Langsung ke konten utama

Berbakti Kepada Ibu Bapak



“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menuyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapaknya dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka janganlah sekali-kali kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.”

(QS Al Israa: 23)

Dikisahkan, ada seorang di zaman Rasul yang mengalami kesulitan saat sakaratul maut. Saat Rasulullah mengetahuinya, beliau lantas mengatakan, “Ia tidak diridhai oleh ibunya.” Kemudian diutuslah seorang sahabat untuk menyampaikan kabar orang tersebut kepada ibunya seraya memintakan maaf ibu tersebut. “Saya memaafkan dan meridainya.” Setelah itu, puteranya meninggal dengan mudah.
Kisah yang berhubungan dengan hikmah berbakti kepada orang tua, banyak kita temui dalam khasanah Islam. Dari berbagai kisah tersebut, tersimpan pesan-pesan penting betapa orang tua (khususnya ibu) mempunyai kedudukan tersendiri yang sangat mulia di dalam Islam. Hal ini penting kita apresiasi ulang, bertepatan dengan Hari Ibu. Yang pekan ini kita peringati (?)
Orang tua, ibu dan ayah, sesungguhnya adalah orang paling berkorban dan dekat dalam hidup kita. Berbakti kepada orangtua merupakan kewajiban dan salah satu perbuatan yang paling disukai oleh Allah. Abdullah bin Mas’ud bertanya kepada Rasulullah saw. “Perbuatan apa yang palingdisukai oleh Allah swt. ya Rasul?” Rasulullah menjawab, “Salat tepat pada waktunya, berbakti kepada ibu bapak.” Kemudian apa ya Rasulullah? Rasulullah pun menjawab, “Jihad fi sabililah.
Kalau kita cermati lebih jauh, maka kita akan dapati betapa besarnya perhatian Islam terhadap pemuliaan ibu dan ayah kita. Menurut Al Qur’an, hadits, maupun ijmail ummah, berbakti kepada orang tua hukumnya wajib (Simak QS An Nisa’: 36 dan QS Al Israa’ : 23). Kewajiban berbakti ini tidak gugur begitu saja ketika orangtua kita musyrik (Simak QS Luqman: 15). Allah bahkan memuji para nabi/rasul karena bakti mereka kepada pada ibu bapaknya. Allah memuji Nabi Yahya a.s. melalui firmannya, “Dan ia seorang yang berbakti kepada kedua orangtuanya, tidak bersikap sombong lagi durhaka.”(QS Maryam:14). Begitupun secara khusus, Allah menyebut kemuliaan Isa a.s., Ibrahim a.s., dan Ismail a.s.; karena pengabdian dan pemuliaan mereka terhadap orang tua.
Maka, bagi kita, selayaknya ada pemaknaan mendalam yang menghantarkan kita pada upaya memuliakan orangtua sepenuh hati. Salah satunya melalui kelembutan dan kerendahan hati kita. “Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan.” (QS Al Israa: 24). Seorang ulama besar, Said bin Musayyib membantu kita menerjemahkan kata “merendahkan diri” yang dimaksud ayat ini. Kata beliau, “Ini adalah ungkapan sayang dan kerendahan sepenuhnya. Seperti rasa rendahnya rakyat di hadapan penguasa dan rendahnya budak kepada majikannya.”
Dalam ungkapan Hasan bin Ali tatkala menjawab pertanyaan tentang durhaka kepada orangtua, ia mengatakan, “Pelit kepada keduanya, mengabaikan dan memandang keduanya dengan pandangan tajam.” Zubair bin Awwam menambahkan, “Kerendahan itu dengan cara tidak pelit terhadap sesuatu yang beliau sukai”
Hati ini harus lembut dan lebih diperlembut lagi di hadapan orang tua. Tidak boleh ada sumpah serapah walaupun hanya dalam hati, sebesar apapun kekecewaan itu. Orang tua tetap orang tua yang jasanya tidak mungkin hilang hanya sekadar kekecewaan yang membuncah dalam dada.
