Langsung ke konten utama

Duh Anak, Mana Baktimu?

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapaknya dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka janganlah sekali-kali kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.”
(TQS Al Israa: 23)

Semoga Allah melimpahkan berkah bagi Anda yang memanfaatkan Idul Fitri yang lalu untuk ’sungkem’ kepada ibu-bapak. Dalam hadits riwayat Bukhari, Rasulullah menyampaikan kisah yang menggugah hati. "Pada suatu hari tiga orang berjalan, lalu kehujanan. Mereka berteduh pada sebuah gua di kaki sebuah gunung. Ketika mereka ada di dalamnya,tiba-tiba sebuah batu besar runtuh dan menutupi pintu gua. Sebagian mereka berkata pada yang lain, 'Ingatlah amal terbaik yang pernah kamu lakukan'.
Kemudian mereka memohon kepada Allah dan bertawassul melalui amal tersebut, dengan harapan agar Allah menghilangkan kesulitan tersebut.Salah satu diantara mereka berkata, "Ya Allah, sesungguhnya aku mempunyai kedua orang tua yang sudah lanjut usia, sedangkan aku mempunyai istri dan anak-anak yang masih kecil. Aku mengembala kambing, ketika pulang ke rumah aku selalu memerah susu dan memberikan kepada kedua orang tuaku sebelum orang lain. Suatu hari aku harus berjalan jauh untuk mencari kayu bakar dan mencari nafkah sehingga pulang telah larut malam dan aku dapati kedua orang tuaku sudah tertidur, lalu aku tetap memerah susu sebagaimana sebelumnya. Susu tersebut tetap aku pegang lalu aku mendatangi keduanya namun keduanya masih tertidur pulas. Anak-anakku merengek-rengek menangis untuk meminta susu ini dan aku tidak memberikannya. Aku tidak akan memberikan kepada siapa pun sebelum susu yang aku perah ini kuberikan kepada kedua orang tuaku. Kemudian aku tunggu sampai keduanya bangun. Pagi hari ketika orang tuaku bangun, aku berikan susu ini kepada keduanya. Setelah keduanya minum lalu kuberikan kepada anak-anaku. Ya Allah, seandainya perbuatan ini adalah perbuatan yang baik karena Engkau ya Allah, bukakanlah. "Maka batu yang menutupi pintu gua itupun bergeser." ’Mukjizat’ Kisah tersebut menunjukkan betapa saktinya perbuatan berbakti kepada kedua orang tua (birrul walidain). Bakti tersebut dapat digunakan untuk bertawassul (perantara doa) kepada Allah ketika kita mengalami kesulitan. Insya Allah kesulitan tersebut akan hilang, bahkan untuk hal yang sulit dicerna akal—seperti bergesernya batu besar dalam kisah Rasulullah tersebut. Agaknya, mukjizat (peristiwa ajaib) itu bukan kekhususan yang dipunyai para Nabi dan Rasul, tetapi bisa ditampakkan dan terjadi pada mereka yang berbakti tulus pada ibu-bapaknya.
China, negara makmur yang menjadi raksasa ekonomi dunia saat ini, mempunyai metode unik dalam proses penerimaan pegawai pemerintah. Selain uji tulis dan keahlian yang relevan, para calon pegawai disurvei rumahnya. Ada investigasi dan evaluasi tentang hubungan mereka dengan orang tuanya. Jika mereka buruk memperlakukan ibu-bapaknya, pasti dicoret (ditolak). Jika bagus, besar kemungkinan mereka diterima sebagai pegawai. Ini menjadi prosedur standar. ”Tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri China.” Begitu bunyi sebuah atsar (kata bijak). Alhasil, kita bisa belajar tentang salah satu resep kemajuan China saat ini: perhatian terhadap hubungan antara anak dengan orang tuanya. Aspek moral telah menjadi pertimbangan yang amat penting dalam proses rekruitmen pegawai. Terbukti, saat ini sistem pemerintahan berjalan