Langsung ke konten utama

Dakwah Ilmiah

Maka Maha Tinggi Allah Raja Yang sebenar-benarnya, dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca Al Quran sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu, dan katakanlah: "Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan."
(TQS Thaaha: 114).

Saat Darwin menerbitkan The Origin of Species pada 1859, dunia ilmiah (sains) dan agama guncang. Kehidupan berkembang tidak seperti yang diceritakan para ruhaniawan gereja. Manusia bukan lagi keturunan Nabi yang ditempatkan di surga. Ia tidak turun dari langit. Ia turun dari monyet. Walaupun Darwin pada akhirnya menjadi ateis, ia tidak melakukan dialog terbuka dengan wakil gereja. Huxley mewakilinya. Maka, pada 1860, The British Association for the Advancement of Science mengadakan pertemuan di Oxford. Yang datang tidak saja ilmuwan yang merisaukan perkembangan baru dalam biologi, tetapi juga gereja Inggris.
Maka, perdebatan pun direncanakan antara Huxley dan Bishop Samuel Wilburforce, yang tidak pernah membaca The Origin, tetapi telah dilatih untuk membantahnya oleh ilmuwan Inggris terkemuka, Sir Richard Owen.
Mungkin Anda pernah mendengar bagaimana akhir pertemuan itu. Wilburforce yang menjadi wakil gereja menggunakan retorika argumentum ad hominem (menyerang pribadi). Sambil menghadap Huxley, ia bertanya, “Darimana asal-usul monyet itu datang, dari pihak kakekmu atau nenekmu!?
Konon Huxley langsung menukas, “Lebih baik aku turun dari monyet ketimbang turun dari Bishop!”
Kemudian Huxley –walaupun sudah menjadi klasik— memberikan sebuah jawaban menarik: “Saya telah menegaskan dan saya ulangi bahwa manusia tidak perlu merasa malu karena berasal dari nenek moyang monyet. Seandainya ada nenek moyang yang seharusnya aku malu dalam mengingatnya, maka dia itulah orang yang akalnya gelisah, yang karena tidak puas dengan keberhasilan dalam wilayah aktivitasnya, ia menceburkan diri pada masalah ilmiah yang tidak diketahuinya sama sekali, hanya untuk memperkeruhnya dengan retorika tanpa arah dan mengalihkan perhatian pendengarnya dari masalah utama dengan menggunakan acuan prasangka keberagamaan.”
Mendengar jawaban telak itu, Wilburforce dipermalukan. Banyak hadirin terkesima. Seorang perempuan terkemuka, Lady Browster, jatuh pingsan. Bersama dengannya jatuh juga kehormatan agama (baca: gereja). Sebagaimana Galileo dahulu (diharuskan) takluk oleh pengadilan gereja, Wilburforce ”tewas” di hadapan pengadilan ilmiah. Kala itu, sains menang, agama kalah.

Argumentasi
Walaupun konflik secara ekstrim antara sains dan agama tak pernah terjadi dalam Islam, kisah ”kekalahan” serupa bukan berarti tak pernah ditemui. Hal ini lazim terjadi ketika ajaran agama disampaikan secara dogmatis. Agama dipahami tak lebih dari sunnah-bid’ah, halal-haram, muslim-kafir, surga-neraka, dst.. Ini tentu bukan berarti menjauhkan agama dari dogma. Namun, menyampaikan kaidah agama tanpa ada argumentasi memadai hanya akan menuai banyak penolakan.
Wilburforce tampak mewakili salah satu karakter negatif para penyeru agama. Keteguhan memegang prinsip/dogma seringkali menghalangi diri untuk bijak menyikapi kesalahan orang lain. Tidak ada argumentasi yang dibangun. Seolah semua selesai dengan mengatakan ahlul bid’ah, sesat, kafir, dan lainnya. Maka kemudian, penolakan dan kegagalan itu muncul bukan karena benar-salah dari ajaran yang kita sampaikan, tetapi efek psikologis yang timbul. Kita menyakiti lawan bicara.
Al Quran telah mengajarkan kepada kita tentang ketrampilan komunikasi ini. ”Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (TQS An Nahl: 125).
’Pelajaran yang baik’ analog dengan argumentasi memadai yang kita bangun. Ini juga menyangkut dengan kesesuaian/relevansinya. Bila alasan itu dikemukakan lewat argumentasi ilmiah, maka kita juga harus membantahnya lewat pembuktian secara ilmiah. Kita harus menyesuaikan dengan ”bahasa kaum.”
”Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Dia-lah Tuhan Yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana” (TQS Ibrahim: 4).
Semoga Allah merahmati Harun Yahya (nama pena dari Adnan Ochtar). Ilmuwan Turki ini, lewat rangkaian karya ilmiah yang secara gigih ia lakukan, telah membuktikan kesalahan Teori Evolusi Darwin. Dari buku-buku atau CD film dokumenter karyanya, kita dapat mengetahui bahwa Teori Evolusi tak lebih dari ilusi atau fantasi yang tak punya pijakan ilmiah memadai. Penemuan DNA atau kromosom sebagai pembawa sifat keturunan misalnya, telah menggugurkan kemungkinan mutasi genetis seperti yang dinyatakan Darwin(isme).
Harun Yahya telah memberi teladan kepada kita tentang cara menyampaikan argumentasi yang sesuai dengan objeknya.

