Langsung ke konten utama

Ilmu sebagai Pemandu

”Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. ”
(QS Al Israa’: 36)

Namanya Mochammad Yusman Roy. Ia muallaf, baru mengenal Islam selama dua tahun. Di wajahnya, ada nuansa semangat untuk menjalankan agama, setelah sebelumnya dunia gelap menyelimutinya. Ia memang pernah lama malang melintang menjadi body guard bayaran. Sampai kemudian ia tersadar dan mendirikan kelompok pengajian. Namun, saat ini jamaah ”Ngaji Lelaku” di Malang, Jawa Timur yang dipimpinnya ramai menjadi buah bibir masyarakat.
Masalah Roy mulanya sederhana. Ia ingin ibadah salat yang dijalaninya benar-benar dapat dihayati dengan baik. Menurutnya kendala tersebut muncul dari kesulitan sseorang memahami bacaan salat yang berbahasa Arab. Lalu atas kehendaknya, ia mengajarkan salat dengan lafal bahasa Indonesia. Ia kemudian memberi fatwa tentang bolehnya salat dengan bahasa Indonesia. Beberapa kalangan mengingatkan, tapi ia berkeras hati dengan pendiriannya. Sampai kemudian ulama menghukuminya salah dan Roy harus berurusan dengan polisi.

Kisah Roy dengan Jamaah ”Ngaji Lelaku”-nya, mirip dengan kisah yang diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud. Abdullah bin Mas’ud, sahabat Rasulullah saw. yang termasyhur dengan keluasan ilmunya ini, suatu saat mendapati sekumpulan orang di masjid Nabawi. Mereka berdzikir seraya memindahkan batu-batu kecil untuk menghitung bilangan zikirnya. ”Apa yang kalian maksudkan dengan perbuatan ini?” tegur Abdullah bin Mas’ud. ”Tidaklah ini kami lakukan kecuali dengan tujuan kebaikan saja,” sanggah mereka. Lalu ketika hal itu dilakukan lagi oleh mereka, Abdullah bin Mas’ud menyuruh kaum Muslimin mengusir mereka dari masjid.
Kita tidak bermaksud berburuk sangka dengan Yusman Roy dengan tindakannya tersebut. Tapi, sesungguhya kasus Roy dan kasus lain yang serupa—yang membuat ulama kemudian menghukuminya sesat—adalah potret tentang minimnya pemahaman tentang ilmu agama. Ada orang yang tulus ingin beribadah kepada Allah, tetapi ia hanya sedikit memahami dalil-dalil agama. Ketulusan yang tidak didasari ilmu tersebut lantas membuatnya hanya menuruti perasaan, atau berdasar jangkauan akalnya sendiri. Lalu ”kreativitas” dan ”inovasi” dari diri sendiri itulah yang kemudian menjadi masalah.

Islam telah mengatur tata cara beribadah dengan rinci. Ibadah mahdhah (seperti: salat, puasa, haji, zakat) adalah ibadah yang khusus yang diatur detail sesuai dengan yang diajarkan Rasul kepada sahabat-sahabatnya. Ibadah sesungguhnya bukan wilayah akal dan perasaan. Ali bin Abi Thalib karamallahu wajhah, salah seorang sahabat Nabi yang terkenal dengan kepandaiannya, suatu saat mengatakan ” Kalau semisal ibadah dalam agama ini menuruti akal, maka sesungguhnya membasuh sepatu (khuf) dalam wudhu (ketika sedang dalam perjalanan) adalah bagian bawahnya, karena bagian yang kotor adalah di bagian bawah sepatu. Tetapi sungguh, saya melihat Rasulullah membasuh sepatunya hanya di bagian atas sepatu.” Begitulah, Ali k.w. mengawali kesaksiannya dengan sangat cerdas. Ali k.w. menyadari, suatu saat akan ada yang mempertanyakan tentang praktek ibadah tersebut. Dalam fikiran kita, sudah pasti saat kita bersepatu di kala berjalan, bagian bawah sepatu yang menyentuh tanah pastilah yang paling kotor dan paling utama dibersihkan. Namun ternyata, Rasulullah tidak melakukan itu, ia hanya membasuh bagian atas sepatu yang tidak bersentuhan langsung dengan tanah. Inilah yang ditegaskan Ali k.w., bahwa agama bukan memperturutkan akal.

