Langsung ke konten utama

Islam tanpa Kekerasan



"Tidaklah sikap lemah lembut memasuki sesuatu, kecuali pasti menghiasinya. Dan tidaklah kekerasan itu memasuki sesuatu, kecuali pasti menodainya.
(Al Hadits)

Azahari. Tampaknya, nama itulah yang paling banyak disebut orang dan ditulis media massa, dua pekan yang lalu. Akhir hidupnya yang berjalan dramatis itulah yang membuatnya ramai dibicarakan dan terus menjadi berita.
Kita patut prihatin, gelar teroris--yang dikaitkan dengan Islam--yang disematkan kepadanya, menjadi kesempatan emas bagi orang-orang yang suka menghina dan mendiskreditkan Islam. "Beginilah kalau orang Islam taat kepada agamanya, berbahaya bagi negara." Seolah-olah itulah yang ingin mereka katakan lewat media massa yang ada. Tak urung, masyarakat awam pun banyak yang terpengaruh dan menghubungkan ketaatan beragama dengan pembenaran atas perilaku kekerasan.
Jikalau benar Azahari melakukan kekerasan dan mendasari aktivitasnya atas nama Islam, kita patut memberi banyak catatan. Ya, betapa banyak kita dapatkan bukti, bahwa Islam sesungguhnya diajarkan dengan cara-cara lembut dan penuh kasih sayang.

***

Hari ini, bisa jadi, kita sama-sama merasakan bahwa aroma keburukan itu ada di mana-mana. Kezaliman dan ketidak-adilan masih begitu terasa. Hati kita terpanggil untuk memberikan andil, melawan kezaliman dan ketidakadilan itu. Islam, tentu saja menilainya sebagai pekerjaan mulia.
Namun, bisa jadi kita tidak menyadari, bahwa keprihatinan kita yang begitu mendalam serta keinginan untuk segera menuntaskan persoalan itu, menjerumuskan kita pada kesalahan. Kita kurang bersabar, merasa perbaikan itu berjalan begitu lamban, kemudian kita ingin sekali ada percepatan, lantas jalan kekerasan itu kita jadikan pilihan. Ya, beginilah sesungguhnya logika kekerasan itu muncul.
Maka kemudian, perilaku kekerasan ini masalah keikhlasan seseorang untuk membela Islam, tetapi muncul dari ketidaksabaran dan rasa tergesa untuk segera memperoleh hasil. Kemudian, ini menjadi fatal ketika bekal pengetahuan keislaman itu kita miliki. Kita merasa sudah berjuang mati-matian, tapi kita tidak mendapat mendapat penghargaan sepantasnya. Bahkan kita merasa, saudara-saudara seagama tidak peduli dengan perjuangan yang kita lakukan. Kita menganggap saudara kita yang mengaku Islam sama saja dengan yang bukan Islam. Maka di sinilah, logika/pemikiran takfir (mengkafirkan sesama orang Islam) itu muncul. Dianggap tidak ada dosa lagi menumpahkan darah dari orang yang nota bene masih mengaku Muslim.
Kita patut waspada, jalan kekerasan yang mengatasnamakan Islam ini hanya akan mengulang kisah buruk yang pernah terjadi dalam sejarah Islam. Inilah menimpa golongan Khawarij di masa-masa awal Islam, di mana orang-orangnya sangat teguh melaksanakan syiar-syiar ibadah, seperti puasa, qiyamul-lail (tahajud), dan membaca Al Qur'an. Mereka dinyatakan salah bukan dari kerusakan hati, tetapi dari kerusakan dalam pemikiran mereka.
Keburukan orang Khawarij itu telah dihiasi oleh setan, sehingga mereka melihatnya sebagai kebaikan. Oleh karena itu, Rasulullah saw. mensifati mereka dengan sabdanya, "Salah seorang dari kamu akan memandang remeh salatnya, qiyamul lail-nya, dan bacaan Al Qur'annya bila dibandingkan dengan salat mereka, qiyamul lail mereka, dan bacaan Al Qur'an mereka. Namun bersamaan dengan ini, Rasulullah melukiskan mereka dengan mengatakan, "Mereka telah keluar dari agama, sebagaimana keluarnya anak panah dari busurnya." Kesalahan mereka adalah ketika mereka dengan mudah memberi vonis kafir kepada orang-orang yang menurutnya tidak menjalankan Islam dengan benar.
Apa yang terjadi pada kelompok Khawarij di masa lalu, bisa terjadi pada generasi saat ini. Menurut Syaikh Yusuf Qardhawi, generasi penerus mereka ini adalah kelompok yang yang disebut sebagai jamaah at-takfir wa al-hijrah. Mereka mengafirkan semua orang yang melakukan kemaksiatan, terus menerus melakukannya, dan tidak bertobat darinya.
Mereka juga mengafirkan rakyat, karena mereka rela kepada para penguasa dan mengikuti mereka dalam berhukum kepada hukum yang tidak diturunkan Allah.
Mereka juga mengafirkan para ulama dan lainnya, karena ulama itu tidak mengafirkan penguasa dan rakyat. Barangsiapa tidak mengafirkan orang kafir, maka ia kafir. Mereka juga mengafirkan siapa saja yang menerima pikiran mereka, tapi tidak masuk ke dalam jamaahnya
Begitulah, kekerasan dalam menjalankan Islam yang tidak didasari ilmu memadai itu, telah menjerumuskan seseorang jauh dari Islam itu sendiri.
Hadits sahih yang diriwayatkan dari Usamah bin Zaid penting kita cermati mendalam. Bahwa barangsiapa telah mengucapkan "Laa ilaha ilallah" berarti telah masuk agama Islam. Darah dan hartanya dilindungi, sekalipun ia mengucapkan kalimat itu karena takut dan dalam rangka melindungi dirinya dari pembunuhan yang dilakukan orang Muslim. Segala perhitungannya menjadi wewenang Allah, sedangkan kita hanya berhak menilai aspek lahir saja. Oleh karena itu, Nabi Muhammad sangat mencela tindakan Usamah ketika membunuh seseorang dalam pertempuran setelah mengucapkan syahadat. Beliau bertanya dalam nada marah, "Kau bunuh ia setelah mengucapkan Laa ilaha ilallah?" Usamah menjawab, "Ia mengucapkan semata-mata untuk melindungi diri dari tebasan pedang!" Beliau bersabda, "Mengapa tidak kau belah dadanya sekalian? Apa yang kamu lakukan terhadap kalimat Laa ilaha ilallah ?" Usamah bercerita, "Beliau terus mengulangi sabdanya itu, sampai aku berangan-angan, seandainya aku baru masuk Islam seperti itu."

