah ?" Usamah bercerita, "Beliau terus mengulangi sabdanya itu, sampai aku berangan-angan, seandainya aku baru masuk Islam seperti itu."

Sunnah Tadaruj (Kebertahapan)
Kekerasan dalam menyebarkan agama ini, lazim didasari atas keinginan besar untuk dapat segera menyelesaikan setiap masalah yang ada. Kita lupa bahwa setiap kebaikan itu berproses, ada jenjang atau penahapannya (tadaruj). Barangsiapa mengenal sejarah dan sunah-sunah Allah yang terkandung di dalamnya, maka ia akan menemukan pelajaran besar ini.
Tadaruj merupakan hukum alam dan hukum syariat. Oleh karena itu, Allah swt menciptakan langit dan bumi dalam enam hari, padahal sesungguhnya Dia mampu untuk mengucapkan, 'Kun,"jadilah. maka jadilah langit itu. Akan tetapi Allah menciptakan dalam enam hari, diantara hari-hariNya. Yakni, dalam enam periode. Hari-hari penciptaan ini bukanlah hari-hari yang kita alami ini, hanya Allah yang mengetahui hal itu. Penciptaan manusia, hewan, dan tumbuhan berproses secara bertahap dalam beberapa periode, sehingga ia mencapai pertumbuhan dan kesempurnaannya.Ini dilihat dari hukum alam.
Adapun dari sisi syariat, Islam telah memulai dakwah terlebih dahulu kepada tauhid dan mengukuhkan akidah yang benar, kemudian syariat Allah secara bertahap. Amalan-amalan fardhu dan hal-hal yang diharamkan diturunkan Allah secara bertahap, sebagaimana yang diriwayatkan secara sahih mengenai prosese diwajibkannya shalat, puasa, zakat, diharamkannya khamr, dan sebagainya. Oleh kerana itu ayat-ayat Al Makkiyah (yang diturunkan di Makkah) berbeda dari ayat-ayat Al Madaniyah (yang diturunkan di Madinah).
Mengenai makna ini, Aisyah r.a. pernah melukiskan terjadinya penahapan dalam penetapan syariat dan turunnya Al Qur'an. "Sesungguhnya, ayat Al Qur'an yang diturunkan kali pertama adalah surat-surat yang di dalamnya disebutkan surga dan neraka, sehingga ketika manusia telah mantap dengan keislaman mereka, turunlah hukum Allah tentang halal dan haram. Andaikata yang pertama kali turun adalah, "Jangan minum khamr, jangan berzina!," niscaya mereka mengatakan, 'Kami tidak akan pernah meninggalkan khamr dan zina selamanya'."
Oleh karenanya, orang-orang yang berdakwah untuk memulai kehidupan Islami dan menegakkan negara Islam di bumi, berkewajiban untuk mengetahui dan memperhatikan sunah penahapan (taddaruj) dalam mewujudkan tujuan-tujuan yang hendak diwujudkan seraya memperhitungkan luhurnya tujuan, sarana yang memungkinkan, dan banyaknya hambatan. Simaklah, sebuah contoh berikut ini dari sirah khalifah yang masyhur keadilannya, Umar bin Abdul Aziz, sosok yang banyak disebut ulama sebagai khalifah kelima. Umar telah bertekad untuk kembali kepada kehidupan yang dicontohkan oleh empat khulafaurrasyidin dan akan dilakukannya setelah memiliki kekuatan dan memegang kendali kekuasaan. Akan tetapi puteranya, Abdul Malik, adalah seorang pemuda yang takwa dan penuh gelora. Ia mengkritik ayahnya yang tidak segera menghilangkan sisa-sisa penyimpangan dan kezaliman, memusnahkan pengaruh-pengaruhnya, danmengembalikan urusa kepada sunah-sunah khulafaurrasyidin. Suatu ketika, Abdul Malik berkata kepadanya. "Ayahanda, mengapa engkau tidak segera melaksanakan semua rencana? Demi Allah, aku tidak peduli andaikata bejana dididihkan untuk menggodokku, selama dirimu di dalam kebenaran."
Umar bin Abdul Aziz, seorang ayah yang faqih itu menjawab, "Jangan tergesa-gesa anakku. Sesungguhnya Allah mencela khamr dalam Al Qur'an dua kali, kemudian mengharamkannya untuk kali ketiganya. Aku khawatir jika akau menganjurkanmanusia kepada kebenaran sekaligus, kelak mereka juga akan meninggalkannya sekaligus." (Al Muwafaqat, II/94)
Demikianlah, permakluman atas penyimpangan dan kezaliman itu dilakukan oleh kalangan salaf, seraya secara bertahap mereka merubahnya.