Etos Ilmiah
Sejarah Islam telah memberikan bukti, bahwa kejayaan dan masa keemasan yang pernah diraih oleh Islam itu dilandasi oleh tradisi ilmu pengetahuan yang kokoh. Di beberapa abad pertengahan, saat negeri-negeri Islam mempunyai standar kesejahteraan yang tinggi dibandingkan Barat, budaya membaca adalah tradisi yang kokoh di masyarakat Islam. Sebagaimana dicatat oleh Roger Garaudy, pada awal tahun 800 Masehi, perpustakaan tumbuh subur di seluruh Jazirah Arab. Khalifah Al Makmun, pada tahun 815 mendirikan di kota Baghdad “Baitul Hikmah” sebuah perpustakaan yang berisikan sejuta buku. Pada tahun 891 M seorang pengembara menghitung lebih dari 100 perpustakaan di Baghdad.
Hal tersebut juga diikuti dengan deretan prestasi ilmiah yang lain. Pada abad ke-10 suatu kota kecil di Najaf di Irak, mempunyai 40.000 buku. Direktur observatorium Maragha, Nashiruddin At-Tusi memiliki kumpulan buku sejumlah 400.000 buah. Di Dunia Islam sebelah barat, di Kordoba (sekarang Spanyol) Khalifah Al Hakim dapat membanggakan diri pada abad ke-10 karena memiliki perpustakaan yang berisi 400.000 buku. Tetapi, tak ada yang menyaingi khalifah di Kairo Mesir, Al Aziz, yang memiliki dalam perpustakaannya 1.600.000. buah buku, di antaranya 16.000 buah tentang matematika dan 18.000 tentang filsafat. Padahal empat abad sesudah itu, di Eropa, Raja Perancis Charles Yang Bijaksana (gelar yang disematkan karena dianggap paling pandai) hanya memiliki koleksi 900 buah buku. Hingga abad ke-13 secara terus menerus ilmu pengetahuan dapat dikatakan adalah 'milik' umat Islam. Umat Islam giat sekali mengembangkan sains (Roger Garaudy. 1981. Promesses de l’Islam).
Kalau Anda sempat menghadiri Pesta Buku (Book Fair) Lampung pekan yang lalu, kesan ini mungkin sama terasa. Saat ini, banyak penerbit menerbitkan buku-buku Islam. Buku keislaman laris manis. Di kota-kota besar, banyak kalangan merasa perlu melaksanakan sendiri Islamic Book Fair. Budaya ilmiah, lewat membaca buku-buku Islam, terasa geliatnya.
Bila semangat mencari ilmu tersebut terus meningkat dilakukan oleh generasi saat ini kejayaan Islam bukan mustahil tinggal menunggu waktu saja. Sebagaimana kata John Naisbitt, seorang futurolog (ahli pemerkira masa depan), abad ke-21 adalah abad teknologi dan ilmu pengetahuan. Warisan peradaban Islam membuktikan bahwa kejayaan Islam berbanding lurus dengan penghargaan terhadap ilmu pengetahuan (sains).
Sampai di sini, kita tidak ingin kekalahan Wilburforce vs Huxley berulang lagi. Cukuplah Teori Darwin kita ketahui sebagai bagian sejarah daripada pengetahuan ilmiah. ‘Dakwah ilmiah’ menjadi salah satu modal memenangkan Islam. Seperti kata Yusuf Qardhawy, insya Allah fajar kemenangan itu tinggal menunggu waktu saja tatkala Barat nanti akan kita tundukkan dengan lisan dan ilmu pengetahuan.***