efektif dengan dampak kesejahteraan rakyat yang terus meningkat. PrioritasChina yang notabene negara komunis tersebut, telah merasakan bagaimana pentingnya berbakti kepada ibu-bapak sebagai bagian dalam mewujudkan sistem pemerintahan yang baik. Berbakti kepada ibu-bapak menjadi elemen penting dalam menggapai ”sukses dunia.” Bagi kita sebagai Muslim, selayaknya meraih dua sukses sekaligus. ”Sukses dunia” dan ”sukses akherat,” lantaran birrul walidain ’berbakti kepada ibu bapak.’Begitu pentingnya masalah birrul walidain, dapat kita temukan dalam berbagai nash Al Quran dan Hadits.Abdullah bin Mas’ud bertanya kepada Rasulullah saw. “Perbuatan apa yang paling disukai oleh Allah swt. ya Rasul?” Rasulullah menjawab, “Salat tepat pada waktunya, berbakti kepada ibu bapak.” Kemudian apa ya Rasulullah? Rasulullah pun menjawab, “Jihad fi sabililah.” (HR Abu Dawud dan Tirmidzi).
Berbakti kepada kedua orang tua harus harus didahulukan daripada jihad di jalan Allah.Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas saat mengutip kisah orang yang terperangkap dalam gua di atas menyatakan hal ini: Dalam rangka berbakti, kebutuhan orang tua harus didahulukan daripada kebutuhan anak kita sendiri. Bahkan dalam riwayat yang lain disebutkan berbakti kepada orang tua harus didahulukan dari pada berbuat baik kepada istri. Diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar r.a. ketika diperintahkan oleh bapaknya (Umar bin Khaththab) untuk menceraikan istrinya, ia bertanya kepada Rasulullah saw. ”Bagaimana yang Rasul. Apa harus saya ceraikan?” Rasulullah saw. menjawab, "Ceraikan istrimu." (HR Abu Dawud dan Tirmidzi).
Hari Raya Idul Fitri, semoga mengingatkan kita tentang pentingnya berbakti kepada orang tua. Bukan sekadar sungkem, tetapi pada waktu berikutnya, dan seterusnya. Melayani kebutuhannya sewaktu hidup dan mendoakannya setelah meninggal dunia. "Ya Allah, ya Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku sedari kecil." ***
Cara Kita Berbakti
Kalau kita cermati lebih jauh, maka kita akan dapati betapa besarnya perhatian Islam terhadap pemuliaan ibu dan ayah kita. Menurut Al Qur’an, hadits, maupun ijmail ummah, berbakti kepada orang tua hukumnya wajib (Simak QS An Nisa’: 36 dan QS Al Israa’ : 23). Kewajiban berbakti ini bahkan tidak gugur begitu saja ketika orangtua kita musyrik.
”Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.”(TQS Luqman: 15).
Allah bahkan memuji para nabi/rasul karena bakti mereka kepada pada ibu bapaknya. Allah memuji Nabi Yahya a.s. melalui firmannya, “Dan ia seorang yang berbakti kepada kedua orangtuanya, tidak bersikap sombong lagi durhaka.”(TQS Maryam:14). Begitupun secara khusus, Allah menyebut kemuliaan Isa a.s., Ibrahim a.s., dan Ismail a.s.; karena pengabdian dan pemuliaan mereka terhadap orang tua.
Maka, bagi kita, selayaknya ada pemaknaan mendalam yang menghantarkan kita pada upaya memuliakan orangtua sepenuh hati. Salah satunya melalui kelembutan dan kerendahan hati kita. “Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan.” (QS Al Israa: 24). Seorang ulama besar, Said bin Musayyib membantu kita menerjemahkan kata “merendahkan diri” yang dimaksud ayat ini. Kata beliau, “Ini adalah ungkapan sayang dan kerendahan sepenuhnya. Seperti rasa rendahnya rakyat di hadapan penguasa dan rendahnya budak kepada majikannya.”