Menanyakan Masalah kepada Ulama

Salah satu penyebab kelemahan bashirah mereka adalah tidak mau mendengarkan alasan orang yang berbeda pendapat dari mereka, tidak mau berdialog dengannya, dan tidak pernah membuka kesempatan bagi pendapat-pendapat mereka untuk diuji, di mana pendapat-pendapat tersebut bisa ditimbang, dibandingkan, dan diambil yang terbaik dari pendapat yang ada.
Kita tidak mempelajari ilmu dari ahlinya dan spesialis di bidangnya. Kita mempelajari ilmu hanya dari buku-buku dan surat kabar secara langsung, tanpa memiliki kesempatan dipikirkan ulang, didiskusikan, diterima, dan ditolak. Kita membaca sesuatu, memahaminya, lantas mengambil kesimpulan darinya. Padahal sangat mungkin kita membaca, memahami, bahkan menyimpulkan secara tidak baik karena tidak menyadarinya.
Bisa jadi ada dalil yang bertentangan yang lebih kuat, sedangkan kita tidak mengetahui. Kita yang ikhlas ini lupa bahwa ilmu dan fiqih syariat harus mengacu kepada ahlinya yang terpercaya. Kita tidak bisa menyelami lautan luas ini seorang diri, tanpa mursyid (guru) yang membimbing, menafsirklan hal yang kabur dari berbagai istilah, mengembalikan persoalan cabang (furu’) kepada pokok-pokonya (ushul), serta persoalan yang sama kepada yang serupa dengannya.
Seseorang yang berenang seorang diri di lautan sementara ia tidak ahli berenang, ia pasti terancam terombang-ambing, terseret arus ke arah yang tidak diinginkan. Bahkan, seringkali pula laut akan menelannya, sedangkan ia tidak sampai ke pantai harapan, dan tidak menemukan siapa yang menolongnya, karena ia mengarungi lautan ini seorang diri tanpa pembimbing dan petunjuk. Demikian halnya mempelajari syariat tanpa guru, tidak akan terlepas dari berbagai bahaya, lubang-lubang, dan bencana-bencana, khususnya ketika berada dipersimpangan jalan dan tempat-tempat yang samar serta terdapat kontradiksi dalil-dalil dan alasan-alasan.
Inilah sesungguhnya latar belakang yang mendasari para salaf mengingatkan kita agar berhati-hati terhadap pencari ilmu. Mereka berkata, “Janganlah mempelajari Al Qur’an darimushaf dan mempelajari dari buku!” Maksud dari mempelajari Al Qur’an dari mushaf adalah orang yang menghafal Al Qur’an dari mushaf semata, tanpa mempelajarinya dari riwayat dan langsung secara lisan dari syaikh dan qari (pembaca Al Qur’an) yang ahli. Sedangkan maksud dari mempelajari ilmu dari buku adalah orang yang mencari ilmu langsung dari buku-buku, tanpa menjadi murid seorang ulama dan tidak dididik oleh ulama.
Tentang perlunya spesialisasi keahlian dalam perkara ilmu dan hukum agama ini, Allah berfirman, "Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya." (QS At Taubah: 122).
Di ayat tersebut telah jelas Allah menerangkan tentang perlunya ada sebagian orang yang memperdalam pengetahuan untuk kemudian mengingatkan kita. Itulah para ulama.
Tidak kita pungkiri, saat ini ada sebagian ulama yang saat ini kurang lagi dipercayai lantaran kedekatannya dengan penguasa, kemudian tidak lagi jelas pembelaannya terhadap umat. Namun, kita tidak boleh membuat generalisasi (penyamarataan), bahwa pasti ada ulama yang masih lurus. “Umatku tidak akan bersepakat terhadap sebuah perkara batil,” sabda Rasulullah, yang bermakna bahwa tidak mungkin seluruh ulama itu bersepakat dalam perkara batil/salah dalam setiap zaman.***

