Langsung ke konten utama

Mengembangkan Zakat Produktif

Berbagai komentar terkait tragedi pembagian zakat di Pasuruan masih menyisakan problem mendasar yang nyaris tidak tersentuh. Pertama, masalah organisasi pembagi zakat. Berbagai kritik diarahkan kepada keteledoran panitia. Mulai dari waktu pelaksanaan, mekanisme pembagian (cara antre, pemakaian kupon), sampai koordinasi dengan aparat keamanan. Namun ada hal yang seolah terabaikan bahwa ini menyangkut zakat; salah satu bentuk berderma dalam Islam yang mempunyai aturan rigid. Secara khusus Islam menyebut amil sebagai orang yang berhak membagikan zakat—dengan berbagai ketentuan operasional yang mengikat amil. Maka, “kesalahan” yang mestinya diluruskan bukan pada sisi teknis distribusi zakat, tetapi lebih mendasar pada: mengapa zakat tidak dibagikan oleh amil? Memang ada kebolehan menyampaikan zakat secara langsung oleh muzaki. Tapi tak ada teladan dari Nabi, kalangan sahabat dan ulama terdahulu yang bisa menjadi pembenaran, bila itu menyangkut pembagian zakat yang melibatkan banyak orang.

Kedua, pola karitatif (pemberian langsung) dana zakat. Sebagaimana dikabarkan, pembagian zakat itu bukan yang kali pertama. Tahun sebelumnya telah dilakukan, tahun ini mengalami kenaikan yang sangat besar. Bisa jadi hal tersebut menjadi potret tentang semakin banyaknya orang miskin. Tapi saya khawatir ini menyangkut mentalitas peminta-minta yang akut di masyarakat. Artinya, kalau di kemudian hari ekonomi masyarakat itu telah membaik, bukan berarti antrean itu akan susut. Bukan mereka tak mampu memenuhi kebutuhan dasar, tapi motif untuk memperoleh dengan cara instan itu yang lebih dominan.

Kekhawatiran tentang mentalitas "tangan di bawah” ini bukan tanpa dasar empirik. Beberapa kali terlibat kegiatan pemberdayaan masyarakat, saya kerap menemukan kelompok masyarakat yang tampak begitu antusias bila menyangkut bantuan langsung. Namun bila menyangkut pemberian bersyarat, seperti modal bergulir, surut antusiasmenya—kalaupun dipaksakan biasanya muncul kredit macet. Adanya orang kaya yang menerima dana bantuan langsung tunai (BLT)—sebagaimana dikabarkan koran—relevan untuk menjelaskan fenomena ini.

Ketiga, adanya (maaf) oknum yang mempunyai tujuan lain dengan pembagian zakat secara ‘tradisional’ tersebut. Di era dimana popularitas menjadi bagian penting dalam posisi tawar politik (misal: dukungan suara dalam pemilu/pilkada), acara seperti tersebut rawan diselewengkan. Ada motif riya dan pamer. Alih-alih menjadikan zakat sebagai instrumen pengentas kemiskinan, ia malah dijadikan sebagai sarana menuruti ambisi kekuasaan.

Purifikasi dan Kontekstualisasi

Tragedi Pasuruan selayaknya menjadi pelajaran berharga. Niat baik tanpa diiringi cara yang benar bisa mengundang petaka. Uluran tangan membantu, bisa malah mengundang pilu. Memberi santunan dengan harapan mengurangi kesenjangan, sejatinya bisa malah melestarikan kemiskinan. Kita harus berupaya mengembalikan orientasi pemanfaatan zakat sesuai panduan dari Alquran dan Sunnah Nabi, seraya mengasah kejelian berdasar pengalaman.

Zakat bukan dana sosial yang dapat disampaikan begitu saja sesuai selera orang kaya (muzakki). Harus ada yang khusus mengelola, sebagaimana dahulu Nabi mengutus mengutus Mu'adz bin Jabal ke negeri Yaman. Amil adalah profesi khusus yang mempunyai dedikasi penuh agar penyaluran zakat tersistematisasikan dengan baik. Didin Hafidhuddin (Ketua Baznas RI), kerap mengungkapkan pentingnya amil bekerja full time, bukan sambilan, apalagi sekadar musiman. Dari sinilah berawal munculnya pendayagunaan zakat secara ideal.

Peruntukan zakat secara yang jelas tertera dalam QS 9: 60. Berbagai kodifikasi hadits seputar zakat, selalu menyertakan celaan kepada para peminta-minta. Nabi menegaskan tidak adanya bagian zakat kepada orang kaya dan kuat bekerja. Bab Zakat di Shahih Bukhari, secara khusus juga mencantumkan anjuran Nabi agar umatnya tidak menjadi peminta-minta. "Seorang di antara kamu yang mengambil talinya, lalu datang dengan seonggok kayu bakar di atas punggungnya, kemudian menjualnya dan dengan hasil itu ia menjaga kehormatannya adalah lebih baik daripada ia meminta-minta.”

Pesan eksplisit tentang ‘seonggok kayu bakar’ tersebut, menjadi spirit pendayagunaan dana zakat. Kemiskinan itu tak boleh lestari, secara fisik ataupun mental. Maka, dana zakat selayaknya tidak berfungsi konsumtif semata atau jangka pendek, tapi menjadi dana revolving (bergulir), produktif, berkembang, berfungsi maksimal, dan membantu semaksimal mungkin masyarakat. Di lapangan, misalnya, sektor usaha kecil banyak yang membutuhkan penguatan modal. Kelompok seperti ini tak mungkin secara langsung mendapatkan suntikan dana pinjaman komersial dari perbankan. Maka pendayagunaan dana zakat dapat mengambil peran sebagai inkubator usaha/bisnis. Sampai kemudian, lewat pembinaan/pendampingan yang dilakukan, usaha tersebut menjadi bankable. Kreasi semacam inilah yang relevan dilakukan dalam pendayagunaan zakat.

