Langsung ke konten utama

Puasa: Saatnya Empati dan Peduli


“Sayangilah oleh kalian apa saja yang di bumi, niscaya kalian disayangi disayangi siapa saja yang ada di langit
(HR Ath Thabari dan Al Hakim)

Dalam sebuah perjalanan, seseorang berjalan dalam keadaan sangat kehausan. Ia tidak membawa bekal minuman. Sampai kemudian didapatinya sebuah sumur yang mengandung air. Ia pun turun ke sumur tersebut dan meminum airnya. Ketika ia keluar dari sumur tersebut, dilihatnya seekor anjing yang nafasnya kembang kempis kehausan. Anjing tersebut memakan tanah berusaha menghilangkan kehausannya yang sangat. Melihat kepayahan anjing itu, ia berguman, “Sungguh anjing ini telah sampai pada kondisi yang aku sampai kepadanya. Anjing ini sangat kehausan sebagaimana aku alami tadi.” Ia pun kemudian kembali turun ke sumur, memenuhi sepatunya dengan air, menahan dengan mulutnya, dan memberikan airnya kepada anjing tersebut.
“Orang itu telah bersyukur kepada Allah (lewat perbuatannya), dan karena itu Allah mengampuni dosa-dosanya” sabda Rasulullah menutup kisah tersebut, sebagaimana disampaikannya kepada Abu Hurairah dalam riwayat Imam Bukhari.
Kisah di atas bercerita wujud kasih sayang sesama makhluk Allah. Turunnya orang tersebut ke sumur, kesabarannya mengambil air daripadanya, dan pemberian air olehnya kepada anjing tersebut adalah wujud kasih sayang yang di dalam hatinya. Rasa kasih sayang itulah yang menempatkan orang tersebut pada derajat mulia.
Lebih dari itu, kisah tersebut mengandung sisi lain tentang munculnya kasih sayang. Rasa kehausan yang telah dialami orang itu, membuatnya bisa sangat merasakan kesulitan yang dialami si anjing. Itulah yang kemudian membuatnya mau bersusah payah mengambilkan air untuk anjing tersebut. Ini lazim disebut empati. Kasih sayang timbul dari perasaan sepenanggungan karena (pernah) ikut mengalaminya.
Puasa yang kita lakukan di Ramadan ini, sejatinya adalah upaya menimbulkan empati itu. Puasanya kita, dengan tidak makan selama seharian penuh, adalah upaya ikut merasakan kesusahan mereka yang seringkali kesulitan untuk sekadar makan. Rasa lapar dan dahaga membuat kita mengerti betapa menderitanya mereka. Maka, hasrat untuk membantu itupun kemudian muncul. Empati melahirkan keinginan untuk senantiasa berbagi. Itulah sumber kasih sayang.
Puasa adalah upaya mengasah kepedulian kita kepada dhuafa. Karena itulah, di akhir pelaksanaan ibadah wajib ini, kita juga diharuskan mengeluarkan zakat fitrah. Sebagai bentuk solidaritas, agar semua orang berbahagia –kecukupan makanan—di hari raya.
Makna empati dan peduli inilah yang penting dimaknai oleh setiap diri, dalam lingkupnya yang luas. Bagi kita sebagai pribadi terlebih sebagai pemimpin. Tidak adanya perasaan untuk turut merasakan penderitaan rakyat kecil dan orang-orang orang yang bergelimang dengan keterbatasan, inilah yang membuat berbagai tragedi di negeri ini tak kunjung henti. Hari-hari tampak tak pernah sepi dari tragedi. Pemerintahan (negara) yang semestinya ada dalam rangka menyejahterakan ternyata hanya malah menambah beban rakyat. Alih-alih menjadi penolong, banyak pemimpin yang malah menjadi pembohong. Mereka malah memperkaya diri dan menjadikan jabatan untuk mengeruk keuntungan, dan tidak pernah ambil peduli dengan urusan rakyatnya.
Maka, ketiadaan perilaku berbagi itulah kemudian melahirkan tragedi. Banyak orang tetap bergelimang dengan kesulitan. Itu kemudian menimbulkan keputus-asaan yang berujung pada kejahatan. Keamanan menjadi barang mahal. Orang kaya tidak nyenyak tidurnya karena takut dijarah hartanya. Pada gilirannya, itu akan membuat terpuruk secara keseluruhan (kolektif). Persis, seperti yang terjadi di negeri ini. Negara kita menyandang berbagai gelaran prestasi buruk di antara negara-negara yang ada di dunia.
Begitulah, puasa selayaknya kita maknai dalam upaya merasakan penderitaan. Yang kemudian melahirkan beragam kebaikan. Ikut merasakan kesulitan (empatik) itulah menjadi pilihan Nabi saw untuk dapat senantiasa bersyukur. “Ditawarkan kepadaku perbendaharaan dunia dan seluruh harta benda di bumi. Namun aku menolaknya. Aku suka lapar sehari dan kenyang sehari. Aku bersyukur kepada-Mu jika aku kenyang dan memohon dengan rendah diri kepada-Mu jika aku lapar.”
Betapa pentingnya kasih sayang itu ada pada diri setiap muslim, Rasulullah sampai mencela mereka yang tidak sayang kepada hewan, seperti kucing. “Seorang wanita disiksa karena kucing yang ia tahan hingga mati, dan karenanya ia masuk neraka. Dikatakan kepada wanita tersebut, ‘Engkau tidak memberi makan dan minum kepada kucing tersebut, ketika engkau menahannya. Engkau juga tidak melepaskannya supaya ia bisa memakan hewan-hewan di tanah.’” (HR Bukhari).
Tindakan wanita tersebut menahan kucing tersebut adalah salah satu fenomena kekerasan hati dan tercabutnya kasih sayang dari hatinya. Kasih sayang tidak dicabut kecuali dari orang yang celaka.

