Langsung ke konten utama

Tetangga Idola

Perpisahan. Tampaknya ini adalah prosesi yang kerap menyedihkan. Apalagi bila hal itu menyangkut sesuatu yang mendapat tempat di hati kita. Kalau boleh, rasanya memang tak usah ada yang namanya perpisahan.

Akhir pekan kemarin, ”tragedi” itu terjadi. Keluarga Rudi Agung Prabowo (35), tetangga kami, pamit pindah ke Magelang. Orang tua yang sudah sepuh serta pekerjaan baru di sana, meneguhkan langkahnya untuk pulang kampung.

Maka pagi itu, tangis haru pun pecah. Kebaikan suami-isteri serta kelucuan dua anaknya itu, terasa begitu berkesan. Banyaknya tetangga yang pagi itu membantu mengiringi boyongan, cukup menjadi gambaran tentang berartinya mereka bagi kami. Mas Agung, maafkan kami, doa kami menyertai...

***

Entahlah, rasanya kami begitu kehilangan. Padahal, peristiwa serupa cukup sering saya alami. Banyak tetangga (juga teman) yang datang, tapi sering berlalu tak berkesan.

Mungkin inilah yang disebut kebahagiaan. Kata Baginda Nabi, diantara kebahagiaan Muslim adalah mempunyai tetangga baik lagi salih (HR Ahmad dan Al Hakim). Keluarga Agung rupanya sudah menjadi bagian dari kebahagiaan kami. Maka, ketika mereka pergi, rasa sedih dan kehilangan itu menyelimuti kami.

Rasa kehilangan kolektif ini, seolah mengarahkan kita pada simpulan: bertetangga rukun itu fitrah. Ia menjadi hajat dasar semua orang. Bila kita tilik lebih jauh, ternyata memuliakan tetangga menjadi bagian penting Islam. Bahkan dalam bentuk yang amat substansial. Sabda Nabi, ”Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia memuliakan tetangganya.” (Mutafaq Alaih). Maha Suci Allah. Memuliakan tetangga disejajarkan dengan keimanan kepada Allah dan hari akhirat. Artinya, tidak peduli dengan urusan tetangga sama dengan kita tidak beriman.

Begitu pentingnya tetangga, Nabi memberi beberapa petunjuk operasionalnya (HR Thabrani dan Muslim). ”Janganlah meninggikan bangunan rumahmu melebihi bangunan rumahnya yang dapat menutup kelancaran angin baginya; janganlah kamu mengganggunya dengan bau periuk masakan kecuali kamu menciduk sebagian untuk diberikan kepadanya; apabila engkau memasak kuah, perbanyaklah airnya dan perhatikanlah tetanggamu.”

Alhasil, saya mendapat banyak pelajaran dari perpisahan tersebut. Saya ingin menirunya. Mas Agung, matur nuwun.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Saat Bencana Tak Menyadarkan Kita

“Belumkah datang kepada mereka berita penting tentang orang-orang yang sebelum mereka, (yaitu) kaum Nuh, 'Aad, Tsamud, kaum Ibrahim, penduduk Madyan dan negeri-negeri yang telah musnah? Telah datang kepada mereka rasul-rasul dengan membawa keterangan yang nyata, maka Allah tidaklah sekali-kali menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (QS At Taubah: 70) Selayaknya, hari itu adalah waktu libur yang menyenangkan. Pesisir pantai Aceh punya pesona menarik sebagaimana pantai lainnya di pesisir Samudera Indonesia. Pagi yang cerah. Menawarkan selera untuk bercengkerama dengan keluarga, sembari menikmati indahnya panorama pantai. Namun, malang tak dapat ditolak untung tak dapat diraih. Semuanya berubah menjadi peristiwa yang memilukan. Tiba-tiba bumi berguncang dahsyat, gempa mengundang panik semuanya. Belum sirna rasa terkejut itu, riuh rendah orang berteriak, “Air, air..., air datang!“ Kita selanjutnya menyaksikan ribuan mayat bergelimpangan, berbagai

PETAKA KUASA DUSTA

”Jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu-bapak dan kaum kerabatmu...Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” (TQS An Nisaa: 135). Ini kisah menurut La Fontaine dalam Fables et Epitres. Dunia margasatwa diserang wabah penyakit. Diduga wabah itu merupakan azab Tuhan karena kejahatan penghuni dunia itu. Baginda Singa, tokoh nomor satu di kerajaan rimba, dengan memelas mengakui, ”Akulah penyebab segala bencana ini. Pekerjaanku memakan warga yang lemah seperti domba dan kambing.” Serigala membantah. ”Bukan demikian, Baginda tidak salah.” Yang dilakukan singa adalah implikasi dari kekuasaan. Memakan warga adalah bagian resiko yang harus diambil dari kebijakan yang dibuat pemimpin. Seorang demi seorang dari pembesar margasatwa bergilir mengakui kesalahannya. Pengadilan selalu memutuskan mereka tak bersalah

“Robohnya Masjid Kami” [Kritik Memakmurkan Masjid]

“Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allah dalam masjid-masjid-Nya, dan berusaha untuk merobohkannya? Mereka itu tidak sepatutnya masuk ke dalamnya (masjid Allah), kecuali dengan rasa takut (kepada Allah). Mereka di dunia mendapat kehinaan dan di akhirat mendapat siksa yang berat.” (TQS Al Baqarah: 114) Masjid itu dindingnya dari tanah liat. Tiangnya batang kurma, lantainya pasir, dan atapnya pelepah kurma. Maka, di suatu hari kaum Anshar mengumpulkan harta dan mendatangi Rasulullah saw.. "Wahai Rasulullah, bangunlah masjid dan hiasilah seindah-indahnya dengan harta yang kami bawa ini. Sampai kapan kita harus salat di bawah pelepah kurma?" Rasulullah menjawab, "Aku ingin seperti saudaraku Nabi Musa, masjidku cukup seperti arisy (gubuk tempat berteduh) Nabi Musa a.s.” Dijelaskan oleh Hasan r.a. menjelaskan bahwa ukuran arisy Nabi Musa a.s. adalah bila Rasulullah saw. mengangkat tangannya maka atapnya akan tersentuh Hadits ya