Ilmu Melahirkan Petunjuk
Perkara-perkara besar yang terjadi di sekitar kita—terkait dengan ibadah atau perkara kehidupan yang lain—sesungguhnya akan menuai masalah tatkala tidak didasari dengan Maka, bagi kita orang Muslim, menuntut adalah perkara wajib yang harus dilaksanakan dalam berbagai kesempatan. Ilmu adalah pangkal dari perbuatan. Sebuah atsar juga memberikan kaidah, ”Ilmu dulu, baru perkataan dan amal” (al ilmu qabla-qauli qabla-’amali).
Di dalam Al Qur’an, Allah juga melarang kita berbuat sesuatu yang tidak didasari ilmu.
”Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. ” (QS Al Israa’: 36)

Keutamaan Penuntut Ilmu
Kasus Jamaah Ngaji Lelaku pimpinan Roy, selayaknya juga menjadi cermin kita semua. Betapa banyak di antara kita yang masih belum mengerti tentang ilmu agama. Banyak diantara kita yang tidak dapat menyikapi dengan bijak setiap persoalan. Masih banyak di antara kita tidak bisa menentukan batas kebaikan dan kesalahan. Maka, secara khusus agama kita sangat menganjurkan setiap umatnya untuk senantiasa belajar dan menuntut ilmu. Ilmu mempunyai derajat paling utama dibandingkan dengan aktivitas yang lain.
Dalam sebuah kesempatan sahabat Nabi saw., seorang Anshar, bertanya kepada Rasulullah saw., “Wahai Rasulullah, jika ada orang yang meninggal dunia bertepatan dengan acara majelis ilmu, manakah yang lebih berhak mendapatkan perhatian?” Rasulullah menjawab,” Jika telah ada orang yang mengantar dan menguburkan jenazah itu, maka menghadiri majelis ilmu itu lebih utama daripada melayat seribu jenazah. Bahkan ia lebih utama daripada menjenguk seribu orang sakit, atau shalat seribu hari seribu malam, atau sedekah seribu dirham pada fakir miskin, ataupun seribu kali berhaji; bahkan lebih utama daripada seribu kali berperang di jalan Allah dengan jiwa dan ragamu. Tahukah engkau bahwa Allah dipatuhi dengan ilmu, dan disembah dengan ilmu pula? Tahukah engkau bahwa kebaikan dunia dan akhirat adalah dengan ilmu, sedangkan keburukan dunia dan akhirat adalah dengan kebodohan?”
Perkataan Rasululullah saw. di atas menegaskan betapa tingginya derajat penuntut ilmu. Pernyataan Rasulullah di atas melengkapi berbagai anjuran Islam tentang menuntut ilmu. “ Menuntut ilmu itu hukumnya fardhu atas tiap-tiap orang islam,” tegas Rasulullah, dalam hadist yang disampaikan Anas bin Malik.
Ali karamallahu wajhah pernah ditanya orang tentang keutamaan yang ada pada ilmu, dibandingkan keutamaan yang ada pada harta. Ali k.w. menegaskan, ilmu lebih besar manfaatnya bagi seseorang dibandingkan dengan harta benda yang dimilikinya. Karena, harta akan menyibukkan seseorang untuk menghitung dan menjaganya, sementara ilmu menjaga seseorang. Harta akan habis jika dipakai dan diberikan, sedangkan ilmu semakin dipakai dan diamalkan akan semakin luas dan bertambah. Ilmu adalah kuasa, sedangkan harta dikuasai. Penumpuk harta akan mati tetapi pemilik ilmu akan tetap dikenang orang sepanjang zaman, karena atsar (pengaruh) dan manfaat yang ditinggalkannya bagi orang-orang yang hidup sesudahnya.
Orang bijak tentu akan lebih mengutamakan dan memilih ilmu pengetahuan. Hal ini mngingatkan kita tentang bagaimana bijaknya Nabi Sulaiman a.s. ketika ditawarkan dua pilihan. Kepadanya ia ditawarkan: Apakah akan memilih ilmu atau istana yang berlapis emas dan permata yang indah. Nabi Sulaiman a.s. lebih memilih ilmu. Di kemudian hari, dengan ilmu yang dianugerahkan Allah SWT kepadanya itu, Nabi Sulaiman a.s. akhirnya juga diberikan harta yang berlimpah dan istana yang megah.
Dalam sebuah hadits yang masyhur, Rasulullah juga memberikan panduan kepada kita tentang keutamaan ilmu, ”Barangsiapa yang menginginkan dunia maka hendaklah ia meraihnya dengan ilmu, barangsiapa menginginkan akhirat haruslah dengan ilmu, dan barangsiapa yang menginginkan keduanya (yakni dunia dan akhirat) maka haruslah dengan ilmu.” ***
[Tulisan ini merupakan arsip dari tulisan yang telah dipublikasikan di Buletin Sajada, Lembaga Amil Zakat Lampung Peduli, sejak 2005]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pemimpin Ruhani (Asa dari Gaza)

Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik. ( QS Al Ankabut: 69 ) Segala cara sudah ditempuh untuk membendung dakwah Muhammad. Semuanya tidak membuahkan hasil. Kepanikan kaum musyrikin Makkah mencapai puncaknya ketika keluarga besar Muhammad, Bani Hasyim dan Bani al-Muththalib, berkeras melindungi Muhammad. Mereka lalu berkumpul di kediaman Bani Kinanah dan bersumpah untuk tidak menikahi Bani Hasyim dan Bani Muththalib, tidak berjual beli dengan mereka, tidak berkumpul, berbaur, memasuki rumah ataupun berbicara dengan mereka hingga mereka menyerahkan Muhammad untuk dibunuh. Kesepakatan zalim itu mereka tulis dalam lembar perjanjian (shahifah) dan digantungkan di rongga Ka’bah. Pemboikotan itu berjalan 3 tahun. Stok makanan mereka habis. Sementara itu kaum musyrikin tidak membiarkan makanan apapun yang masuk ke Mekk...

Tragedi Ponari

S esungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka pasti Allah akan mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya adalah neraka. Tidak ada orang-orang zalim itu seorang penolong pun. (QS Al-Maidah: 72). Belum lepas dari ingatan dengan hebohnya Ryan Sang Penjagal, Jombang kembali menjadi perhatian. Puluhan ribu orang tumplek-blek , minta diobati oleh Ponari, anak yang dianggap memiliki batu sakti. Maka drama kolosal yang konyol itu berlangsung. Sembari digendong tangan kanan dicelupkan ke wadah air pasien yang antri, tangan kiri Ponari sibuk bermain game dari ponsel. “Ponari itu diberi kelebihan oleh Tuhan,” kata seorang wanita yang datang jauh dari Sidoarjo. Tokoh agama yang tak jelas aqidahnya, membolehkan datang ke tempat Ponari. Begitulah, tak sekadar konyol, ini menjadi drama memilukan. Empat nyawa melayang karena berdesak-desakan. Karena capek, Ponari dirawat di rumah sakit—bahkan ia tak mampu mengobati dirinya sendiri. Menyimak beritanya, saya dil...

Pemimpin sebagai Pelayan

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat . ( TQS An Nisa: 58 ). Di zaman khalifah Umar bin Khattab, pada tahun ke-17 Hijriyah pernah terjadi bencana kelaparan yang mengerikan. Penyebabnya, di seluruh semenanjung Arab (Hijaz) tidak turun hujan selama 9 bulan dan hujan abu dari gunung berapi. Tanah menjadi hitam gersang penuh abu dan mematikan segala tanaman di atasnya. Tahun tersebut dinamai “Tahun Abu” (Amar-Ramaadah). Hewan-hewan yang ada kurus kering, tetapi karena lapar mereka sembelih dengan rasa jijik saking begitu buruknya. Penduduk di pedalaman ramai-ramai mengungsi ke Madinah. Umar sendiri ikut mengurus makanan penduduk Madinah dan para pengungsi. Ia turut mengolah roti dengan zaitun untuk dijadikan roti kuah. S...