Dalam ungkapan Hasan bin Ali tatkala menjawab pertanyaan tentang durhaka kepada orangtua, ia mengatakan, “Pelit kepada keduanya, mengabaikan dan memandang keduanya dengan pandangan tajam.” Zubair bin Awwam menambahkan, “Kerendahan itu dengan cara tidak pelit terhadap sesuatu yang beliau sukai.”
Hati ini harus lembut dan lebih diperlembut lagi di hadapan orang tua. Tidak boleh ada sumpah serapah walaupun hanya dalam hati, sebesar apapun kekecewaan itu. Orang tua tetap orang tua yang jasanya tidak mungkin hilang hanya sekadar kekecewaan yang membuncah dalam dada.
Selayaknya, kita dapat mengupayakan secara maksimal untuk membahagiakan ibu bapak kita, dengan segala daya yang kita mampu. Rasulullah tidak sempat besar di tangan orang tuanya sendiri. Saat usia beliau mencapai lima puluhan di kota Madinah, setiap kali ibu susuannya datang menjenguk pintu rumahnya, dengan segala hormat beliau mempersilakan ibunya masuk. Sorban di kepalanya dilepaskan dan dihamparkan untuk alas duduk ibunya itu.
Al Qur’an mengingatkan kita untuk senantiasa mengeluarkan perkataan baik dari mulut kita kepada orang tua. Saat kedua orang tua kita itu berumur lanjut, kemampuan mereka menurun. Kita harus melayaninya dengan sabar. Mengatakan “ah” saja kepada mereka adalah perbuatan tercela. (Simak QS Al Israa: 23).
Dalam musnad Ibnu Mardawaih, diriwayatkan seseorang datang kepada Rasulullah bersama bapak tua. Rasulullah bertanya, “Siapa yang bersamamu ini? Dia menjawab, “Ayahku.” Rasulullah kemudian mengajarkan adab, “Jangan berjalan di depannya, jangan duduk sebelum ia duduk, jangan memanggil namanya, dan jangan mencelanya.”
Ketika kita dipanggil orang tua pun kita harus menjawab dengan jawaban yang menunjukkan rasa hormat yang mendalam. Seperti yang diajarkan Zuhair bin Muhammad., “Jika kamu dipanggil jawablah Labbaik wa sadaik (aku penuhi panggilan ibu bapak).
Maka bila kita simak lebih jauh, terlihat Islam mengatur penghormatan terhadap orang tua sebegitu rincinya. Maka tidak dapat dibayangkan bila ada orang yang tidak menghormati bahkan sampai menyakiti secara fisik orang tuanya. Islam sungguh mencelanya .
Apa yang dilakukan oleh Abu Hurairah patut kita simak sebagai cerminan adab kenabian terhadap orangtua. Setiap Abu Hurairah hendak keluar rumah, dia selalu ijin kepada pada ibunya yang sudah tua. Kata manis dan lembut pun keluar, Assalamu alaik, semoga Allah merahmatimu sebagaimana ibu telah mengasuhku ketika aku kecil.” Sang ibu pun berkata dengan ketulusan dan kasih sayang yang tak berubah, “Waalaikas salam, semoga Allah mengampunimu sebagaimana kamu berbakti kepadaku di saat aku telah tua.”
Ibu dan bapak sesungguhnya tidak pernah mengharapkan balas budi dari anaknya. Ketulusan dan keikhlasan terpancar selalu dari wajah keduanya. Begitu besar pengorbanan mereka itu, sampai-sampai kita tidak mungkin akan membalasnya setimpal.
Dalam sebuah riwayat yang ditulis oleh Ibnu Katsir, bahwasanya ada di pelataran Ka’bah seorang sahabat yang sedang thawaf sambil menggendong ibunya. Tujuh putaran menggendong ibunya tentulah bukan pekerjaan ringan. Selesai putaran thawaf, sahabat tersebut menemui Rasulullah seraya bertanya, “Ya Rasulullah, apakah berarti aku telah memberikan hak ibuku? Rasulullah menjawab seketika itu, “Tidak bahkan seujung kuku pun tidak.”
Tidak seujung kuku pun? Ya. Sungguh kalaupun seluruh kemampuan kita berikan untuk orang tua, tiada terbalas setetes air susu ibu. Sungguh, kalaupun siang dan malam kita haturkan hidup kita untuk keduanya tidak bisa membeli setitik keringat ayah. ***