Mendahulukan Kepentingan Orang Lain
Rasa empati pada gilirannya akan melahirkan sikap untuk berbagi sampai kemudian mendahulukan kepentingan orang lain dibanding dirinya sendiri.
Rasa empati ini diantaranya tercermin dari perkataan Rasulullah berikut: “Sesungguhnya aku mengerjakan salat, dan ingin memanjangkannya. Tiba-tiba aku mendengar tangis anak kecil, kemudian aku meringankan terhadap apa yang aku ketahui (bacan Al Qur’an), karena aku merasa begitu besar kesedihan ibunya karena tangisnya.” (HR Bukhari).
Kisah menggugah tentang empati kita dapati dari kenangan Hudzaifah Al Adawayyu saat Perang Yarmuk. Hudzaifah kala itu mencari anak pamannya dengan membawa sedikit air. Ia berkata, “Jika anak pamanku akan meninggal dunia, aku akan memberinya air dan mengusap wajahnya dengan air. Ketika ia menemukannya anak pamannya, ia berkata, “Bagaimana bila kamu kuberi minum?” Orang memberi isyarat kepadanya bahwa ia ingin minum. Tiba-tiba ada ada orang lain berkata, “Air, air, air.” Anak pamannya tersebut memberi isyarat kepadanya agar pergi ke orang tersebut. Ternyata itu adalah Hisyam bin Al Ash. Hudzaifah lantas berkata, “Bagaimana bila kamu kuberi minum?” Hisyam bin Al Ash mendengar suara orang lain, “Air, air, air.” Hisyam lantas memberi isyarat agar pergi ke orang itu. Aku pun mendatangi orang tersebut, tapi ternyata orang itu telah meninggal dunia. Iapun kemudian menemui Hisyam, tapi iapun telah meninggal dunia. Kemudian Hudzaifah kembali ke anak pamannya, tetapi ia telah meninggal dunia. “Semoga Allah merahmati mereka semua,” kenang Hudzaifah. Mereka bertiga syahid, dan mendapatkan kemuliaan karena perilakunya untuk mendahulukan kepentingan saudaranya. Sejarah mencatat, Islam pun menang dan berjaya berkat pengorbanan mereka.

Salah satu hikmah puasa adalah agar kita sayang pada sesama. Inilah yang kemudian menjadi parameter keberhasilan puasa yang terwujud konkret adalah setelah puasa itu kita jalani. Tentu, tidak hanya saat puasa itu kita jalani.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pemimpin Ruhani (Asa dari Gaza)

Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik. ( QS Al Ankabut: 69 ) Segala cara sudah ditempuh untuk membendung dakwah Muhammad. Semuanya tidak membuahkan hasil. Kepanikan kaum musyrikin Makkah mencapai puncaknya ketika keluarga besar Muhammad, Bani Hasyim dan Bani al-Muththalib, berkeras melindungi Muhammad. Mereka lalu berkumpul di kediaman Bani Kinanah dan bersumpah untuk tidak menikahi Bani Hasyim dan Bani Muththalib, tidak berjual beli dengan mereka, tidak berkumpul, berbaur, memasuki rumah ataupun berbicara dengan mereka hingga mereka menyerahkan Muhammad untuk dibunuh. Kesepakatan zalim itu mereka tulis dalam lembar perjanjian (shahifah) dan digantungkan di rongga Ka’bah. Pemboikotan itu berjalan 3 tahun. Stok makanan mereka habis. Sementara itu kaum musyrikin tidak membiarkan makanan apapun yang masuk ke Mekk...

Tragedi Ponari

S esungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka pasti Allah akan mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya adalah neraka. Tidak ada orang-orang zalim itu seorang penolong pun. (QS Al-Maidah: 72). Belum lepas dari ingatan dengan hebohnya Ryan Sang Penjagal, Jombang kembali menjadi perhatian. Puluhan ribu orang tumplek-blek , minta diobati oleh Ponari, anak yang dianggap memiliki batu sakti. Maka drama kolosal yang konyol itu berlangsung. Sembari digendong tangan kanan dicelupkan ke wadah air pasien yang antri, tangan kiri Ponari sibuk bermain game dari ponsel. “Ponari itu diberi kelebihan oleh Tuhan,” kata seorang wanita yang datang jauh dari Sidoarjo. Tokoh agama yang tak jelas aqidahnya, membolehkan datang ke tempat Ponari. Begitulah, tak sekadar konyol, ini menjadi drama memilukan. Empat nyawa melayang karena berdesak-desakan. Karena capek, Ponari dirawat di rumah sakit—bahkan ia tak mampu mengobati dirinya sendiri. Menyimak beritanya, saya dil...

Pemimpin sebagai Pelayan

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat . ( TQS An Nisa: 58 ). Di zaman khalifah Umar bin Khattab, pada tahun ke-17 Hijriyah pernah terjadi bencana kelaparan yang mengerikan. Penyebabnya, di seluruh semenanjung Arab (Hijaz) tidak turun hujan selama 9 bulan dan hujan abu dari gunung berapi. Tanah menjadi hitam gersang penuh abu dan mematikan segala tanaman di atasnya. Tahun tersebut dinamai “Tahun Abu” (Amar-Ramaadah). Hewan-hewan yang ada kurus kering, tetapi karena lapar mereka sembelih dengan rasa jijik saking begitu buruknya. Penduduk di pedalaman ramai-ramai mengungsi ke Madinah. Umar sendiri ikut mengurus makanan penduduk Madinah dan para pengungsi. Ia turut mengolah roti dengan zaitun untuk dijadikan roti kuah. S...