”Dan bagi orang-orang yang berusaha sungguh-sungguh (jihad) untuk mencari keridhaan Kami, sungguh Kami akan tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang berbuat baik.”
(QS Al Ankabuut: 69)
Aisyah radhiyallahu ‘anha mempunyai penilaian khusus tentang perilaku Rasululah di bulan Sya’ban. ”Saya tidak pernah melihat beliau berpuasa (sunnah) lebih banyak dari bulan Sya’ban. Dan sedikit sekali beliau tidak berpuasa di bulan Sya’ban.” (HR Bukhari dan Muslim).
Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma, juga punya kesan yang sama terhadap Rasulullah. “Ya Rasulullah, saya tidak pernah melihatmu berpuasa dalam satu bulan dari bulan-bulan yang ada seperti puasamu di bulan Sya’ban.” Maka beliau bersabda: “Itulah bulan yang manusia lalai darinya antara Rajab dan Ramadhan. Dan merupakan bulan yang di dalamnya diangkat amalan-amalan kepada Rabbul ‘alamin. Dan saya suka untuk diangkat amalan saya sedangkan saya dalam keadaan berpuasa.”(HR. Nasa’i). Usamah pun memberi kesaksian, “Bulan yang paling dicintai Rasulullah untuk berpuasa padanya adalah Sya’ban (yang) kemudian beliau sambung dengan Ramadhan.”
Jelang Ramadhan
Sya’ban adalah bulan sebelum Ramadhan. Konon, dinamakan Sya’ban karena orang-orang Arab pada bulan tersebut yatasya’abun (berpencar) untuk mencari sumber air. Dikatakan demikian juga karena mereka tasya’ub (berpisah-pisah/terpencar) di gua-gua. Versi yang lain, dikatakan sebagai bulan Sya’ban karena bulan tersebut sya’aba (muncul) di antara dua bulan Rajab dan Ramadhan. Kata jamaknya dalam bahasa Arab adalah sya’abanaat dan sya’aabiin.
Begitu berartinya Sya’ban, ada untaian doa yang khusus untuknya. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik ra. dijelaskan bahwa Rasulullah saw. berdoa: “Allahumma baarik lanaa fii rajaba wa sya’baan wa ballighnaa ramadhaan.” Ya Allah, anugerahkanlah kepada kami barakah di bulan Rajab dan Sya’ban serta sampaikanlah kami ke bulan Ramadhan. (HR Ahmad dan Bazzar ).
Dari berbagai riwayat tentang perilaku Rasulullah saw di bulan Sya’ban, kita mendapati kesan tentang matangnya ”persiapan” Rasululullah menyongsong Ramadhan. Ya, begitulah. Rasululullah memberi teladan untuk kita, bahwa menghadirkan ”aura” bulan suci itu begitu penting. Sya’ban menjadi arena warming up (pemanasan). Layaknya sebuah mesin, memperbanyak ibadah di Sya’ban berfungsi pemanasan bagi ruhani dan fisik untuk memasuki bulan Ramadhan. Berpuasa sunnah, memperbanyak ibadah salat, tilawah (membaca) Al Qur’an akan menjadikan suasana hati dan fisik lebih mendukung pelaksanaan ibadah di bulan Ramadhan. Puasa di bulan Sya’ban merupakan latihan dan proses adaptasi agar saat Ramadhan tidak mengalami kesulitan dan perasaan berat. Dalam timbangan kesehatan, proses adaptasi itu juga sangat dianjurkan. Kita menjadi terbiasa dengan amalan puasa sehingga bisa memasuki Ramadhan dalam keadaan kuat dan bersemangat.
Karena Sya’ban itu merupakan pendahuluan bagi Ramadhan maka di sana ada pula amalan-amalan yang ada pada bulan Ramadhan seperti puasa, membaca Al-Qur’an, dan shadaqah. Berkaitan dengan hal ini Salamah bin Suhail menyatakan, “Telah dikatakan bahwa bulan Sya’ban itu merupakan bulannya para qurra’ (pembaca Al-Qur’an).” Habib bin Abi Tsabit apabila memasuki Sya’ban dia berkata: “Inilah bulannya para qurra’.” Ulama masyhur dalam sejarah, ‘Amr bin Qais Al-Mula’i apabila masuk bulan Sya’ban dia menutup tokonya dan meluangkan waktu untuk banyak beribadah.
