Kedua, pola karitatif (pemberian langsung) dana zakat. Sebagaimana dikabarkan, pembagian zakat itu bukan yang kali pertama. Tahun sebelumnya telah dilakukan, tahun ini mengalami kenaikan yang sangat besar. Bisa jadi hal tersebut menjadi potret tentang semakin banyaknya orang miskin. Tapi saya khawatir ini menyangkut mentalitas peminta-minta yang akut di masyarakat. Artinya, kalau di kemudian hari ekonomi masyarakat itu telah membaik, bukan berarti antrean itu akan susut. Bukan mereka tak mampu memenuhi kebutuhan dasar, tapi motif untuk memperoleh dengan cara instan itu yang lebih dominan.
Kekhawatiran tentang mentalitas "tangan di bawah” ini bukan tanpa dasar empirik. Beberapa kali terlibat kegiatan pemberdayaan masyarakat, saya kerap menemukan kelompok masyarakat yang tampak begitu antusias bila menyangkut bantuan langsung. Namun bila menyangkut pemberian bersyarat, seperti modal bergulir, surut antusiasmenya—kalaupun dipaksakan biasanya muncul kredit macet. Adanya orang kaya yang menerima dana bantuan langsung tunai (BLT)—sebagaimana dikabarkan koran—relevan untuk menjelaskan fenomena ini.
Ketiga, adanya (maaf) oknum yang mempunyai tujuan lain dengan pembagian zakat secara ‘tradisional’ tersebut. Di era dimana popularitas menjadi bagian penting dalam posisi tawar politik (misal: dukungan suara dalam pemilu/pilkada), acara seperti tersebut rawan diselewengkan. Ada motif riya dan pamer. Alih-alih menjadikan zakat sebagai instrumen pengentas kemiskinan, ia malah dijadikan sebagai sarana menuruti ambisi kekuasaan.
Purifikasi dan Kontekstualisasi
Tragedi Pasuruan selayaknya menjadi pelajaran berharga. Niat baik tanpa diiringi cara yang benar bisa mengundang petaka. Uluran tangan membantu, bisa malah mengundang pilu. Memberi santunan dengan harapan mengurangi kesenjangan, sejatinya bisa malah melestarikan kemiskinan. Kita harus berupaya mengembalikan orientasi pemanfaatan zakat sesuai panduan dari Alquran dan Sunnah Nabi, seraya mengasah kejelian berdasar pengalaman.
Zakat bukan dana sosial yang dapat disampaikan begitu saja sesuai selera orang kaya (muzakki). Harus ada yang khusus mengelola, sebagaimana dahulu Nabi mengutus mengutus Mu'adz bin Jabal ke negeri Yaman. Amil adalah profesi khusus yang mempunyai dedikasi penuh agar penyaluran zakat tersistematisasikan dengan baik. Didin Hafidhuddin (Ketua Baznas RI), kerap mengungkapkan pentingnya amil bekerja full time, bukan sambilan, apalagi sekadar musiman. Dari sinilah berawal munculnya pendayagunaan zakat secara ideal.
Peruntukan zakat secara yang jelas tertera dalam QS 9: 60. Berbagai kodifikasi hadits seputar zakat, selalu menyertakan celaan kepada para peminta-minta. Nabi menegaskan tidak adanya bagian zakat kepada orang kaya dan kuat bekerja. Bab Zakat di Shahih Bukhari, secara khusus juga mencantumkan anjuran Nabi agar umatnya tidak menjadi peminta-minta. "Seorang di antara kamu yang mengambil talinya, lalu datang dengan seonggok kayu bakar di atas punggungnya, kemudian menjualnya dan dengan hasil itu ia menjaga kehormatannya adalah lebih baik daripada ia meminta-minta.”
Pesan eksplisit tentang ‘seonggok kayu bakar’ tersebut, menjadi spirit pendayagunaan dana zakat. Kemiskinan itu tak boleh lestari, secara fisik ataupun mental. Maka, dana zakat selayaknya tidak berfungsi konsumtif semata atau jangka pendek, tapi menjadi dana revolving (bergulir), produktif, berkembang, berfungsi maksimal, dan membantu semaksimal mungkin masyarakat. Di lapangan, misalnya, sektor usaha kecil banyak yang membutuhkan penguatan modal. Kelompok seperti ini tak mungkin secara langsung mendapatkan suntikan dana pinjaman komersial dari perbankan. Maka pendayagunaan dana zakat dapat mengambil peran sebagai inkubator usaha/bisnis. Sampai kemudian, lewat pembinaan/pendampingan yang dilakukan, usaha tersebut menjadi bankable. Kreasi semacam inilah yang relevan dilakukan dalam pendayagunaan zakat.
Tentu, cara-cara tradisional masih perlu dilakukan. Banyak warga yang masih membutuhkan dana yang bersifat segera. Namun, proporsi pemberian-segera ini perlu dikurangi. Pemberdayaan itu perlu dilakukan agar orang-orang yang lemah bisa terentaskan dari kemiskinannya secara permanen, bahkan meningkat statusnya dari mustahik (penerima zakat) menjadi muzakki (orang yang berzakat).
Peran dan fungsi pemberdayaan seperti di atas tampak sulit bila dilakukan oleh panitia ZIS di setiap masjid yang hanya musiman/ setahun sekali. Karenanya keberadaan Badan/Lembaga Amil Zakat yang dikelola secara profesional (punya aktivitas kontinu) memegang peranan mutlak. Ke depan, pilahan kerja seperti ini perlu dipertegas. Semisal, panitia ZIS di setiap masjid hanya mengelola zakat fitrah untuk disalurkan langsung—sebagai bentuk ”menggembirakan dhuafa” saat Hari Raya Idul Fitri. Lalu, zakat mal (harta) kemudian diserahkan ke BAZ/LAZ. Setiap masjid berfungsi sebagai unit pengumpul zakat (UPZ). Cara inilah yang paling mungkin mencapai akumulasi dana yang besar untuk program pemberdayaan.
Dana yang terakumulasi dari zakat, bisa jadi tak seberapa jika dibandingkan dengan dana pemberdayaan ekonomi pemerintah dari sektor lain. Namun dimensi transenden zakat, insya Allah akan mengundang berkah, menjadi katalis yang luar biasa besar dalam pembangunan perekonomian masyarakat di negeri ini. Wallahu’alam bishshawab.***
Komentar