[Tulisan ini merupakan arsip dari tulisan yang telah dipublikasikan di Buletin Sajada, Lembaga Amil Zakat Lampung Peduli, sejak 2005]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PETAKA KUASA DUSTA

”Jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu-bapak dan kaum kerabatmu...Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” (TQS An Nisaa: 135). Ini kisah menurut La Fontaine dalam Fables et Epitres. Dunia margasatwa diserang wabah penyakit. Diduga wabah itu merupakan azab Tuhan karena kejahatan penghuni dunia itu. Baginda Singa, tokoh nomor satu di kerajaan rimba, dengan memelas mengakui, ”Akulah penyebab segala bencana ini. Pekerjaanku memakan warga yang lemah seperti domba dan kambing.” Serigala membantah. ”Bukan demikian, Baginda tidak salah.” Yang dilakukan singa adalah implikasi dari kekuasaan. Memakan warga adalah bagian resiko yang harus diambil dari kebijakan yang dibuat pemimpin. Seorang demi seorang dari pembesar margasatwa bergilir mengakui kesalahannya. Pengadilan selalu memutuskan mereka tak bersalah

“Robohnya Masjid Kami” [Kritik Memakmurkan Masjid]

“Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allah dalam masjid-masjid-Nya, dan berusaha untuk merobohkannya? Mereka itu tidak sepatutnya masuk ke dalamnya (masjid Allah), kecuali dengan rasa takut (kepada Allah). Mereka di dunia mendapat kehinaan dan di akhirat mendapat siksa yang berat.” (TQS Al Baqarah: 114) Masjid itu dindingnya dari tanah liat. Tiangnya batang kurma, lantainya pasir, dan atapnya pelepah kurma. Maka, di suatu hari kaum Anshar mengumpulkan harta dan mendatangi Rasulullah saw.. "Wahai Rasulullah, bangunlah masjid dan hiasilah seindah-indahnya dengan harta yang kami bawa ini. Sampai kapan kita harus salat di bawah pelepah kurma?" Rasulullah menjawab, "Aku ingin seperti saudaraku Nabi Musa, masjidku cukup seperti arisy (gubuk tempat berteduh) Nabi Musa a.s.” Dijelaskan oleh Hasan r.a. menjelaskan bahwa ukuran arisy Nabi Musa a.s. adalah bila Rasulullah saw. mengangkat tangannya maka atapnya akan tersentuh Hadits ya

Saat Bencana Tak Menyadarkan Kita

“Belumkah datang kepada mereka berita penting tentang orang-orang yang sebelum mereka, (yaitu) kaum Nuh, 'Aad, Tsamud, kaum Ibrahim, penduduk Madyan dan negeri-negeri yang telah musnah? Telah datang kepada mereka rasul-rasul dengan membawa keterangan yang nyata, maka Allah tidaklah sekali-kali menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (QS At Taubah: 70) Selayaknya, hari itu adalah waktu libur yang menyenangkan. Pesisir pantai Aceh punya pesona menarik sebagaimana pantai lainnya di pesisir Samudera Indonesia. Pagi yang cerah. Menawarkan selera untuk bercengkerama dengan keluarga, sembari menikmati indahnya panorama pantai. Namun, malang tak dapat ditolak untung tak dapat diraih. Semuanya berubah menjadi peristiwa yang memilukan. Tiba-tiba bumi berguncang dahsyat, gempa mengundang panik semuanya. Belum sirna rasa terkejut itu, riuh rendah orang berteriak, “Air, air..., air datang!“ Kita selanjutnya menyaksikan ribuan mayat bergelimpangan, berbagai