Selayaknya, kita dapat mengupayakan secara maksimal untuk membahagiakan ibu bapak kita, dengan segala daya yang kita mampu. Rasulullah tidak sempat besar di tangan orang tuanya sendiri. Saat usia beliau mencapai lima puluhan di kota Madinah, setiap kali ibu susuannya datang menjenguk pintu rumahnya, dengan segala hormat beliau mempersilakan ibunya masuk. Sorban di kepalanya dilepaskan dan dihamparkan untuk alas duduk ibunya itu.
Al Qur’an mengingatkan kita untuk senantiasa mengeluarkan perkataan baik dari mulut kita kepada orang tua. Saat kedua orang tua kita itu berumur lanjut, kemampuan mereka menurun. Kita harus melayaninya dengan sabar. Mengatakan “ah” saja kepada mereka adalah perbuatan tercela. (Simak QS Al Israa: 23).
Dalam musnad Ibnu Mardawaih, diriwayatkan seseorang datang kepada Rasulullah bersama bapak tua. Rasulullah bertanya, “Siapa yang bersamamu ini? Dia menjawab, “Ayahku.” Rasulullah kemudian mengajarkan adab, “Jangan berjalan di depannya, jangan duduk sebelum ia duduk, jangan memanggil namanya, dan jangan mencelanya.”
Ketika kita dipanggil orang tua pun kita harus menjawab dengan jawaban yang menunjukkan rasa hormat yang mendalam. Seperti yang diajarkan Zuhair bin Muhammad., “Jika kamu dipanggil jawablah Labbaik wa sadaik (aku penuhi panggilan ibu bapak).
Maka bila kita simak lebih jauh, terlihat Islam mengatur penghormatan terhadap orang tua sebegitu rincinya. Maka tidak dapat dibayangkan bila ada orang yang tidak menghormati bahkan sampai menyakiti secara fisik orang tuanya. Islam sungguh mencelanya .
Apa yang dilakukan oleh Abu Hurairah patut kita simak sebagai cerminan adab kenabian terhadap orangtua. Setiap Abu Hurairah hendak keluar rumah, dia selalu ijin kepada pada ibunya yang sudah tua. Kata manis dan lembut pun keluar, Assalamu alaik, semiga Allah merahmatimu sebagaimana ibu telah mengasuhku ketika aku kecil.” Sang ibu pun berkata dengan ketulusan dan kasih sayang yang tak berubah, “Waalaikas salam, semoga Allah mengampunimu sebagaimana kamu berbakti kepadaku di saat aku telah tua.”
Ayah dan ibu sesungguhnya tidak pernah mengharapkan balas budi dari anaknya. Ketulusan dan keikhlasan terpancar selalu dari wajah keduanya. Begitu besar pengorbanan mereka itu, sampai-sampai kita tidak mungkin akan membalasnya setimpal.
Dalam sebuah riwayat yang ditulis oleh Ibnu Katsir, bahwasanya ada di pelataran Ka’bah seorang sahabat yang sedang thawaf sambil menggendong ibunya. Tujuh putaran menggendong ibunya tentulah bukan pekerjaan ringan. Selesai putaran thawaf, sahabat tersebut menemui Rasulullah seraya bertanya, “Ya Rasulullah, apakah berarti aku telah memberikan hak ibuku? Rasulullah menjawab seketika itu, “Tidak bahkan seujung kuku pun tidak.”
Tidak seujung kuku pun? Ya. Sungguh kalaupun seluruh kemampuan kita berikan untuk orang tua, tiada terbalas setetes air susu ibu. Sungguh, kalaupun siang dan malam kita haturkan hidup kita untuk keduanya tidak bisa membeli setitik keringat ayah.
Kedua orang tua kita hari ini, mungkin tidak kuat lagi bekerja dari pagi hingga petang seperti dulu lagi. Tulangnya telah rapuh. Cepat lelah nampak tergambar dari keriput kulit wajah mereka. Maka ringankanlah beban kehidupan, fisik dan hatinya. Ciptakanlah peristirahatan, agar mereka istirahat dengan nyaman. Biarkanlah, jangan usik lagi, apalagi membebani. ***


