”Langit yang tujuh, bumi, dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.”
(QS Al Israa: 44).
Juli, pertengahan tahun. Dalam pemahaman yang umum—khususnya petani—ini adalah masa yang sudah jarang terjadi hujan. Ini adalah bulan pancaroba, menjelang kemarau tiba.
Tetapi, inilah berita yang kita dapati. Sejumlah daerah di Kalimantan dan Sulawesi dilanda air bah. Banjir besar merendam ribuan rumah, menghanyutkan bermacam harta benda, serta ratusan warga meninggal dunia.
Untuk yang kesekian kali bencana alam itu kembali terjadi, dalam bentuknya yang lain. Di Kalimantan dan Sulawesi, tidak ditemui gempa dan gunung berapi, tetapi alam ternyata tidak ”kekurangan cara” menghadirkan bencana.
Tentara Allah
Bencana banjir mengingatkan kita akan sejarah Nabi Nuh. Yaitu ketika Allah membinasakan orang-orang kafir melalui bencana alam yang ganas. Langit menumpahkan bermiliar kubik air. Deras, dan sangat deras. Tanah tak mampu mengisapnya. Bahkan air juga muncrat hebat dari dalam tanah. Disertai topan, bumi berubah menjadi hamparan air yang luas.
Di tengah gelombang yang bergulung itu, bahtera Nabi Nuh berlayar. Dari atas kapal Nabi Nuh mencoba memanggil Qan’an, anaknya yang berjuang melawan derasnya air, untuk ikut menumpang kapal.
”Anakku, naiklah ke kapal bersama kami dan janganlah kamu berada bersama orang-orang kafir,” seru Nabi Nuh penuh kasih.
”Tidak, aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat memeliharaku dari air bah,” jawab anaknya.
”Tidak ada yang melindungi hari ini dari azab Allah selain Allah (saja) Yang Maha Penyayang,” ujar Nabi Nuh mencoba meyakinkan anaknya. Tetapi Qan’an tetap pada pendiriannya. ”Dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya, maka jadilah anak itu termasuk orang-orang yang ditenggelamkan.” (QS Huud:43).
Gelombang air yang ganas itu bisa bersahabat dengan dengan Nabi Nuh dan orang-orang yang beriman. Tetapi ia menjadi azab bagi mereka yang kafir. Gunung yang kokoh menjulang tinggi tidak peduli dengan nasib Qan’an dan orang-orang kafir lainnya. Apa yang menjadi rahasia penyebabnya?
Rahasianya adalah, karena gelombang dahsyat dan gunung itu sama-sama tentara Allah. Bahkan laut, hujan, angin topan, binatang buas, burung-burung, hingga serangga yang kecil merayap adalah tentara Allah yang perkasa. ”Dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS Al Fath: 4). Para tentara itu tunduk dan patuh kepada Allah, bersahabat dengan orang-orang yang beriman, dan membenci orang-orang yang durhaka kepada-Nya.
Simaklah lebih jauh Al Qur’an. Kita akan bisa merasakan betapa alam semesta tidak saja gambaran tentang keindahan dan keselarasan. Tetapi pada saat yang sama, Al Qur’an juga menjabarkan bagaimana alam menampakkan kehebatannya sebagai tentara Allah. Sebagaimana Allah telah menghukum Fir’aun dan kaumnya. ”Maka Kami kirimkan kepada mereka taufan, belalang, kutu, katak, dan darah (air berubah menjadi darah) sebagai bukti yang jelas, tetapi mereka tetap menyombongkan diri dan mereka adalah kaum yang berdosa.” (QS Al A’raaf: 133).
Memahami alam tidak akan pernah utuh tanpa mendudukkan eksistensinya sebagai tentara Allah. Dalam sejarah orang-orang salih, banyak kita temukan fakta bagaimana alam tunduk kepada perintah Allah untuk membela orang-orang yang beriman. Seperti api yang diperintah Allah untuk berubah dingin ketika digunakan Raja Namrud untuk membakar Nabi Ibrahim. Atau Laut Merah yang diperintah Allah untuk menjadi hamparan jalan yang nyaman bagi Nabi Musa dan para pengikutnya.
Di era modern, seperti dikisahkan oleh Dr. Abdullah Azzam di Afghanistan, banyak sekali bukti pembelaan Allah melalui tentaranya ketika kaum Muslimin berjuang mengusir tentara Soviet (1970-an). Abdullah Azzam menuliskan semua itu dalam buku Ayat-ayat Allah dalam Jihad Afghan (Ayaturrahman fi Jihadil Afghan). Hal yang sama juga terjadi di Bosnia, Chechnya, Palestina, maupun belahan bumi lainnya.
Kebersamaan
Peradaban di jaman apapun, selalu menjadikan alam sebagai mitranya. Bahkan sebagian orang sampai menyembah dewa-dewa yang diyakini menguasai alam. Tentu, dalam pandangan Islam menuhankan alam adalah kesalahan. Tetapi hal tersebut menunjukkan betapa ada hubungan yang kuat antara Tuhan, fitrah manusia, dan alam.
Kebersamaan manusia dengan alam telah ditetapkan Allah sejak pertama kali penciptaannya. Bumi dan seluruh isinya memang diciptakan untuk manusia. (Simak QS Al Baqarah: 29). Sementara manusia sendiri ditetapkan Allah sebagai khalifah yang ditetapkan mengelola bumi ini. (Simak QS Al Baqarah: 30). Maka prinsip kebersamaan manusia dengan bumi dan alam semesra harus dibangun melalui poros keimanan. Artinya, manusia tidak boleh menyekutukan Allah, durhaka, apalagi melawannya. Sebagaimana alam semesta juga tunduk dan patuh kepada Allah. Dengan begitu, seorang mukmin bertemu dengan Allah dalam satu identitas yang sama: keimanan. Lihatlah misalnya, penjelasan Allah berikut. ”Senantiasa bertasbih kepada Allah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS Al Jumu’ah: 1).
Para ilmuwan telah banyak mengungkapkan betapa alam berada dalam sebuah gerak yang harmonis. Harun Yahya, ilmuwan dari Turki, banyak mengungkapkan tentang kinerja alam yang akan mengantarkan kita pada keagungan Allah. ”Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang berakal.” (QS Ali Imraan: 190).
Alam tertata dalam sebuah tekstur yang indah, harmonis, dan seimbang. Karenanya manusia dilarang keras membuat kerusakan di muka bumi, menghancurkan alam, mengacaukan ekosistem, dan melanggar prinsip-prinsip keseimbangan itu. ”Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS Al A’raaf: 56).
Dalam seluruh makna di atas itulah kita menghayati, bahwa alam semesta adalah tentara Allah yang beriman dan patuh kepada-Nya. Karenanya kita harus bersahabat dengan mereka, dalam ikatan iman dan ihsan. Bukan sebaliknya, malah membuat kerusakan, dosa, dan bangga menumpuk dosa di atasnya. ”Tidaklah musibah itu turun, kecuali lantaran dosa. Dan tidaklah ia bisa diangkat kecuali dengan taubat, ” kata Ali r.a. menasehati kita.
Kita tidak sedang mengajari siapapun. Apalagi menggurui para korban hantaman banjir bandang itu. Kita hanya mengingati diri sendiri. Untuk serba bertanya—seperti dalam lagu Ebiet G. Ade itu—tentang kemungkinan alam yang ”bosan” dan tidak mau lagi bermitra. Atau bahkan, bisa jadi lewat bencana itu ia telah menjelma menjadi tentara Allah karena kedurhakaan kita. ***
Komentar