Menyerahkan Masalah kepada Ahlinya
”Sesuatu urusan bila tidak diserahkan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancurannya.” Hadits yang masyhur ini penting kita perhatikan dengan seksama. Bahwa bisa jadi, banyak masalah terkait dengan pemahaman yang menyimpang itu, karena kita tidak mempelajari ilmu dari ahlinya atau spesialis di bidangnya. Ya, ada banyak masalah dalam agama ini yang tidak begitu saja dipelajari dan disimpulkan oleh sembarang orang. Seorang yang punya pendidikan tinggi (bergelar Doktor atau jenjang S3), tidak serta merta paham ilmu agama, bila memang kuliahnya bukan di bidang agama. Harus ada orang khusus (spesialis) belajar agama, kemudian menjadi ahli, sehingga ia kemudian layak mengeluarkan fatwa.
Kita bisa jadi mempelajari ilmu hanya dari buku-buku dan surat kabar secara langsung, tanpa memiliki kesempatan dipikirkan ulang, didiskusikan, diterima, dan ditolak. Kita membaca sesuatu, memahaminya, lantas mengambil kesimpulan darinya. Padahal sangat mungkin kita membaca, memahami, bahkan menyimpulkan secara tidak baik karena tidak menyadarinya.
Bisa jadi ada dalil yang bertentangan yang lebih kuat, sedangkan kita tidak mengetahui. Kita yang ikhlas ini lupa bahwa ilmu dan fiqih syariat harus mengacu kepada ahlinya yang terpercaya. Kita tidak bisa menyelami lautan luas ini seorang diri, tanpa mursyid (guru) yang membimbing, menafsirkan hal yang kabur dari berbagai istilah, mengembalikan persoalan cabang (furu’) kepada pokok-pokonya (ushul), serta persoalan yang sama kepada yang serupa dengannya.
Inilah sesungguhnya latar belakang yang mendasari para salaf mengingatkan kita agar berhati-hati terhadap pencari ilmu. Mereka berkata, “Janganlah mempelajari Al Qur’an hanya dari mushaf dan mempelajari dari buku!” Kita dilarang menghafal Al Qur’an dari mushaf semata, tanpa mempelajarinya dari riwayat dan langsung secara lisan dari syaikh dan qari (pembaca Al Qur’an) yang ahli. Kita juga tidak boleh mencari ilmu langsung dari buku-buku saja (shuhufi), tanpa menjadi murid seorang ulama dan tidak dididik oleh ulama (talaqqi). (Yusuf Qardhawi, 2004).
Tentang perlunya spesialisasi keahlian dalam perkara ilmu dan hukum agama ini, Allah telah jelaskan di QS At Taubah: 122. Di ayat tersebut telah jelas Allah menerangkan tentang perlunya ada sebagian orang yang memperdalam pengetahuan untuk kemudian mengingatkan kita. Itulah para ulama.
Tidak kita pungkiri, saat ini ada sebagian ulama yang saat ini kurang lagi dipercayai lantaran kedekatannya dengan penguasa, kemudian tidak lagi jelas pembelaannya terhadap umat. Namun, kita tidak boleh membuat generalisasi (penyamarataan) bahwa saat ini seluruh ulama berbuat demikian. Pasti ada ulama yang masih lurus. “Umatku tidak akan bersepakat terhadap sebuah perkara batil,” sabda Rasulullah, yang bermakna bahwa tidak mungkin seluruh ulama itu bersepakat dalam perkara batil atau salah dalam setiap zaman. Dalam khasanah fikih Islam, kita mengenal jumhur (pendapat mayoritas) atau ijma’ (kesepakatan) dari ulama. Dari situlah sesungguhnya tata cara mendakwahkan Islam dengan cara-cara santun, menjauhkan diri dari kekerasan, itu diatur, melalui mekanisme jumhur/ijtima’ ulama.
Sunnah Tadaruj (Kebertahapan)
Kekerasan dalam menyebarkan agama ini, lazim didasari atas keinginan besar untuk dapat segera menyelesaikan setiap masalah yang ada. Kita lupa bahwa setiap kebaikan itu berproses, ada jenjang atau penahapannya (tadaruj). Barangsiapa mengenal sejarah dan sunah-sunah Allah yang terkandung di dalamnya, maka ia akan menemukan pelajaran besar ini.
