Ramadan adalah saat yang banyak melahirkan ’keajaiban.’ Kita ternyata mampu melakukan sesuatu yang mungkin tidak terbayangkan sebelumnya. Seperti kemampuan kita menahan lapar, berpuasa setiap hari selama sebulan penuh. Sekadar puasa senin-kamis saja terasa sulit kita lakukan. Kita juga mampu melakukan qiyamul lail, salat tarawih, membaca Al Quran, sesuatu yang jarang (atau tidak pernah) kita lakukan sebelumnya.
Namun, setiap usaha punya akhir riwayatnya. Sukses atau gagal, menang atau kalah, berakhir baik atau buruk. Begitulah Allah yang menciptakan segala sesuatu berpasangan, meliputi berbagai dimensinya. Begitupun tentang puasa yang telah kita lakukan.
“Berapa banyak orang yang berpuasa namun ia tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali lapar dan dahaga…”begitu sabda Rasulullah yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim, tentang kegagalan orang yang melaksanakan puasa Ramadan.
Selayaknya, ada kewaspadaan yang tertanam di diri kita. Puasa memang amalan hati, yang rahasianya hanya diketahui oleh masing-masing pribadi. Tetapi ada indikasi yang bisa kita lihat. Perhatikanlah. Shaf salat semakin susut. Nuansa puasa terasa pudar dalam keseharian kita. Lidah mulai tak terjaga dari perkataan sia-sia. Pertanyaan pengingat ini perlu dijawab. Masih adakah nuansa yang berbeda saat ini dengan bulan yang lain? Selayaknya, tengah Ramadan ini nuansa agamis itu tetap terjaga.
Gerak yang Dinamis
Surah Hud: 112 yang kita nukilkan di muka menyeru kita untuk berlaku istiqamah. Istiqamah artinya teguh hati, taat asas, atau konsisten. Hal itu adalah sifat unggul seorang Muslim yang akan menjamin kejayaan di dunia dan akhirat. Istiqamah adalah disiplin agama yang menganjurkan umatnya supaya dalam apa juga pekerjaan dan amalan, hendaklah dilakukan secara terus-menerus dan konsisten. Orang yang istiqamah ialah seorang yang comitted, tekun dan gigih melakukan sesuatu pekerjaan, tugas, dan tanggungjawab.
Seruan agar umat Islam beristiqamah dalam beribadah jelas diterangkan dalam beberapa ayat Al Quran dan Hadits. Sufyan bin Abdullah Ats Tsaqafi bertanya kepada Rasulullah saw., “Wahai Rasulullah, jelaskan kepada saya satu ungkapan mengenai Islam, supaya saya tidak perlu lagi bertanya kepada orang lain, kecuali kepadamu.” Rasulullah menjawab, `(Islam itu adalah) kamu berkata `Aku beriman kepada Allah dan beristiqamahlah'.” (HR Muslim).
Allah juga menjanjikan kemuliaan dan keberkahan kepada orang yang istiqamah. "Dan seandainya mereka itu bersikap istiqamah di atas jalan kebenaran, maka pastilah Kami siramkan kepada mereka air yang melimpah (rejeki yang banyak)." (QS Al Jinn:16).
Keperluan kepada sikap istiqamah itu ada pada setiap masa. Ia adalah gerakan perubahan yang dinamis. Bahkan para ahli menyebutkan bahwa kemodernan ditandai oleh "perubahan yang terlembagakan" (institutionalized change). Artinya, jika pada zaman-zaman sebelumnya perubahan adalah sesuatu yang "luar biasa" dan hanya terjadi di dalam kurun waktu yang amat panjang, di zaman modern perubahan itu merupakan gejala harian, dan sudah menjadi keharusan.
Lihat saja, misalnya, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama teknologi microchip (harfiah: kerupuk kecil) dalam teknologi elektronika. Siapa saja yang mencoba bertahan pada suatu bentuk produk, baik dia itu produsen atau konsumen, pasti akan tergilas dan merugi sendiri. Karena itulah maka "Lembah Silikon" atau Silicon Valley di California selalu diliputi oleh ketegangan akibat kompetisi yang amat keras.
Istiqamah yang dipahami dalam maknanya yang dinamis ini sejalan dengan pelajaran yang disampaikan Ibnu Umar. Ibnu Umar berkata: Suatu saat Rasulullah saw. memegang pundakku sembari bersabda,”Jadilah engkau di dunia ini seakan-akan orang asing atau penyeberang jalan (musafir). Selanjutnya, Ibnu Umar berkata, Jika engkau di waktu sore janganlah menunggu pagi, jika engkau di waktu pagi janganlah menunggu hingga sore, pergunakanlah waktu sehatmu sebelum engkau sakit, dan pergunakanlah waktu hidupmu sebelum engkau mati.” (HR Imam Bukhari).
Pelajaran tentang gerak yang dinamis dari keIslaman seseorang begitu terang dalam hadits Rasulullah di atas. Tidak ada tempat ”berhenti.” Keimanan harus terus melaju, melintasi batas-batas perbedaan waktu dalam hidup kita. Ada makna ketergesaan, tidak menunggu, untuk terus mengisinya dengan kebaikan. ”Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (TQS Ali Imraan: 133).
Akhir Ramadan
Gerak dinamis ini menjadi proses penting saat Ramadan. Berbilang hari bukan bukan malah kendur. Ia harus selalu bertambah kualitas dan kuantitasnya. Sebagaimana dicontohkan Rasulullah, sebagaimana diriwayatkan Imam Bukhari. "Bila masuk sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, Rasulullah saw. mengencangkan kainnya (menjauhkan diri dari menggauli istrinya), menghidupkan malamnya dan membangunkan keluarganya.
Semua komponen harus terlibat dalam gerak dinamis ini. Tua-muda, Bapak-Ibu, pun juga anak-anak. “Bahwasanya Rasulullah saw. membangunkan keluarganya pada sepuluh akhir dari bulan Ramadan, dan setiap anak kecil maupun orang tua yang mampu melakukan salat.”
Begitu pentingnya menghidupkan sepuluh hari terakhir Ramadan, sampai-sampai Rasulullah berkunjung ke rumah keluarganya. “Rasulullah saw. mengetuk (pintu) Fathimah dan Ali pada suatu malam seraya berkata: ‘Tidakkah kalian bangun lalu mendirikan shalat ?’"(Mutafaq ‘alaih). Beliau juga membangunkan Aisyah r.a. pada malam hari, bila telah selesai dari tahajudnya dan ingin melakukan (shalat) witir. Ada anjuran melakukan targhib (dorongan) agar salah seorang suami-isteri membangunkan yang lain untuk melakukan shalat, serta memercikkan air di wajahnya bila tidak bangun (HR Abu Daud).
Perilaku Rasulullah tersebut juga dicontoh Umar bin Khattab. Apabila sampai pada pertengahan malam, ia membangunkan keluarganya untuk salat dan mengatakan kepada mereka: "Salat! salat!" Kemudian ia membaca Surah Thaha ayat 132, "Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. "
Puncak konsistensi ibadah puasa adalah i’tikaf di sepuluh hari ramadhan. Dari Aisyah r.a.: “ Nabi saw senantiasa beri'tikaf pada sepuluh hari terakhir dari Ramadan, sehingga Allah mewafatkan beliau."
“Ya Allah, karuniakanlah kami istiqamah, wafatkan kami dalam khusnul khatimah. “ ***
Komentar