[Tulisan ini merupakan arsip dari tulisan yang telah dipublikasikan di Buletin Sajada, Lembaga Amil Zakat Lampung Peduli, sejak 2005]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PETAKA KUASA DUSTA

”Jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu-bapak dan kaum kerabatmu...Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” (TQS An Nisaa: 135). Ini kisah menurut La Fontaine dalam Fables et Epitres. Dunia margasatwa diserang wabah penyakit. Diduga wabah itu merupakan azab Tuhan karena kejahatan penghuni dunia itu. Baginda Singa, tokoh nomor satu di kerajaan rimba, dengan memelas mengakui, ”Akulah penyebab segala bencana ini. Pekerjaanku memakan warga yang lemah seperti domba dan kambing.” Serigala membantah. ”Bukan demikian, Baginda tidak salah.” Yang dilakukan singa adalah implikasi dari kekuasaan. Memakan warga adalah bagian resiko yang harus diambil dari kebijakan yang dibuat pemimpin. Seorang demi seorang dari pembesar margasatwa bergilir mengakui kesalahannya. Pengadilan selalu memutuskan mereka tak bersalah

“Robohnya Masjid Kami” [Kritik Memakmurkan Masjid]

“Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allah dalam masjid-masjid-Nya, dan berusaha untuk merobohkannya? Mereka itu tidak sepatutnya masuk ke dalamnya (masjid Allah), kecuali dengan rasa takut (kepada Allah). Mereka di dunia mendapat kehinaan dan di akhirat mendapat siksa yang berat.” (TQS Al Baqarah: 114) Masjid itu dindingnya dari tanah liat. Tiangnya batang kurma, lantainya pasir, dan atapnya pelepah kurma. Maka, di suatu hari kaum Anshar mengumpulkan harta dan mendatangi Rasulullah saw.. "Wahai Rasulullah, bangunlah masjid dan hiasilah seindah-indahnya dengan harta yang kami bawa ini. Sampai kapan kita harus salat di bawah pelepah kurma?" Rasulullah menjawab, "Aku ingin seperti saudaraku Nabi Musa, masjidku cukup seperti arisy (gubuk tempat berteduh) Nabi Musa a.s.” Dijelaskan oleh Hasan r.a. menjelaskan bahwa ukuran arisy Nabi Musa a.s. adalah bila Rasulullah saw. mengangkat tangannya maka atapnya akan tersentuh Hadits ya

Saat Bencana Tak Menyadarkan Kita

“Belumkah datang kepada mereka berita penting tentang orang-orang yang sebelum mereka, (yaitu) kaum Nuh, 'Aad, Tsamud, kaum Ibrahim, penduduk Madyan dan negeri-negeri yang telah musnah? Telah datang kepada mereka rasul-rasul dengan membawa keterangan yang nyata, maka Allah tidaklah sekali-kali menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (QS At Taubah: 70) Selayaknya, hari itu adalah waktu libur yang menyenangkan. Pesisir pantai Aceh punya pesona menarik sebagaimana pantai lainnya di pesisir Samudera Indonesia. Pagi yang cerah. Menawarkan selera untuk bercengkerama dengan keluarga, sembari menikmati indahnya panorama pantai. Namun, malang tak dapat ditolak untung tak dapat diraih. Semuanya berubah menjadi peristiwa yang memilukan. Tiba-tiba bumi berguncang dahsyat, gempa mengundang panik semuanya. Belum sirna rasa terkejut itu, riuh rendah orang berteriak, “Air, air..., air datang!“ Kita selanjutnya menyaksikan ribuan mayat bergelimpangan, berbagai