Tadaruj merupakan hukum alam dan hukum syariat. Oleh karena itu, Allah swt menciptakan langit dan bumi dalam enam hari, padahal sesungguhnya Dia mampu untuk mengucapkan, 'Kun,"jadilah. maka jadilah langit itu. Akan tetapi Allah menciptakan dalam enam hari, diantara hari-hariNya. Yakni, dalam enam periode. Hari-hari penciptaan ini bukanlah hari-hari yang kita alami ini, hanya Allah yang mengetahui hal itu. Penciptaan manusia, hewan, dan tumbuhan berproses secara bertahap dalam beberapa periode, sehingga ia mencapai pertumbuhan dan kesempurnaannya.Ini dilihat dari hukum alam.
Adapun dari sisi syariat, Islam telah memulai dakwah terlebih dahulu kepada tauhid dan mengukuhkan akidah yang benar, kemudian syariat Allah secara bertahap. Amalan-amalan fardhu dan hal-hal yang diharamkan diturunkan Allah secara bertahap, sebagaimana yang diriwayatkan secara sahih mengenai prosese diwajibkannya shalat, puasa, zakat, diharamkannya khamr, dan sebagainya. Oleh kerana itu ayat-ayat Al Makkiyah (yang diturunkan di Makkah) berbeda dari ayat-ayat Al Madaniyah (yang diturunkan di Madinah).
Mengenai makna ini, Aisyah r.a. pernah melukiskan terjadinya penahapan dalam penetapan syariat dan turunnya Al Qur'an. "Sesungguhnya, ayat Al Qur'an yang diturunkan kali pertama adalah surat-surat yang di dalamnya disebutkan surga dan neraka, sehingga ketika manusia telah mantap dengan keislaman mereka, turunlah hukum Allah tentang halal dan haram. Andaikata yang pertama kali turun adalah, "Jangan minum khamr, jangan berzina!," niscaya mereka mengatakan, 'Kami tidak akan pernah meninggalkan khamr dan zina selamanya'."
Oleh karenanya, orang-orang yang berdakwah untuk memulai kehidupan Islami dan menegakkan negara Islam di bumi, berkewajiban untuk mengetahui dan memperhatikan sunah penahapan (taddaruj) dalam mewujudkan tujuan-tujuan yang hendak diwujudkan seraya memperhitungkan luhurnya tujuan, sarana yang memungkinkan, dan banyaknya hambatan. Simaklah, sebuah contoh berikut ini dari sirah khalifah yang masyhur keadilannya, Umar bin Abdul Aziz, sosok yang banyak disebut ulama sebagai khalifah kelima. Umar telah bertekad untuk kembali kepada kehidupan yang dicontohkan oleh empat khulafaurrasyidin dan akan dilakukannya setelah memiliki kekuatan dan memegang kendali kekuasaan. Akan tetapi puteranya, Abdul Malik, adalah seorang pemuda yang takwa dan penuh gelora. Ia mengkritik ayahnya yang tidak segera menghilangkan sisa-sisa penyimpangan dan kezaliman, memusnahkan pengaruh-pengaruhnya, danmengembalikan urusa kepada sunah-sunah khulafaurrasyidin. Suatu ketika, Abdul Malik berkata kepadanya. "Ayahanda, mengapa engkau tidak segera melaksanakan semua rencana? Demi Allah, aku tidak peduli andaikata bejana dididihkan untuk menggodokku, selama dirimu di dalam kebenaran."
Umar bin Abdul Aziz, seorang ayah yang faqih itu menjawab, "Jangan tergesa-gesa anakku. Sesungguhnya Allah mencela khamr dalam Al Qur'an dua kali, kemudian mengharamkannya untuk kali ketiganya. Aku khawatir jika akau menganjurkan manusia kepada kebenaran sekaligus, kelak mereka juga akan meninggalkannya sekaligus." (Al Muwafaqat, II/94)
Demikianlah, penahapan itu dilakukan oleh kalangan salaf, ada permakluman atas penyimpangan dan kezaliman seraya secara bertahap melakukan perbaikan. .