Maaf Ibu, Kali Ini Aku Tak Menaatimu

“Aku orang yang sangat berbakti pada ibuku,” kata Saad bin Abi Waqqash. Saad memang dikenal sebagai orang yang sangat taat kepada ibunya. Hubungan antara anak dan ibu ini membuat banyak orang iri. Sangat harmonis dan penuh kasih sayang.
Hingga suatu hari Makakh menjadi saksi keislaman Saad. Ibunya Hamnah bin Abi Sufyan segera mengetahui kesilaman putranya yangdikasihi itu. Dari sinilah muncul persoalan itu. Sang Ibu tidak menyetujui perubahan pada anaknya. Ibunya tetap menginginkan Saad pada keyakinan nenek moyangnya.
Sebagai usaha agar Saad mengurungkana niatnya, ibunya mengancam, “Kamu tinggalkan agamamu itu atau aku tidak akan makan dan minum hingga aku mati dan kamu akan dihina manusia sebagai pembunuh ibunya sendiri.”
Paginya ibunya benar-enar tidak makan. Hingga malam tiba, tidak sebutir gandum pun dan setets air yang masuk ke dalam tubuhnya. Saad hanya diam. Pagi hari ke dua, ibunya tetap bersikukuh tidak mau makan dan minum. Kondisinya menjadi lemah. Malam itu, Saad yang menyaksikan ibunya sudah tidak lagi memiliki tenaga tetap diam. Memasuki hari ketiga, ibunya tidak main-main. Dia tetap tidak mau menyentuh makanan dan minuman yang telah disediakan. Keadaan pun makin memprihatinkan.
Barulah pada hari berikutnya Saad berujar menunjukkan sikapnya. “Ibunda, kalau ibunda mempunyai seratus nyawa dan nyawa ibu keluar satu per satu, aku tidak akan meninggalkan agamaku ini. Jika ibu mau, makanlah dan jika ibu lebih memilih tidak mau makan, maka silakan.”
Melihat kesungguhan Saad, ibunya yang sudah tidak berdaya itu akhirnya mau makan.
Saad yang memiliki fifik kuat sehingga mampu beribadah tanpa putus itu; juga mempunyai jiwa teguh, dan mampu mengedepankan akal sehatnya.
Ia berhasil meletakkan makna cinta dan taat pada ruangannya yang benar. Bila cinta dan ketaatan kita letakkan di luar ruang itu, akan hilang diterkam kesesatan Salah meletakkan berarti membuka peluang untuk datangnya kerugian.
Karena orangtua yang memiliki kedudukan setelah Allah dan Rasul-Nya, tetap manusia tidak bole diangkat lebih tinggi dari tempatnya. Makhluk tidak mungkin berubah menjadi Tuhan yang bisa memaksakan kehendaknya yang keliru.
Karenanya jika perintah orangtua sudah menyimpang dari ajaran Islam, maka kita tidak boleh menurutinya. Rasulullah memberikan batasan, “Tidak boleh taat kepada makhluk untuk bermaksiat kepada Khaliq (Pencipta).” (HR. Muslim danTirmidzi).
Karena permintaan orang tua yang tidak sejalan tuntuna agama, tidak lagi masuk dalam frame (lingkup) mesti ditaati. “Ridha Allah berada pada ridha orang tua dan murka Allah berada pada murka orang tua. Ketika Allah tidak ridha dengan permintaan orang tua kita yang menyuruh berbuat syirik dan dosa lainnya, bahkan justru membuat Allah murka, saat itulah kita perlu menolak.
Dari peristiwa Saad inilah turun ayat, “Dan kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada Ibu bapaknya. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuan mu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya. Hanya kepada-Ku lah kamu kembali, lalu Aku kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS Al Ankabuut: 8)
Di sinilah letak keadilan Islam. Ketika ibadah kepada Allah tidak boleh diganggu , tetapi hak orang tua tidakhilang seketika. Walau apa yang mereka pinta adalah kesalahan besar, namun orang tua mempunyai kedudukan khusus. Maka tetap saja, dalam soal muamalah, Allah berfirman, “Pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” (QS Luqman: 15) ***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PETAKA KUASA DUSTA

”Jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu-bapak dan kaum kerabatmu...Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” (TQS An Nisaa: 135). Ini kisah menurut La Fontaine dalam Fables et Epitres. Dunia margasatwa diserang wabah penyakit. Diduga wabah itu merupakan azab Tuhan karena kejahatan penghuni dunia itu. Baginda Singa, tokoh nomor satu di kerajaan rimba, dengan memelas mengakui, ”Akulah penyebab segala bencana ini. Pekerjaanku memakan warga yang lemah seperti domba dan kambing.” Serigala membantah. ”Bukan demikian, Baginda tidak salah.” Yang dilakukan singa adalah implikasi dari kekuasaan. Memakan warga adalah bagian resiko yang harus diambil dari kebijakan yang dibuat pemimpin. Seorang demi seorang dari pembesar margasatwa bergilir mengakui kesalahannya. Pengadilan selalu memutuskan mereka tak bersalah

“Robohnya Masjid Kami” [Kritik Memakmurkan Masjid]

“Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allah dalam masjid-masjid-Nya, dan berusaha untuk merobohkannya? Mereka itu tidak sepatutnya masuk ke dalamnya (masjid Allah), kecuali dengan rasa takut (kepada Allah). Mereka di dunia mendapat kehinaan dan di akhirat mendapat siksa yang berat.” (TQS Al Baqarah: 114) Masjid itu dindingnya dari tanah liat. Tiangnya batang kurma, lantainya pasir, dan atapnya pelepah kurma. Maka, di suatu hari kaum Anshar mengumpulkan harta dan mendatangi Rasulullah saw.. "Wahai Rasulullah, bangunlah masjid dan hiasilah seindah-indahnya dengan harta yang kami bawa ini. Sampai kapan kita harus salat di bawah pelepah kurma?" Rasulullah menjawab, "Aku ingin seperti saudaraku Nabi Musa, masjidku cukup seperti arisy (gubuk tempat berteduh) Nabi Musa a.s.” Dijelaskan oleh Hasan r.a. menjelaskan bahwa ukuran arisy Nabi Musa a.s. adalah bila Rasulullah saw. mengangkat tangannya maka atapnya akan tersentuh Hadits ya

Saat Bencana Tak Menyadarkan Kita

“Belumkah datang kepada mereka berita penting tentang orang-orang yang sebelum mereka, (yaitu) kaum Nuh, 'Aad, Tsamud, kaum Ibrahim, penduduk Madyan dan negeri-negeri yang telah musnah? Telah datang kepada mereka rasul-rasul dengan membawa keterangan yang nyata, maka Allah tidaklah sekali-kali menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (QS At Taubah: 70) Selayaknya, hari itu adalah waktu libur yang menyenangkan. Pesisir pantai Aceh punya pesona menarik sebagaimana pantai lainnya di pesisir Samudera Indonesia. Pagi yang cerah. Menawarkan selera untuk bercengkerama dengan keluarga, sembari menikmati indahnya panorama pantai. Namun, malang tak dapat ditolak untung tak dapat diraih. Semuanya berubah menjadi peristiwa yang memilukan. Tiba-tiba bumi berguncang dahsyat, gempa mengundang panik semuanya. Belum sirna rasa terkejut itu, riuh rendah orang berteriak, “Air, air..., air datang!“ Kita selanjutnya menyaksikan ribuan mayat bergelimpangan, berbagai