Aktivitas ibadah yang lebih intensif akan membiasakan seseorang dengan perilaku yang lurus. Agar jangan sampai nantinya, ketika berpuasa tidak menghalangi seseorang dari penyimpangan mulut seperti membicarakan keburukan orang, mengeluarkan kata-kata kasar, membuka rahasia, mengadu domba, berdusta, dan sebagainya. Seperti yang sudah kita mafhum, hakikat puasa tidak terletak pada menahan makanan dan minuman masuk ke dalam kerongkongan. Puasa sejatinya mengajak pelakunya untuk bisa menahan diri dari penyimpangan, salah satunya yang dilakukan oleh mulut. Rasulullah menyatakan bahwa dusta akan menjadikan puasa sia-sia (HR Bukhari).
Mulut merupakan bagian tubuh yang paling susah dikendalikan, sebanding dengan nilainya yang juga mahal. Rasulullah berpesan, adakalanya kalimat buruk yang ringan diucapkan oleh seseorang, tetapi karena Allah tidak ridha dengan kalimat itu, maka orang tersebut dapat tercampak ke neraka. Sebaliknya, adakalanya kalimat baik yang ringan diucapkan oleh seseorang, tetapi karena Allah ridha dengan kalimat itu, orang tersebut dimasukkan ke dalam surga (HR Ahmad).
Membiasakan puasa akan menjadikan pelakunya berupaya memelihara mata dari melihat yang haram. Mata adalah penerima informasi paling efektif yang bisa memberi rekamandalam diri seseorang. Memori yang tertangkap oleh mata, lebih sulit terhapus ketimbang informasi yang diperoleh melalui indera lainnya. Karenanya, memelihara mata menjadi sangat penting untuk membersihkan jiwa dari kotoran. Salah mengarahkan pandangan, bila terus berulang akan menumbuhkan suasana kusam dan tidak nyaman dalam jiwa dan pikiran. Puasa yang tidak menambah pelakunya lebih memelihara dari yang haram, akan membuat rusaknya amalan puasa. Bisa jadi, puasanya secara hukum sah, tetapi substansi puasanya tidak tercapai. Hal ini tentu sulit bagi siapa saja, bila tidak dibiasakan sebelumnya—melalui amaliah Sya’ban.
Rasulullah di bulan Sya’ban seperti disaksikan para sahabatnya, lebih dermawan dan banyak bersedekah dibanding bulan yang lain. Digambarkan dalam sebuah hadits, ”pemanasan” tersebut kemudian menjadikan Rasulullah menjadi sosok yang paling murah dan dermawan pada saat Ramadhan. Di mata para sahabatnya, kedermawanan Rasulullah seperti mengalahkan angin yang bertiup. Saat Ramadhan, amal kebajikan memang dilipatgandakan puluhan bahkan ratusan kali lipat. Ini tentu tidak boleh disia-siakan. Keyakinan itulah yang dikembangkan oleh para sahabat dan salafus-salih yang menjadikan mereka sosok-sosok yang dermawan.
Antisipasi Kegagalan
Begitulah, Rasulullah memberikan teladan bagaimana selayaknya Ramadhan itu kita songsong. Mengasah kepekaan ruhani menjadi perkara penting yang disiapkan sedari dini. Jangan sampai kemudian, hari-hari berpuasa wajib itu malah membuat kita sibuk dengan persiapan lahir. Kita malah sibuk berhitung tentang menu apa yang harus terhidang sebagai penawar lapar seharian. Atau, hari-hari berpuasa itu malah menyibukkan kita dengan aktivitas di luar ibadah untuk mengusir jenuh. Seperti canda (acara humor) yang kelewatan dalam tayangan teve itu, atau juga ”ngabuburit” yang malah dekat dengan maksiat.
”Berapa banyak orang yang berpuasa namun ia tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya, kecuali lapar dan dahaga...” Begitu Rasulullah mengingatkan kita lewat hadits yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim. Pesan Rasulullah tersebut selayaknya membangkitkan kewaspadaan kita untuk menjauhi dan tidak terjerumus di dalamnya. Berpuasa satu bulan penuh tentu bukan waktu yang sebentar. Lantas apalah artinya, bila kemudian hal itu hanya meninggalkan kering pada kerongkongan dan lapar dalam perut?
Bersiap diri sedari dini menjadi bagian penting yang diajarkan Rasululullah untuk menyambut Ramadhan. Hal ini juga berlaku pada perkara lainnya dalam Islam. Rasa empati, pengorbanan, kedermawanan, dan nilai-nilai luhur kemanusiaan yang lain itu bukan perkara yang muncul serta merta. Ada persiapan, proses pemaknaan, sampai kemudian melahirkan tradisi empati, berbagi, dan peduli kepada sesama. Ini menjadi niscaya, untuk puasa yang lebih bermakna. Ahlan wa Sahlan, Ramadhan Mubarak! ***
Komentar