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ramadhan: Saatnya Hijrah

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (TQS Ar Ruum: 30). Ini kabar gembira dari istana Cankaya, Istambul, Turki. Selasa (28/8) Abdullah Gul dilantik menjadi presiden ke-11 Turki. Istimewanya, ia didampingi oleh isteri yang berjilbab. Hayrunnisa Gul adalah Ibu Negara Turki pertama yang memakai jilbab. “Jilbab hanya menutupi kepala, bukan otak saya,” tegas ibu yang dikenal cerdas, berpenampilan hangat, elegan, dan menghindari sorotan media massa ini (Republika, 29/8). Jilbab memang sempat menjadi alasan untuk menjegal pencalonan Abdullah Gul. Turki, negara sekuler (memisahkan agama dalam pemerintahan) yang dibentuk Kemal Ataturk ini secara resmi memang masih melarang jilbab dipakai di instansi pemerintah. Kaum sekuler menilai jilbab tak patut menghiasi Istana Cankaya yang diangga...

Pemimpin Ruhani (Asa dari Gaza)

Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik. ( QS Al Ankabut: 69 ) Segala cara sudah ditempuh untuk membendung dakwah Muhammad. Semuanya tidak membuahkan hasil. Kepanikan kaum musyrikin Makkah mencapai puncaknya ketika keluarga besar Muhammad, Bani Hasyim dan Bani al-Muththalib, berkeras melindungi Muhammad. Mereka lalu berkumpul di kediaman Bani Kinanah dan bersumpah untuk tidak menikahi Bani Hasyim dan Bani Muththalib, tidak berjual beli dengan mereka, tidak berkumpul, berbaur, memasuki rumah ataupun berbicara dengan mereka hingga mereka menyerahkan Muhammad untuk dibunuh. Kesepakatan zalim itu mereka tulis dalam lembar perjanjian (shahifah) dan digantungkan di rongga Ka’bah. Pemboikotan itu berjalan 3 tahun. Stok makanan mereka habis. Sementara itu kaum musyrikin tidak membiarkan makanan apapun yang masuk ke Mekk...

Bersahabat dengan Alam

”Langit yang tujuh, bumi, dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.” (QS Al Israa: 44). Juli, pertengahan tahun. Dalam pemahaman yang umum—khususnya petani—ini adalah masa yang sudah jarang terjadi hujan. Ini adalah bulan pancaroba, menjelang kemarau tiba. Tetapi, inilah berita yang kita dapati. Sejumlah daerah di Kalimantan dan Sulawesi dilanda air bah. Banjir besar merendam ribuan rumah, menghanyutkan bermacam harta benda, serta ratusan warga meninggal dunia. Untuk yang kesekian kali bencana alam itu kembali terjadi, dalam bentuknya yang lain. Di Kalimantan dan Sulawesi, tidak ditemui gempa dan gunung berapi, tetapi alam ternyata tidak ”kekurangan cara” menghadirkan bencana. Tentara Allah Bencana banjir mengingatkan kita akan sejarah Nabi Nuh. Yaitu ketika Allah membinasakan oran...