[Tulisan ini merupakan arsip dari tulisan yang telah dipublikasikan di Buletin Sajada, Lembaga Amil Zakat Lampung Peduli, sejak 2005]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PETAKA KUASA DUSTA

”Jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu-bapak dan kaum kerabatmu...Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” (TQS An Nisaa: 135). Ini kisah menurut La Fontaine dalam Fables et Epitres. Dunia margasatwa diserang wabah penyakit. Diduga wabah itu merupakan azab Tuhan karena kejahatan penghuni dunia itu. Baginda Singa, tokoh nomor satu di kerajaan rimba, dengan memelas mengakui, ”Akulah penyebab segala bencana ini. Pekerjaanku memakan warga yang lemah seperti domba dan kambing.” Serigala membantah. ”Bukan demikian, Baginda tidak salah.” Yang dilakukan singa adalah implikasi dari kekuasaan. Memakan warga adalah bagian resiko yang harus diambil dari kebijakan yang dibuat pemimpin. Seorang demi seorang dari pembesar margasatwa bergilir mengakui kesalahannya. Pengadilan selalu memutuskan mereka tak bersalah

“Robohnya Masjid Kami” [Kritik Memakmurkan Masjid]

“Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allah dalam masjid-masjid-Nya, dan berusaha untuk merobohkannya? Mereka itu tidak sepatutnya masuk ke dalamnya (masjid Allah), kecuali dengan rasa takut (kepada Allah). Mereka di dunia mendapat kehinaan dan di akhirat mendapat siksa yang berat.” (TQS Al Baqarah: 114) Masjid itu dindingnya dari tanah liat. Tiangnya batang kurma, lantainya pasir, dan atapnya pelepah kurma. Maka, di suatu hari kaum Anshar mengumpulkan harta dan mendatangi Rasulullah saw.. "Wahai Rasulullah, bangunlah masjid dan hiasilah seindah-indahnya dengan harta yang kami bawa ini. Sampai kapan kita harus salat di bawah pelepah kurma?" Rasulullah menjawab, "Aku ingin seperti saudaraku Nabi Musa, masjidku cukup seperti arisy (gubuk tempat berteduh) Nabi Musa a.s.” Dijelaskan oleh Hasan r.a. menjelaskan bahwa ukuran arisy Nabi Musa a.s. adalah bila Rasulullah saw. mengangkat tangannya maka atapnya akan tersentuh Hadits ya

Saat Bencana Tak Menyadarkan Kita

“Belumkah datang kepada mereka berita penting tentang orang-orang yang sebelum mereka, (yaitu) kaum Nuh, 'Aad, Tsamud, kaum Ibrahim, penduduk Madyan dan negeri-negeri yang telah musnah? Telah datang kepada mereka rasul-rasul dengan membawa keterangan yang nyata, maka Allah tidaklah sekali-kali menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (QS At Taubah: 70) Selayaknya, hari itu adalah waktu libur yang menyenangkan. Pesisir pantai Aceh punya pesona menarik sebagaimana pantai lainnya di pesisir Samudera Indonesia. Pagi yang cerah. Menawarkan selera untuk bercengkerama dengan keluarga, sembari menikmati indahnya panorama pantai. Namun, malang tak dapat ditolak untung tak dapat diraih. Semuanya berubah menjadi peristiwa yang memilukan. Tiba-tiba bumi berguncang dahsyat, gempa mengundang panik semuanya. Belum sirna rasa terkejut itu, riuh rendah orang berteriak, “Air, air..., air datang!“ Kita selanjutnya menyaksikan ribuan mayat bergelimpangan, berbagai