Tentu, cara-cara tradisional masih perlu dilakukan. Banyak warga yang masih membutuhkan dana yang bersifat segera. Namun, proporsi pemberian-segera ini perlu dikurangi. Pemberdayaan itu perlu dilakukan agar orang-orang yang lemah bisa terentaskan dari kemiskinannya secara permanen, bahkan meningkat statusnya dari mustahik (penerima zakat) menjadi muzakki (orang yang berzakat).

Peran dan fungsi pemberdayaan seperti di atas tampak sulit bila dilakukan oleh panitia ZIS di setiap masjid yang hanya musiman/ setahun sekali. Karenanya keberadaan Badan/Lembaga Amil Zakat yang dikelola secara profesional (punya aktivitas kontinu) memegang peranan mutlak. Ke depan, pilahan kerja seperti ini perlu dipertegas. Semisal, panitia ZIS di setiap masjid hanya mengelola zakat fitrah untuk disalurkan langsung—sebagai bentuk ”menggembirakan dhuafa” saat Hari Raya Idul Fitri. Lalu, zakat mal (harta) kemudian diserahkan ke BAZ/LAZ. Setiap masjid berfungsi sebagai unit pengumpul zakat (UPZ). Cara inilah yang paling mungkin mencapai akumulasi dana yang besar untuk program pemberdayaan.

Dana yang terakumulasi dari zakat, bisa jadi tak seberapa jika dibandingkan dengan dana pemberdayaan ekonomi pemerintah dari sektor lain. Namun dimensi transenden zakat, insya Allah akan mengundang berkah, menjadi katalis yang luar biasa besar dalam pembangunan perekonomian masyarakat di negeri ini. Wallahu’alam bishshawab.***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ramadhan: Saatnya Hijrah

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (TQS Ar Ruum: 30). Ini kabar gembira dari istana Cankaya, Istambul, Turki. Selasa (28/8) Abdullah Gul dilantik menjadi presiden ke-11 Turki. Istimewanya, ia didampingi oleh isteri yang berjilbab. Hayrunnisa Gul adalah Ibu Negara Turki pertama yang memakai jilbab. “Jilbab hanya menutupi kepala, bukan otak saya,” tegas ibu yang dikenal cerdas, berpenampilan hangat, elegan, dan menghindari sorotan media massa ini (Republika, 29/8). Jilbab memang sempat menjadi alasan untuk menjegal pencalonan Abdullah Gul. Turki, negara sekuler (memisahkan agama dalam pemerintahan) yang dibentuk Kemal Ataturk ini secara resmi memang masih melarang jilbab dipakai di instansi pemerintah. Kaum sekuler menilai jilbab tak patut menghiasi Istana Cankaya yang diangga...

Pemimpin Ruhani (Asa dari Gaza)

Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik. ( QS Al Ankabut: 69 ) Segala cara sudah ditempuh untuk membendung dakwah Muhammad. Semuanya tidak membuahkan hasil. Kepanikan kaum musyrikin Makkah mencapai puncaknya ketika keluarga besar Muhammad, Bani Hasyim dan Bani al-Muththalib, berkeras melindungi Muhammad. Mereka lalu berkumpul di kediaman Bani Kinanah dan bersumpah untuk tidak menikahi Bani Hasyim dan Bani Muththalib, tidak berjual beli dengan mereka, tidak berkumpul, berbaur, memasuki rumah ataupun berbicara dengan mereka hingga mereka menyerahkan Muhammad untuk dibunuh. Kesepakatan zalim itu mereka tulis dalam lembar perjanjian (shahifah) dan digantungkan di rongga Ka’bah. Pemboikotan itu berjalan 3 tahun. Stok makanan mereka habis. Sementara itu kaum musyrikin tidak membiarkan makanan apapun yang masuk ke Mekk...

Kapan Kita Berhenti Merokok? (Haramnya Rokok)

Dan janganlah kamu membinasakan diri kamu sendiri; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. ( TQS An Nisa’: 29 ) Hadir dalam acara syukuran haji tetangga, saya mendengar kisah menarik tentang ”razia” di Masjid Nabawi, Madinah. Di pintu masuk ke masjid, ada para penjaga yang mengawasi datangnya jamaah. Bila mendapati jamaah yang merokok, mereka menegur keras, ”Haram, haram!” seraya merampas rokok. Jauh hari sebelum fatwa MUI, ulama di Arab Saudi telah menetapkan haramnya rokok. Ketetapan tersebut ditindaklanjuti, salah satunya, dengan pelarangan di masjid. Jumhur ulama di berbagai negara di Timur Tengah, juga Malaysia dan Brunei Darussalam; telah memfatwakan keharaman rokok. Cepat atau lambat—kebetulan, Indonesia termasuk yang terlambat—rokok akan menjadi masalah yang menjadi perhatian penting para ulama. Menurut Ahmad Sarwat (pengelola rubrik konsultasi syariah situs eramuslim.com), awalnya memang belum ada ulama yang mengharamkan rokok, kecuali hanya memakruhkan. Namun das...